"Maksudmu apa? Kamu gila! Bagaimana mungkin kamu menyuruhku menikahi tunanganmu? Azriel Albiru adalah pemilik PT. Albiru Falah? Dia punya uang dan kekuasaan! Jika dia marah, kehidupan keluarga kita akan hancur seketika." Shafiqa dengan bibir bergetar menanyakan hal itu pada kakak kembarnya itu.
"Yup … kamu memang cerdas, Sayang. Kamu sudah bertemu dengannya kemarin, kan? Bagaimana? Kulihat, dia memang sangat mengagumimu. Jadi, tenang saja adikku sayang," papar Shafira dengan yakin jika Shafiqa memang mengenal pria yang dia maksudkan.
“Itu karena dia mengira aku adalah kamu,” sergah Shafiqa cepat. Namun, Shafira hanya tersenyum penuh arti.
“Ziel tidak tau kalau aku memiliki saudara kembar. Jadi, kuharap kamu bisa tutup mulut sampai pernikahan itu dilaksanakan.”
‘Seandainya saja kamu tahu hal yang sebenarnya, Shafiqa. Justru, Azriel berhubungan denganku karena mengira aku adalah kamu,’ batin Shafira dalam hati.
"Aku tidak bisa! Kenapa tidak kamu saja yang menikah dengannya!" tampik Shafiqa seketika.
Jujur saja, Azriel memang cukup tampan. Pria itu memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap wanita. Namun, tidak bagi Shafiqa. Pria itu ibarat artis yang memiliki banyak idola. Shafiqa tidak berharap dia bersaing memperebutkan perhatian Azriel dengan para pengagumnya.
Mereka pernah bertemu sekali di kantor milik Tuan Ammar—tempat Shafiqa bekerja. Bahkan, pria itu menyatakan terus-terang jika dirinya menyukainya. Namun, tiba-tiba, Azriel bertunangan dengan Shafira, saudara kembarnya. Bukankah, pria itu bukanlah pria baik-baik?
"Kamu mau tahu alasanku kenapa?" Shafira menghampiri Shafiqa yang masih merenung.
"Lelaki itu sama saja. Ketika susah, dia mencari kita. Namun, ketika sukses dengan seenaknya mereka mencampakkan kita. Aku tidak mau nasibku sama dengan Mama," cetus Shafira dengan tatapan begitu dingin.
"Jika kamu saja ketakutan, mengapa kamu menyuruhku menikah?" Shafiqa pun tak kalah, dia mendebat keputusan Shafira.
"Ah sudahlah … susah ngomong sama kamu. Pokoknya, sekarang kamu harus mulai menggantikanku bertemu dengan Ziel. Dimulai dari malam ini! Kamu harus dandan yang cantik dan jangan mengecewakanku. Terutama, Mama kita," desis Shafira sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.
Gadis itu hanya bisa berdecak kesal lalu meluapkan kekesalannya pada wajan penggorengan. Camila-ibunya datang menghampiri gadis itu.
Shafiqa kini menghambur dalam pelukan Camila. Tangisnya tumpah di dada wanita yang melahirkannya tersebut.
"Jangan lupa … berhiaslah secantik mungkin. Aku sudah membelikan gaun untukmu! Pakailah agar dirimu tidak terlihat memalukan!" Shafira kembali menghampiri mengingatkan adiknya tersebut.
“Satu lagi, bersikaplah seolah-olah kamu adalah aku!” titah Shafira sambil menghempaskan paper bag yang dibawanya.
Saat Shafira masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya untuk beristirahat, Shafiqa dan Camila hanya bisa saling melempar pandangan. Keduanya menatap punggung Shafira dengan sekelumit kebingungan.
*****
Sesuai perkataan Shafira, malamnya, Azriel datang bertamu di kediaman mereka. Camila menyambut dengan ramah, meskipun sedikit canggung. Setelah berbasa-basi, Camila pun menanyakan maksud kedatangan Azriel.
“Benar Anda ingin menikahi putriku, Nak Azriel?” Camila melontarkan pertanyaan kepada Azriel.
"Kurasa niat baik harus segera disegerakan, Ibu Camila. Saya takut setan ada bersama kami jika sedang berduaan. Toh, kami juga sudah bertunangan meskipun tanpa sepengetahuan Anda. Shafi … yang meminta saya menyembunyikan dari Anda sekeluarga,” terang Ziel meyakinkan.
Berbeda dengan Mila yang terkejut ketika mendengar hal tersebut. Raut wajah wanita berusia 45 tahun itu sulit ditebak.
"Saya sudah siap, Zi—Ziel…." Shafiqa muncul tiba-tiba di antara keduanya.
Malam ini, dia begitu cantik dan terlihat anggun. Gaun panjang itu melekat sempurna di tubuh rampingnya. Rambutnya hanya dikuncir kuda. Memperlihatkan keindahan jenjang lehernya. Lagi-lagi membuat Azriel menelan salivanya.
Camila mengamati putrinya dengan decakan kagum. Tak beda dengan Azriel yang berada di sana. Netra biru sapphire itu tak lepas dari wajah Shafiqa. Hal itu sampai membuat kikuk si pemilik wajah cantik tersebut.
"Ibu … saya izin membawa putri Anda menemui keluarga saya. Tak sampai larut, saya akan membawanya kembali."
"Pergilah, hati-hati di jalan," pesan Camila sambil mengiringi langkah mereka dari belakang.
Keduanya meninggalkan kediaman Iskandar menuju kediaman keluarga Albiru. Selama dalam perjalanan, keduanya hanya saling berdiam. Azriel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Aku sudah menyuruh orangku mengurus semua. Seminggu lagi, kita akan menikah. Kuharap sampai tiba waktunya, kamu tidak berubah pikiran, Shafi!"
"Panggil saya Shafiqa," tukas gadis itu cepat. Tatapannya sejenak mengarah ke Azriel yang kebetulan tengah menatapnya. Kemudian kembali lagi ke arah jalanan. Pipinya merona merah, untung saja Azriel tidak menyadari hal itu.
Azriel tidak mengerti mengapa perempuan yang biasanya hanya ingin dipanggil Shafi itu meminta dipanggil dengan nama lengkapnya. Namun, tidak apa-apa asalkan gadisnya itu senang. Pria tampan itu lalu langsung menarik jemari Shafiqa dalam genggamannya.
Shafiqa sempat terperanjat, tetapi berusaha bersikap biasa saja.
"Hai … ada apa denganmu? Mengapa kamu sepertinya kaget? Bukankah, kemarin malam kamu malah enggan berlalu dari pelukanku?" tanya Azriel dengan heran.
"Eh … maaf. Saya hanya …."
Tanpa diduga, Azriel mengecup pipinya singkat. Membuat Shafiqa kembali dibuat kaget. Sementara Azriel merasa ada yang janggal. Bau parfum itu, beda dengan parfum yang dia cium semalam.
Namun, Azriel menyikapinya dengan biasa saja. Sempat pria tampan itu berpikir, mungkin Shafiqa memang menyukai berbagai aneka parfum yang berbeda-beda.
Azriel masih menggenggam jemari gadis itu, membelai dan mengusap halus di sela-selanya.
"Mengapa kamu tidak memakai cincin yang kuberikan tadi?" celetuknya tiba-tiba.
Shafiqa yang kaget menarik jemarinya dari pria itu. Dia bingung akan beralasan apa. Mengapa kakaknya tidak berkata apa pun perihal cincin tersebut? Wajah gadis itu kini sudah pucat pasi.
'Mengapa kamu selalu menyusahkanku!' rutuk Shafiqa dalam hati.
"Hai … jangan ketakutan seperti itu. Aku hanya bertanya saja. Toh, itu cincin murah. Aku sudah memesan berlian untukmu." Azriel menenangkan gadis di hadapannya.
"Maaf … saya tidak sengaja meng-hilangkannya," jawab Shafiqa dengan terbata.
"Bersikaplah biasa saja. Aku tidak ingin wajah tegangmu itu merusak kecantikanmu," bujuk Azriel sambil mengecup jari gadis itu.
Sebenarnya Azriel masih merasa bingung. Mengapa gadis itu terlihat begitu canggung di hadapannya malam ini. Bahkan, terkesan begitu formal membahasakan dirinya. Namun, rasa bahagianya membuat Azriel memilih untuk mengabaikan hal itu.
Tak lama, mobil tersebut memasuki hunian yang cukup berkelas. Seperti hunian mewah lainnya, town house ini juga ada penjagaannya.
Sebuah bangunan bercat krem berdiri megah di hadapan mereka. Tiangnya yang berwarna tembaga memberi kesan mewahnya. Bangunan itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang masih kerabat Azriel. Pria tampan itu, memang sudah yatim-piatu semenjak kecil.
Sosoknya yang pekerja keras membuat dia berhasil membeli hunian megah untuk ditinggali oleh Om dan Tantenya yang mengasuh Azriel dari kecil.
Saat mereka masuk, Om dan Tantenya sudah menyambut mereka.
"Jadi ini calon istrimu? Apa tidak salah?" Pertanyaan itu membuat Shafiqa seketika takut setengah mati.
Makanmalam telah usai. Ziel telah memperkenalkan calon istrinya kepada Mira danJohan selaku tante dan omnya. Pria tampan itu tengah berbincang bersama Johandi ruang keluarga. Sementaraitu,Shafiqa dan Mira masih di meja makan. Shafira sengaja diminta Ziel untuk menemani tantenya itu agar mereka saling mengenalsatu dengan yang lain. Sebenarnya,Shafiqa tidak ingin. Terlebih lagi, Tante dari Ziel ini sejak awal terlihatsekali tidak menyukainya.Melihat piring-piring kotor,Shafiqa merasa lebih baik dirinyamembantu pelayan di rumah Mira. "Duduklahdekat denganku! Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu," perintahMira yang justru semakin kesal karena melihat Shafira sibuk bersih-bersih."Nona… pergilah ke sana!Jangan sampai dia tidak menyukaimu. Nyonya Mira itu sangat galak," bisikTina—pelayan di rumah Mira.Shafiqa mengernyitkan dahinya dan berlalu meninggalkan dapurmenuju tempat di mana Mira duduk menunggunya."MaafNyonya … tadi saya bantu Tina sebentar," beritahu Sha
"Selamat untukpernikahan kalian berdua," ucap Tuan Ammar pada Azriel dan Shafiqa saatgilirannya menyalami kedua mempelai ini.Lelaki pemilik perusahaan"Maju Bersama" tersebut datang memberikan ucapan selamat kepadaAzriel selaku rekanan bisnis perusahaannya dan juga Shafiqa yang dulu bekerjasebagai sekretarisnya. "Terima kasih, TuanAmmar," ujar Azriel dengan senyum yang sedari tadi tidak lepas daribibirnya. Shafiqa yang di sampingnya pun,turut tersenyum menyambut kehadiran mantan bosnya tersebut."Kamu cantik sekali,Shafiqa. Kalian benar-benar pasangan serasi," timpal Nyonya Julaika—istriAmmar."Terima kasih,Nyonya," jawab Fika dengan santun.Tuan Ammar datang takhanya memberi ucapan selamat saja untuk mereka berdua. Lelaki itu juga memberihadiah mewah untuk pengantin baru tersebut. Acara pernikahan keduamempelai ini benar-benar berlangsung begitu meriah dan lancar. Anekamakanan dan kudapan mewah disediakan dengan berbagai varian. Para tamu banyakyang berdecak kagum
“Mengapa buru-buru masuk? Apa kamu sedang cemburu atau kamu sudah tidak sabar untuk melakukan malam pertama kita?” tanya Azriel sambil membelai tubuh istrinya.Shafiqa mengalihkan atensinya dengan membelakangi Azriel. Sayangnya, tangan laki-laki itu benar-benar tidak bisa diam sampai membuat satu desahan lolos dari mulut Shafiqa."Tolong … jangan begini," keluhnya."Bukankah kamu biasanya suka? Mengapa sekarang kau tidak suka? Kamu juga sudah menyetujui pernikahan ini. Mengapa sekarang menolakku?" tanya Ziel dengan wajah semakin mengendus tengkuk Shafiqa dari belakang."Tu–""Berapa kali aku harus mengingatkanmu akan hal itu? Mengapa kamu mengubah panggilanmu padaku?" potong Ziel sambil membalikkan paksa tubuh perempuan yang kini sudah sah sebagai istrinya tersebut.Wangi jasmine dari tubuh Shafiqa semakin membuat pria di hadapannya tersebut kembali menunduk dan mengendus ceruk lehernya dari depan. Perempuan cantik itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Mencoba menghentikan sesuatu y
"Jelaskan! Siapa kausebenarnya?“"Sungguh … aku tidakbermaksud menipumu. Aku hanya … ah, bahkan, aku tak punya kuasa atas dirikusendiri,” sahut Shafiqa dengan suara bergetar.“Apakah benar itu darahkeperawananmu? Tolong jawab dengan jujur,” pinta suara Ziel dengan suaratercekat. Tak ada sahutan dariperempuan yang semalam telah membuat dirinya bagai candu untuk pria tampan itu.Akan tetapi, anggukannya telah memberi sebuah jawaban untuk Ziel. Shafiqa masihberdiri dengan tubuh gemetaran. Perlahan pria itu menghampirinya dan membawanyadalam pelukan hangatnya.Suara isakannya laluterdengar bagai sebilah pisau yang menyayat hati Ziel. Kemarahannya yangmeledak-ledak seketika luruh bagai disiram kristal bening perempuan itu. “Ceritakan semua dariawal, agar aku tidak salah mengambil keputusan selanjutnya,” ujar Ziel denganbijaksana.Perempuan itu melepaskanpelukannya lalu berjalan sedikit mundur. Ziel mengulurkan pakaian seadanyauntuk menutupi tubuh bugilnya. Setidaknya itu le
"Syukurlah … kamu memang bisa diandalkan, Shafiqa. Kakak jadi makin sayang ma kamu," gumam Shafira sambil menutup panggilan teleponnya. Shafira tampak turun dari pembaringan yang sudah carut-marut tidak karuan. Bentuknya sudah ngalah-ngalahin kapal pecah. Dengan tubuh telanjang, gadis itu beranjak menuju kamar mandi hotel. Dia ingin membersihkan tubuhnya yang sudah bercampur keringat dan cairan kenikmatan teman lelakinya. Terutama di bagian intim miliknya. Rasanya lengket dan bikin dirinya tampak gerah. Tanpa banyak membuang waktu dia pun bergegas mandi. Dia ingin segera beristirahat di rumah. Setengah jam kemudian, gadis itu tampak sudah keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan bathrobe yang disediakan pihak hotel."Hei … baru kutinggal sebentar ternyata kamu sudah bangun, Cantik. Mana sudah wangi lagi. Bikin aku jadi ingin menyentuhmu," ujar Prayoga-lelaki yang sejak semalaman membooking Shafira.Shafira mencoba menepis tangan pria itu dengan halus. Tubuh
“Mengapa Nani tidak memberitahuku sebelumnya? Pikirnya gampang apa mempresentasikan produk kita yang cukup rumit tersebut?” Ziel terlihat begitu geram dan uring-uringan.“Mmm … maaf pak, kalau Bapak berkenan biar saya yang menggantikan tugas Nani,” ucap Bimo. Ziel hanya mengalihkan atensinya sejenak ke arah bawahannya tersebut, tetapi sebentar kemudian beralih pada setumpuk berkas yang harus dipresentasikan di hadapan rekan bisnisnya nanti. Pria tampan itu menyugar surainya yang berwarna sedikit pirang.“Ada masalah apa, Mas?” tanya Shafiqa menghampiri suaminya.Ziel masih bergeming tidak menghiraukan pertanyaan suaminya tersebut. Bimo tampak takut-takut menjawab pertanyaan bos perempuannya itu.“Nani-sekretaris Bapak mengundurkan diri hari ini, Bu. Padahal hari ini ada pertemuan penting dengan Pak Prayoga pemilik PT. Air Lancar,” terang Bimo.“Mengapa Nani keluar mendadak Pak? Apa sebelumnya tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu?” Shafiqa melontarkan pertanyaan ke Bimo.“Nani dipa
Prayoga tampak kesal sekali. Dia segera menyeret langkahnya meninggalkan PT. Albiru dengan kondisi muka lebam. Ziel sendiri yang masih nampak tidak terima dengan perkataan Yoga tadi kembali mendaratkan satu bogemnya sebelum pria itu benar-benar meninggalkan kantornya.Bimo sama sekali tidak menghentikan kebrutalan Ziel. Sebagai seorang lelaki yang membela istrinya sudah sepantasnya Ziel melakukan hal itu.“Apakah perlu kita mengadukan masalah ini, Pak? Karena tadi itu sudah termasuk pencemaran nama baik!” Bimo mengemukakan pendapatnya.Ziel bergeming di tempatnya dengan Shafiqa yang masih memeluknya. Perempuan cantik itu tampak ketakutan sekali.“Aku takut bertemu dengannya lagi, Mas. Pasti dia mengira aku adalah Shafira,” kata Shafiqa dengan bibir bergetar.“Maksud Bu Shafiqa bagaimana? Kalau boleh saya tahu?” sela Bimo dengan pandangan kebingungan.Sepasang suami-istri itu hanya bisa saling menatap dengan memberi sebuah isyarat agar keanehan yang terjadi hari ini cukup mereka berdua
Mira terbangun dengan rambut yang masih awut-awutan. Wanita berusia 45 tahun itu keluar kamarnya lalu menuju meja makan dengan ponsel dalam genggamannya. Sedari tadi dia tampak senyum-senyum sendiri. Tina-asisten rumah tangganya memperhatikannya dengan raut tidak suka. Netra Mira sekilas menangkap masakan beraneka ragam sudah tersedia di atas meja makan. Bahkan, mie ayam kecap kesukaannya pun sudah terhidang di sana. ‘Tumben si Tina rajin banget,’ pikirnya. Tangannya masih berbalas pesan dengan seseorang di seberang sana. Bibirnya tak henti menyunggingkan seulas senyum iblisnya. “Tin, ambilin minum!” titahnya kepada Tina yang nampak masih sibuk mengeluarkan cucian dari mesin cuci. “Bentar ya, Nyah. Lagi nanggung nih, mumpung cuaca lagi panas. Saya mau jemur cucian dulu,” jawab Tina dengan entengnya. Netra Mira melebar mendengar penolakan pembantunya tersebut. “Saya bilang ambilkan minum, ya kerjakan!” seru Mira dengan menggebrak meja di hadapannya. Tina menghela napas kesal