Ayu melangkahkan kaki perlahan menghampiri Arlita yang sedang duduk di salah satu bar sambil menikmati vodka. Dentuman musik menggema di seluruh ruangan yang sengaja di-booking untuk Birthday’s Party Ananda Putera Perdanakusuma, kekasih dari Arlita Holsler sekaligus sahabat baik Sonny Pratama.
Ayu sengaja datang untuk mewakili Sonny karena tunangannya itu masih berada di kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai dokter muda, membuat Sonny tak bisa kembali ke Surabaya dan memberikan selamat pada sahabat baiknya yang sedang merayakan ulang tahun ke-24.
“Lit, Nanda mana ya?” tanya Ayu sambil membawa kotak kado di tangannya. Ia sudah celingukan sejak masuk ke bar tersebut. Tapi tak menemukan sosok Nanda, pria yang sedang merayakan ulang tahun di bar yang ada di salah satu hotel ternama di pusat kota Surabaya.
“Nanda? Lagi main sama temen-temennya kali. Coba aja tanya ke yang lain!”
“Kamu ini pacarnya, kenapa nggak tahu ke mana perginya Nanda?”
“Emangnya aku disuruh ngintilin Nanda dua puluh empat jam? Yang ada, dia eneg dan sebel sama aku. Kayak nggak tahu Nanda aja. Dia mana mau diganggu kalau lagi sama temen-temennya,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. “Minum dulu, Ay!”
Ayu melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Andai ia tidak dipaksa lembur oleh atasannya, ia tidak mungkin tiba semalam ini. Untungnya, pesta ulang tahun Nanda memang dibuat sampai pagi. Jadi, ia masih punya waktu untuk memberikan hadiah yang sudah ia pilih bersama Sonny.
“Minum dulu, Ay! Nanda marah loh kalau kamu nggak menghargai dia. Pesta semewah ini, harus kamu nikmati!” Arlita merangkul tubuh Ayu sambil menyodorkan segelas vodka.
Ayu tersenyum kecil. Ia meletakkan kotak kado yang ia bawa ke atas meja dan meminum segelas vodka yang disodorkan Arlita. “Lit, aku nggak bisa lama-lama. Ini udah malem banget. Kamu tahu, aku nggak nyaman ada di pesta kayak gini.”
Ayu mengedarkan pandangannya. Semua orang di sana menari bebas sambil minum alkohol. Terlihat sangat bahagia dan riang gembira. Bahkan, ada beberapa wanita yang dengan bangga memperlihatkan tubuhnya yang dirayapi oleh tangan-tangan nakal para pria yang ada di sana.
“Ay, kamu ini udah dewasa. Kenapa sih masih kuno aja? Eh, Sonny juga nggak datang ke kota ini ‘kan? Kamu pilih satu cowok yang ada di sini dan bersenang-senang!” pinta Arlita. “LDR itu nggak enak. Apa enaknya pacaran cuma lewat video call doang?”
Ayu mengedikkan bahunya. “Nggak, Lit. Aku harus ngantor lagi besok pagi. Nggak bisa tidur terlalu larut.”
“Hei, kamu pemburu dollar banget, sih? Besok hari Minggu, Sayang. Buat apa sih kerja terus?”
“Ini last month, Lit. Di kantor selalu sibuk untuk closing data bulanan. Bos nyuruh aku lembur,” jawab Ayu .
“Hmm ... iya, deh. Kalau bisa, kamu cari pacar yang banyak duitnya dan royal kayak Nanda. Nggak perlu kerja keras. Kamu bisa bersenang-senang setiap hari pakai uang pacar kamu!”
Ayu tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja. Aku masih setia sama Sonny. He is a best man for me.”
“Hahaha. Iya, iya. Tujuh tahun LDR, masih setia aja. Kalo aku, udah punya banyak selingkuhan, Yu,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. Ia kembali menyodorkan satu gelas vodka ke arah Ayu . “Minum lagi!”
“Aku nggak bisa minum banyak. Aku cari Nanda dulu, ya! Mau kasih kado ini untuk dia. Soalnya, Sonny nggak bisa balik. Aku harus kasih hadiah ini secara langsung ke dia.”
“Minum sekali lagi, Yu! Aku udah capek nuangin minuman ini buat kamu. Kamu nggak menghargai kerja kerasku?” sahut Arlita.
Ayu menghela napas. Ia meraih gelas vodka dan langsung menenggak habis minuman tersebut.
“Wah ...! Ayu keren! Lagi! Lagi!” seru beberapa wanita yang muncul di belakang tubuh Arlita.
Ayu menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah mengenal Arlita sejak duduk di bangku SMP, tapi ia tidak begitu dekat dengan wanita itu. Gaya hidup Arlita yang suka mabuk-mabukkan, membuatnya tak nyaman. Ia selalu mengingat pesan bundanya untuk menjaga jarak dengan Arlita meski mereka berteman sangat lama.
“Aku pergi dulu, Lit!” pamit Ayu . Ia buru-buru menyambar kotak kado yang ia letakkan di bar table. Kemudian bergegas pergi. Menyelinap di antara keramaian untuk mencari keberadaan Nanda sambil menahan pening di kepalanya karena reaksi vodka yang ia minum.
“Angga, kamu lihat Nanda?” tanya Ayu sambil menghampiri Angga dan beberapa teman sepergaulan Nanda yang sedang berkumpul di salah satu meja.
“Nanda? Lagi ke kamar hotel. Katanya mau ganti baju karena ketumpahan bir,” jawab Angga sambil mengacungkan jarinya ke atas. Bar tersebut memang berada di salah satu hotel. Tak heran jika Nanda juga menginap di hotel tersebut.
“Tahu nomor kamarnya?” tanya Ayu .
“Kamar tiga dua empat,” jawab Angga sambil menatap tubuh Ayu yang berdiri di hadapannya.
“Makasih, Ngga!” Ayu berbalik. Ia buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari bar tersebut. Waktu sudah semakin malam, ia harus bergegas pulang ke rumah dan beristirahat. Ia tidak ingin pergi ke kantor dengan mata panda karena kurang tidur.
“Ngga, itu ceweknya si Sonny ‘kan?” tanya salah seorang pria yang bersama Angga.
Angga mengangguk.
“Cantik banget, Ngga. Kenapa mau sama Sonny yang biasa aja?”
Angga mengedikkan bahu. “Mereka udah pacaran lama banget. Roro Ayu itu bukan cuma cantik, tapi juga kaya raya dan baik hati. Dari Sonny nggak punya apa-apa sampai bisa jadi dokter, dia selalu nemenin cowok itu berjuang. Beruntung banget si Sonny dapetin dia.”
“Emang bener, sih. Cewek baik emang untuk cowok yang baik. Nggak mungkin cewek baik-baik mau sama cowok bajingan kayak kita-kita. Hahaha.”
“Stok cewek baik di dunia ini makin menipis. Andai aja si Roro mau sama aku, udah aku jadikan istri. Nggak perlu jadi pacar,” sahut Angga.
“Hahaha. Jangan ngimpi!”
((Bersambung ...))
Selamat datang di cerita terbaru aku ...!
Salam kenal dari Roro Ayu dan Ananda.
Mau tahu kekuatan cinta sejati yang diuji tiada henti dan bikin baper bertubi-tubi?
Baca terus cerita selanjutnya, ya!
Semoga menghibur dan menginspirasi ...!
Jangan lupa tinggalkan komentar biar author makin semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu. Tok ... tok ... tok ...! Ayu menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya. Tok ... tok ... tok ...! Ayu kembali mengetuk pintu tersebut. “Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu . KLEK! “Aargh ...!” teriak Ayu saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut. “Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu di balik pintu yang sudah tertutup rapat. “Nan ... Da ...!” Suara Ayu tercekat s
Satu bulan kemudian ... Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun. “Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya. Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan. Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sud
“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu . Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu . DEG! Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya. Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut. “Ay, kamu kenapa?” tanya Tan
“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya. Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu. “Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi. Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan. “Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu. Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.” “Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?” Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya. “Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih. Edi mengangguk.
“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi. Hening. “Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?” “Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.” “Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya. “Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu. Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu. “Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih. Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar
“Andre ...! Mana anakmu yang bajingan itu!” seru Edi sambil menerobos masuk ke dalam rumah Andre, ayah kandung Nanda sekaligus kolega bisnisnya. Di belakangnya, juga ada beberapa pria berpakaian preman. “Mas Edi? Ada apa?” Andre langsung menghampiri Edi yang meneriaki dirinya dengan wajah penuh amarah. “Ada apa, Mas Edi? Kenapa ke sini bawa preman seperti ini?” tanya Nia lembut. “Mana anak kalian!?” seru Edi tak sabar. “Nanda lagi keluar, Mas. Duduk dulu!” pinta Nia dengan tubuh gemetaran. Ia terus mencengkeram lengan suaminya saat melihat Edi begitu emosi. Di saat bersamaan, Nanda melangkah santai memasuki rumahnya sembari memainkan kunci mobil di tangannya. “Itu Nanda, Mas,” bisik Nia sambil menatap tubuh puteranya. Edi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah Nanda. Beberapa orang preman yang ia bawa, langsung menyambar tubuh Nanda. “Ada apa ini?” seru Nanda, ia berusaha memberontak. Namun, kekuatannya tak ma
“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin. “Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.” Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata. Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.” “Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih. “Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar. “Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya. Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar. Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya. Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur. “Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani