Makan malam telah usai. Ziel telah memperkenalkan calon istrinya kepada Mira dan Johan selaku tante dan omnya. Pria tampan itu tengah berbincang bersama Johan di ruang keluarga.
Sementara itu, Shafiqa dan Mira masih di meja makan. Shafira sengaja diminta Ziel untuk menemani tantenya itu agar mereka saling mengenal satu dengan yang lain. Sebenarnya, Shafiqa tidak ingin. Terlebih lagi, Tante dari Ziel ini sejak awal terlihat sekali tidak menyukainya.
Melihat piring-piring kotor, Shafiqa merasa lebih baik dirinya membantu pelayan di rumah Mira.
"Duduklah dekat denganku! Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu," perintah Mira yang justru semakin kesal karena melihat Shafira sibuk bersih-bersih.
"Nona … pergilah ke sana! Jangan sampai dia tidak menyukaimu. Nyonya Mira itu sangat galak," bisik Tina—pelayan di rumah Mira.
Shafiqa mengernyitkan dahinya dan berlalu meninggalkan dapur menuju tempat di mana Mira duduk menunggunya.
"Maaf Nyonya … tadi saya bantu Tina sebentar," beritahu Shafiqa sebelum dia menghempaskan berat tubuhnya di sofa santai di sebelah Mira.
Wanita berusia 45 tahunan itu mencebikkan bibirnya, "Sepertinya, kamu memang lebih cocok bekerja di dapur ketimbang jadi istri keponakanku."
Dahi Shafiqa mengerut, disertai netranya yang menyipit. Ada ketidaknyamanan ketika gadis itu mendengar perkataan Tina.
"Oh, ya, di mana kalian bertemu? Kamu juga tidak sedang memberinya jampi-jampi biar dia tergoda olehmu, bukan?"
Mira mengatakan hal tersebut dengan wajah tanpa dosa. Berbeda dengan Shafiqa, gadis itu semakin tak mengerti ke mana arah pembicaraan Tante Ziel ini.
"Maksud Nyonya, apa, ya? Apakah wajah saya tidak cukup cantik untuk membuat Nak Ziel tertarik dengan saya?" Akhirnya, sindiran itu meluncur dari bibir Shafiqa.
Gadis itu memang berbicara dengan datar tetapi penuh penekanan. Kini raut Mira sedikit berubah mendengar perlawanan dari Shafiqa.
'Dasar gadis sialan! Belum apa-apa, dia sudah berani membantah perkataanku. Kita lihat saja nanti! Aku atau kamu yang akan dilempar keluar dari sini nantinya? Sok-sokan segala!' batin Mira meradang.
Fiqa terlihat duduk di sebelah Mira dengan mengukir senyum manis. Tak lupa dia juga menikmati salad yang disuguhkan untuknya.
"Asal kamu tahu saja, Shafiqa. Ziel itu memiliki banyak koleksi cewek. Mereka semua cantik-cantik dan kaya. Jadi, untuk apa dia menikah? Yang ada, kamu cuma morotin dia dan menguasai hartanya!” Mira sengaja berkata demikian untuk membuat Shafiqa putus dari keponakannya.
Shafiqa tersenyum menanggapi semua cerita Mira. Gadis itu sama sekali tidak kaget dengan apa yang diceritakan Mira kepadanya.
"Kau terlihat begitu tenang. Apa kamu memiliki guru spiritual untuk menaklukkan keponakanku?" cecar Mira menyudutkan Shafiqa.
"Maaf, Nyonya. Kurasa tuduhan itu terlalu berlebihan terhadap saya. Untuk apa pula saya harus membuang uang saya untuk hal yang tidak jelas seperti itu? Sudah sewajarnya jika pria macam Ziel memiliki banyak pacar atau penggemar. Bahkan, akan terasa janggal jika dia sama sekali tidak memiliki fans," sahut Shafiqa dengan datar.
"Apa kamu tidak merasa insecure? Bukankah, lebih baik kamu bisa membatalkan rencana pernikahan kalian sebelum kamu menyesal di kemudian hari?"
Netra indah Shafiqa mengerjap sambil berkata, "Saya jadi merasa tertantang untuk mempertahankan Ziel di sisi saya," lirihnya.
Gadis itu mencondongkan sedikit badannya tepat di samping telinga Mira. Sehingga wanita setengah baya itu tampak terkejut begitu mendengar apa yang dikatakannya.
"Maaf ….kalau ucapan saya membuat Anda terkejut," kata Shafiqa lagi.
Wajah cantiknya kembali mengukir senyum yang begitu manis. Sayangnya, senyum itu dirasa Mira bagai sebuah ejekan untuk dirinya.
"Well … ternyata, kamu di sini, Sayang! Mari kuantar kaupulang. Ini sudah terlalu malam untukmu. Tak baik jika Ibumu mencapku buruk," ujar Ziel yang kini sudah bersiap mengajak Shafiqa untuk pulang.
Pria tampan bercambang tipis itu mengulurkan tangannya. Shafiqa menyambut hangat lalu berdiri dan pamit dari sana.
"Senang berjumpa denganmu, Nyonya Mira. Lain waktu, aku akan datang kemari. Tentu saja, sebagai menantu keluarga ini."
Shafiqa berkata demikian sembari membariskan senyumnya yang begitu menawan. Sebuah lesung pipi di pipi kirinya semakin menambah kesempurnaan kecantikannya.
Wajah Mira menampakkan ketidaksenangannya, tetapi dia berusaha menutupinya karena ada Ziel di sana.
"Senang juga bisa berkenalan denganmu. Kami sudah tidak sabar menantikan hari pernikahan kalian. Salamku untuk Ibumu, ya!"
Seusai berkata demikian, kedua perempuan berbeda generasi itu pun saling bertukar ciuman di pipi mereka. Tak lupa, Shafiqa pun pamit kepada Johan-suami Mira.
"Kalian berdua tampak akrab sekali. Aku senang melihat hal itu," kata Ziel setelah di dalam mobil.
Pria tampan itu melajukan mobilnya membelah malam yang semakin menua. Gadis cantik di sebelahnya sama sekali tidak menanggapi pembicaraan pria tampan itu. Dia tengah asyik merasakan kehampaan hatinya di antara lalu lalang jalanan yang sedikit lenggang.
Tak lama, mobil mewah itu kini sudah memasuki halaman rumah keluarga Iskandar. Ziel ikut turun mengantar Shafiqa masuk ke dalam rumah. Namun, sebuah tangan kekar menghadang tubuhnya.
"Siapa kamu? Berani sekali berkencan dengan Putriku sampai larut malam?" cicit Iskandar dengan pandangan menelisik ke arah Ziel.
"Perkenalkan saya Ziel, Calon menantu Anda." Pria itu dengan percaya diri memperkenalkan dirinya. Shafiqa sendiri turut tak percaya jika Azriel membuat pengakuan demikian.
Iskandar ternganga tak percaya, netra tuanya menyelidik pria tampan itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Lalu melihat pada benda mewah persegi yang terparkir manis di halaman rumahnya.
"Bukankah kamu tadi pagi yang mengantar Sha–," tanya Iskandar menggantung karena percakapan mereka keburu disela anaknya.
"Papa … biarkan Azriel pulang, lagian juga sudah malam," sela Shafiqa dengan cepat.
"Tunggu … Papa hanya ingin berbicara dengan kekasihmu itu sebentar saja."
"Saya siap mendengarkan Anda, Pak Iskandar."
Sementara Shafiqa berdiri kaku menyaksikan kedua pria yang belum saling mengenal tersebut. Wajahnya tampak menegang, takut kalau Iskandar akan membuat kacau suasana.
"Benar kamu ingin menikahi putriku?" Iskandar bertanya dengan memasang muka yang begitu serius.
"Benar, Pak. Saya berharap Bapak tidak keberatan."
"Owh … tentu tidak, tetapi ada syaratnya." Iskandar mulai melakukan aksinya.
Shafiqa melototkan netra, tanda tidak setuju dengan tindakan ayahnya. Tubuhnya semakin menegang melihat tingkah ayahnya yang mulai keterlaluan.
"Papa, tolong jangan bertingkah yang tidak-tidak!" Shafiqa sedikit memperingatkan ayahnya.
"Kamu jangan ikut campur urusan kami, Shafiqa. Aku hanya meminta sedikit uang pada calon menantuku. Tak ada yang salah bukan? Apalagi, dia pengusaha yang namanya sedang dipuja banyak orang," ujar Iskandar dengan antusias.
"Apakah 100 juta cukup, Pak agar Anda mengizinkan Shafiqa menjadi istri saya?"
"Selamat untukpernikahan kalian berdua," ucap Tuan Ammar pada Azriel dan Shafiqa saatgilirannya menyalami kedua mempelai ini.Lelaki pemilik perusahaan"Maju Bersama" tersebut datang memberikan ucapan selamat kepadaAzriel selaku rekanan bisnis perusahaannya dan juga Shafiqa yang dulu bekerjasebagai sekretarisnya. "Terima kasih, TuanAmmar," ujar Azriel dengan senyum yang sedari tadi tidak lepas daribibirnya. Shafiqa yang di sampingnya pun,turut tersenyum menyambut kehadiran mantan bosnya tersebut."Kamu cantik sekali,Shafiqa. Kalian benar-benar pasangan serasi," timpal Nyonya Julaika—istriAmmar."Terima kasih,Nyonya," jawab Fika dengan santun.Tuan Ammar datang takhanya memberi ucapan selamat saja untuk mereka berdua. Lelaki itu juga memberihadiah mewah untuk pengantin baru tersebut. Acara pernikahan keduamempelai ini benar-benar berlangsung begitu meriah dan lancar. Anekamakanan dan kudapan mewah disediakan dengan berbagai varian. Para tamu banyakyang berdecak kagum
“Mengapa buru-buru masuk? Apa kamu sedang cemburu atau kamu sudah tidak sabar untuk melakukan malam pertama kita?” tanya Azriel sambil membelai tubuh istrinya.Shafiqa mengalihkan atensinya dengan membelakangi Azriel. Sayangnya, tangan laki-laki itu benar-benar tidak bisa diam sampai membuat satu desahan lolos dari mulut Shafiqa."Tolong … jangan begini," keluhnya."Bukankah kamu biasanya suka? Mengapa sekarang kau tidak suka? Kamu juga sudah menyetujui pernikahan ini. Mengapa sekarang menolakku?" tanya Ziel dengan wajah semakin mengendus tengkuk Shafiqa dari belakang."Tu–""Berapa kali aku harus mengingatkanmu akan hal itu? Mengapa kamu mengubah panggilanmu padaku?" potong Ziel sambil membalikkan paksa tubuh perempuan yang kini sudah sah sebagai istrinya tersebut.Wangi jasmine dari tubuh Shafiqa semakin membuat pria di hadapannya tersebut kembali menunduk dan mengendus ceruk lehernya dari depan. Perempuan cantik itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Mencoba menghentikan sesuatu y
"Jelaskan! Siapa kausebenarnya?“"Sungguh … aku tidakbermaksud menipumu. Aku hanya … ah, bahkan, aku tak punya kuasa atas dirikusendiri,” sahut Shafiqa dengan suara bergetar.“Apakah benar itu darahkeperawananmu? Tolong jawab dengan jujur,” pinta suara Ziel dengan suaratercekat. Tak ada sahutan dariperempuan yang semalam telah membuat dirinya bagai candu untuk pria tampan itu.Akan tetapi, anggukannya telah memberi sebuah jawaban untuk Ziel. Shafiqa masihberdiri dengan tubuh gemetaran. Perlahan pria itu menghampirinya dan membawanyadalam pelukan hangatnya.Suara isakannya laluterdengar bagai sebilah pisau yang menyayat hati Ziel. Kemarahannya yangmeledak-ledak seketika luruh bagai disiram kristal bening perempuan itu. “Ceritakan semua dariawal, agar aku tidak salah mengambil keputusan selanjutnya,” ujar Ziel denganbijaksana.Perempuan itu melepaskanpelukannya lalu berjalan sedikit mundur. Ziel mengulurkan pakaian seadanyauntuk menutupi tubuh bugilnya. Setidaknya itu le
"Syukurlah … kamu memang bisa diandalkan, Shafiqa. Kakak jadi makin sayang ma kamu," gumam Shafira sambil menutup panggilan teleponnya. Shafira tampak turun dari pembaringan yang sudah carut-marut tidak karuan. Bentuknya sudah ngalah-ngalahin kapal pecah. Dengan tubuh telanjang, gadis itu beranjak menuju kamar mandi hotel. Dia ingin membersihkan tubuhnya yang sudah bercampur keringat dan cairan kenikmatan teman lelakinya. Terutama di bagian intim miliknya. Rasanya lengket dan bikin dirinya tampak gerah. Tanpa banyak membuang waktu dia pun bergegas mandi. Dia ingin segera beristirahat di rumah. Setengah jam kemudian, gadis itu tampak sudah keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan bathrobe yang disediakan pihak hotel."Hei … baru kutinggal sebentar ternyata kamu sudah bangun, Cantik. Mana sudah wangi lagi. Bikin aku jadi ingin menyentuhmu," ujar Prayoga-lelaki yang sejak semalaman membooking Shafira.Shafira mencoba menepis tangan pria itu dengan halus. Tubuh
“Mengapa Nani tidak memberitahuku sebelumnya? Pikirnya gampang apa mempresentasikan produk kita yang cukup rumit tersebut?” Ziel terlihat begitu geram dan uring-uringan.“Mmm … maaf pak, kalau Bapak berkenan biar saya yang menggantikan tugas Nani,” ucap Bimo. Ziel hanya mengalihkan atensinya sejenak ke arah bawahannya tersebut, tetapi sebentar kemudian beralih pada setumpuk berkas yang harus dipresentasikan di hadapan rekan bisnisnya nanti. Pria tampan itu menyugar surainya yang berwarna sedikit pirang.“Ada masalah apa, Mas?” tanya Shafiqa menghampiri suaminya.Ziel masih bergeming tidak menghiraukan pertanyaan suaminya tersebut. Bimo tampak takut-takut menjawab pertanyaan bos perempuannya itu.“Nani-sekretaris Bapak mengundurkan diri hari ini, Bu. Padahal hari ini ada pertemuan penting dengan Pak Prayoga pemilik PT. Air Lancar,” terang Bimo.“Mengapa Nani keluar mendadak Pak? Apa sebelumnya tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu?” Shafiqa melontarkan pertanyaan ke Bimo.“Nani dipa
Prayoga tampak kesal sekali. Dia segera menyeret langkahnya meninggalkan PT. Albiru dengan kondisi muka lebam. Ziel sendiri yang masih nampak tidak terima dengan perkataan Yoga tadi kembali mendaratkan satu bogemnya sebelum pria itu benar-benar meninggalkan kantornya.Bimo sama sekali tidak menghentikan kebrutalan Ziel. Sebagai seorang lelaki yang membela istrinya sudah sepantasnya Ziel melakukan hal itu.“Apakah perlu kita mengadukan masalah ini, Pak? Karena tadi itu sudah termasuk pencemaran nama baik!” Bimo mengemukakan pendapatnya.Ziel bergeming di tempatnya dengan Shafiqa yang masih memeluknya. Perempuan cantik itu tampak ketakutan sekali.“Aku takut bertemu dengannya lagi, Mas. Pasti dia mengira aku adalah Shafira,” kata Shafiqa dengan bibir bergetar.“Maksud Bu Shafiqa bagaimana? Kalau boleh saya tahu?” sela Bimo dengan pandangan kebingungan.Sepasang suami-istri itu hanya bisa saling menatap dengan memberi sebuah isyarat agar keanehan yang terjadi hari ini cukup mereka berdua
Mira terbangun dengan rambut yang masih awut-awutan. Wanita berusia 45 tahun itu keluar kamarnya lalu menuju meja makan dengan ponsel dalam genggamannya. Sedari tadi dia tampak senyum-senyum sendiri. Tina-asisten rumah tangganya memperhatikannya dengan raut tidak suka. Netra Mira sekilas menangkap masakan beraneka ragam sudah tersedia di atas meja makan. Bahkan, mie ayam kecap kesukaannya pun sudah terhidang di sana. ‘Tumben si Tina rajin banget,’ pikirnya. Tangannya masih berbalas pesan dengan seseorang di seberang sana. Bibirnya tak henti menyunggingkan seulas senyum iblisnya. “Tin, ambilin minum!” titahnya kepada Tina yang nampak masih sibuk mengeluarkan cucian dari mesin cuci. “Bentar ya, Nyah. Lagi nanggung nih, mumpung cuaca lagi panas. Saya mau jemur cucian dulu,” jawab Tina dengan entengnya. Netra Mira melebar mendengar penolakan pembantunya tersebut. “Saya bilang ambilkan minum, ya kerjakan!” seru Mira dengan menggebrak meja di hadapannya. Tina menghela napas kesal
“Jadi perempuan itu sekarang ikut bekerja di perusahaan, Ziel. Tante tidak bisa bayangkan kalau pada akhirnya Ziel benar-benar takluk di tangan istrinya,” keluh Mira kepada Bianca. Wanita itu sengaja mengajak Bianca bertemu untuk mendukung aksinya kembali. Mira mengetahui bahwa, dirinya tidak akan mampu mengendalikan Ziel dengan tekanan darinya. Sekuat tenaga Mira berusaha mempengaruhi Bianca agar mau diajak bekerja sama. Bianca sendiri nampaknya masih mempertimbangkan keinginan Mira. Gadis itu sedari tadi tampak berpikir keras bagaimana dia sendiri bisa mendapatkan simpati mantan kekasihnya tersebut. Lebih tepatnya menaklukkan orang yang disukainya. “Lalu aku harus bagaimana, Mira?” Bianca memang tidak terbiasa menambahkan embel-embel tante di depan nama Mira meskipun Bianca lebih cocok jadi anaknya ketimbang jadi sahabatnya. “Kamu memang gadis yang cerdas, Bia! Aku tidak sia-sia mendatangimu. Aku yakin rencana kita ini pasti berhasil.” Mira terlihat begitu antusias. “Asal kam