Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu kembali mengetuk pintu tersebut.
“Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu .
KLEK!
“Aargh ...!” teriak Ayu saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut.
“Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu di balik pintu yang sudah tertutup rapat.
“Nan ... Da ...!” Suara Ayu tercekat saat melihat mata Nanda yang tepat berada di hadapannya. Mata itu menatap tajam ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas meski lampu ruangan itu sangat redup. Hanya lampu tidur di sudut ruangan yang menyala dan membuatnya tidak bisa melihat semua sudut ruangan itu dengan baik.
“I’m waiting you, Baby.” Nanda menangkup wajah Ayu dan menghisap kuat bibir wanita itu.
Ayu langsung menjatuhkan kotak kado yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Ia berusaha mendorong tubuh Nanda yang menciumnya paksa.
“Kamu ...!?” Nanda sangat kesal saat ia mendapat penolakan. Ia kembali menekan tubuh wanita itu dan mencium paksa. Semakin gadis itu memberontak, gairahnya semakin tidak terkendali.
“Nanda ...! Aku Ayu , bulan Arlita ...!” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.
“Ayu ?” Nanda terdiam sesaat. Ia mengerjapkan mata sambil memukul pelan keningnya yang berdenyut. Kepalanya terasa pening karena alat vitalnya sudah berada dalam mode on sejak ia menarik paksa gadis yang ada di hadapannya itu.
Tiga puluh menit lalu, ia baru saja menghisap permen yang mengandung epimedium. Membuatnya sangat bergairah. Terlebih, ia sengaja memasang aroma therapi yang dapat membangkitkan gairah seksualnya karena ia ingin menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Arlita.
“Nan, aku ke sini untuk kasih hadiah dari aku dan Sonny. Sonny nggak bisa ke sini. Jadi, aku yang antar langsung. Sorry! Aku udah ganggu kamu. Aku pulang dulu!” pamit Ayu sambil meraih gagang pintu dan bersiap untuk pergi.
“Aargh ...!” Ayu kembali berteriak saat Nanda menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
Nanda menarik paksa tubuh Ayu dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mendengar suara Ayu yang begitu lembut dan sensual, membuatnya tak bisa menahan diri.
“Nan, kamu mau apa?” Ayu menatap Nanda dengan tubuh gemetaran. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berusaha bergerak mundur untuk menghindari Nanda yang sedang menatapnya seperti Singa kelaparan.
“Kamu yang ngantar dirimu sendiri ke sini,” ucap Nanda sambil tersenyum menatap Ayu . Ia segera melepas kemejanya. Memperlihatkan dadanya yang kekar dengan kotak-kotak teratur di perutnya.
GLEG!
Ayu menelan ludah melihat tubuh Nanda yang terekspose di hadapannya. Delapan tahun berpacaran dengan Sonny, ia bahkan tidak pernah melihat tubuh pria itu secara langsung. Bagaimana bisa ia menodai matanya sendiri dengan pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat?
“Nanda ... jangan, Nan!” seru Ayu saat Nanda melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Ia bergerak mundur dan terduduk di pojok ranjang hingga terdesak pada headboard. Matanya menatap tubuh Nanda yang sudah berhasil melepas seluruh pakaiannya. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bagian inti kelelakian Nanda yang sudah menegang sempurna.
Nanda langsung menangkap pergelangan kaki Ayu dan menyeretnya.
“Jangan, Nan! Please ...!” pinta Ayu sambil berpegangan kuat pada ujung kasur agar tubuhnya tidak tertarik.
Nanda semakin kesal karena Ayu terus memberontak. Ia naik ke atas ranjang berukuran King sambil menyingkap dress yang dikenakan oleh Ayu . Dengan cepat, ia menurunkan hot pant yang membalut string yang dikenakan oleh Ayu .
“Nanda, kamu jangan gila! Kita bukan ... mmh ... mmh ...” Ayu menghentikan ucapannya saat telapak tangan Nanda membungkam mulutnya. Ia berusaha menguasai kesadarannya meski ia sendiri dipengaruhi oleh alkohol.
Ayu menitikan air matanya saat Nanda duduk di atas tubuhnya yang menelungkup. Pria itu membungkam mulut Ayu dengan telapak tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya melingkar erat di tubuh Ayu hingga ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
“Nanda, jangan lakuin ini ...!” lirih Ayu dalam hati sambil terus menitikan air mata. Bayangan wajah Sonny yang selalu menjaga dan menyayanginya dengan tulus, tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Bagaimana jika Sonny tahu kalau ia kehilangan keperawanan di tangan sahabat baiknya sendiri? Ia langsung diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya saat Nanda berubah menjadi penguasa tak terkalahkan di ruangan yang hanya disinari lampu tidur warna biru di sudut ruangan.
“Aargh ...! Nan ... don’t touch me!” seru Ayu saat Nanda melepaskan telapak tangan dari wajahnya.
Nanda semakin tak sabar mendengar teriakan Ayu . Kepalanya semakin pusing dan kesal saat ia kesulitan melakukan penyatuan dengan Ayu .
“Nan, aku ....” Ayu tak sanggup berkata-kata lagi saat Nanda membenamkan tubuhnya dan berubah menjadi penguasa atas semua yang ia miliki. Merenggut hal paling berharga yang seharusnya ia berikan pada pria yang sangat ia cintai dan sedang berjuang bersama menyusun rencana masa depannya.
Air mata Roro Ayu menetes dan semua rasa persahabatannya kini berubah jadi kebencian. Nanda telah menghancurkan semuanya detik itu juga. Yang lebih kejamnya lagi, ia tidak berdaya karena Nanda menganggapnya memiliki pergaulan yang sama dan sudah sering melakukan hal seperti dengan tunangannya.
Satu bulan kemudian ... Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun. “Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya. Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan. Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sud
“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu . Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu . DEG! Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya. Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut. “Ay, kamu kenapa?” tanya Tan
“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya. Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu. “Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi. Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan. “Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu. Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.” “Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?” Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya. “Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih. Edi mengangguk.
“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi. Hening. “Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?” “Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.” “Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya. “Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu. Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu. “Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih. Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar
“Andre ...! Mana anakmu yang bajingan itu!” seru Edi sambil menerobos masuk ke dalam rumah Andre, ayah kandung Nanda sekaligus kolega bisnisnya. Di belakangnya, juga ada beberapa pria berpakaian preman. “Mas Edi? Ada apa?” Andre langsung menghampiri Edi yang meneriaki dirinya dengan wajah penuh amarah. “Ada apa, Mas Edi? Kenapa ke sini bawa preman seperti ini?” tanya Nia lembut. “Mana anak kalian!?” seru Edi tak sabar. “Nanda lagi keluar, Mas. Duduk dulu!” pinta Nia dengan tubuh gemetaran. Ia terus mencengkeram lengan suaminya saat melihat Edi begitu emosi. Di saat bersamaan, Nanda melangkah santai memasuki rumahnya sembari memainkan kunci mobil di tangannya. “Itu Nanda, Mas,” bisik Nia sambil menatap tubuh puteranya. Edi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah Nanda. Beberapa orang preman yang ia bawa, langsung menyambar tubuh Nanda. “Ada apa ini?” seru Nanda, ia berusaha memberontak. Namun, kekuatannya tak ma
“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin. “Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.” Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata. Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.” “Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih. “Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar. “Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya. Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar. Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya. Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur. “Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil
“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!” perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya. Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu. “Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi. “Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal. “Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.” Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya d
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani