26Hari sudah menjelang sore saat aku dan Raisa sampai di rumah kembali. Rasa lelah bermain setengah hari bersama Evan membuatku segera tertidur pulas. "Abang, bangun dulu. Udah mau jam lima. Abang, kan, belum salat Asar," ujar Raisa sembari mengguncangkan tubuhku.Aku bergegas bangun dan membersihkan diri. Tak lupa untuk berwudu kemudian salat Asar. Aku mempergunakan waktu menjelang Magrib ini untuk lebih banyak berdoa, meminta yang baik-baik kepada Tuhanku. Terutama untuk segera memiliki keturunan. Isak tangis Raisa dari sofa di dekat jendela membuatku tertegun. Aku segera bangkit dan mendekati perempuan tercinta. "Kenapa nangis?" tanyaku sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Maaf, Bang. Aku belum bisa ngasih keturunan buat Abang," jawab Raisa di sela-sela tangisan. Aku meraih kepalanya dan merangkul Raisa masuk ke pelukan. Aku membelai rambutnya yang panjang hingga ke punggung dengan penuh rasa sayang. "Kita ikhtiar dan berdoa aja terus. Semoga bisa segera dikabu
27Semenjak hari itu Raisa tampak sibuk berkeliling ke semua rumah keluarga untuk berpamitan. Dia juga sudah mulai mengepak pakaian dan beberapa benda penting yang akan kami bawa. Esti akan tinggal di sini bersama Eli, saudara sepupunya yang bekerja di restoran milik kakaknya Esti. Ruang tamu akan tetap menjadi kantor Raisa dan Esti. Nantinya, Raisa akan berkunjung ke sini bersamaan dengan waktunya aku untuk mengikuti rapat bulanan. Hari Sabtu pun tiba. Aku dan Raisa mengunjungi rumah orang tuaku untuk berpamitan. Mama menyiapkan aneka hidangan kesukaan kami. Beliau tak hentinya mengoceh dan bergurau dengan kami. Walaupun sebetulnya aku tahu, Mama sedang menyembunyikan kesedihannya. "Tiap bulan Abang bakal berkunjung, Ma," tukasku, saat membantunya mencuci piring. "Iya," jawab Mama dengan suara pelan.Aku merangkul tubuh perempuan yang telah melahirkanku dulu, dan mengecup dahinya dengan penuh kasih. "Anggap aja Abang lagi kuliah pascasarjana," candaku yang berhasil membuat beliau
28Rintik hujan di sore hari membuatku malas untuk bergerak. Duduk sambil selonjoran di ruang tengah, ditemani beberapa toples cemilan kesukaan plus secangkir besar teh es manis di meja, menyebabkanku seolah-olah tertancap di sofa. Esti dan Raisa serta Eli masih sibuk mengerjakan aneka hiasan untuk dekorasi kantor pribadi milik Andra. Celotehan khas wanita membuatku tertegun. Di Jakarta nanti mungkin Raisa tidak akan punya banyak teman seperti di sini. Saat canda tawa mereka berhenti, aku masih tetap di posisi semula. Lengkap dengan televisi menyala yang menonton diriku yang terkantuk-kantuk. Sekelebat bayangan yang melintas membuatku kaget. Rupanya Eli baru saja lewat menuju kamar mandi di dekat dapur. "Makanya jangan tidur sore-sore. Pamali!" omel Raisa sambil memandangiku saksama."Emang jam berapa sekarang?" tanyaku sambil menguap. "Udah Magrib, Abang. Itu udah azan. Ayo, buruan wudu. Kita salat berjrmaah," ajaknya sembari melenggang memasuki ruang tidur.Aku bangkit dan berd
29Malam beranjak larut. Aku dan Raisa memasuki kamar yang pernah menjadi saksi malam pertama kami yang mendebarkan, karena sama-sama canggung. Kendatipun sudah mengenal sejak lama, tetap saja saat itu kami masih belum terlalu akrab. Ditambah lagi, kami melakukannya hanya karena nafsu, tanpa ada rasa cinta dalam dada saat itu. "Masih inget, nggak? Waktu kamu nolak gituan di hotel?" tanyaku sambil memeluk Raisa dari belakang. "Inget, terus Abang mandi lama banget," jawabnya. "Ho oh. Kesel tau! Tapi Abang berusaha sabar. Nggak mau maksa kamu. Padahal udah pengen banget." Raisa cekikikan dan memancingku untuk turut tersenyum. "Tapi waktu kamu bilang siap, justru Abang yang jadi gugup karena takut salah. Berusaha memperlakukanmu sebaik dan selembut mungkin," lanjutku. "Iya, Bang. Aku merasa bersyukur malam pertama kita cukup menggembirakan. Nggak seperti cerita teman-temanku yang sudah lebih dulu menikah. Ngeri dan sakit banget, kata mereka," jawab Raisa sambil membalikkan tubuhnya,
30Bayu menggendong Evan dan mencoba menenangkan tangisan anaknya. Lambaian tangan Raisa dibalas Evan sambil sesenggukan. Marni, Esti dan Eli berdiri memperhatikan mobil yang kami tumpangi. Raisa menangis terisak dalam dekapan maminya di kursi tengah. Aku sendiri sekuat tenaga menahan air mata hingga tidak luruh, dan berusaha untuk tetap fokus menyetir. Mobil milik Papa menyusul di belakang. Kedua mobil melaju menembus kemacetan kota kembang di hari Senin pagi yang cerah. Memasuki jalan tol laju mobil kami tambah dengan tetap menaati aturan. Sepanjang jalan Raisa masih menangis. Sepertinya dia kesulitan menahan kesedihan karena harus berpisah dengan orang-orang yang disayangi. Sekitar dua jam kemudian kami sampai di Jakarta. Aku menghentikan mobil di parkiran sebuah gedung perkantoran yang besar. Semua penumpang dari kedua mobil turun, lalu kami melangkah memasuki gedung.Seorang pria berkemeja putih dan dasi hitam menyambut kedatangan kami dengan ramah. Pak Tono, manajer umum men
31Sepulang dari pasar tadi Raisa langsung sibuk di dapur. Tanpa banyak kata dia menyiapkan beberapa lauk untuk menu makan siang kami. Setelah selesai mandi dan makan siang, dia memilih untuk tidur dengan posisi memunggungiku. Aku seolah-olah merasakan deja vu. Dulu, di malam pertama kami di hotel dia juga seperti itu. "Kita jalan, yuk?" ajakku sore ini."Males!" ketus Raisa."Jangan ngambek terus, dong. Kan udah Ayah jelasin Lina itu siapa," ujarku sambil membelai lengannya dengan lembut. "Hmm.""Nggak usah hmm, hmm. Ayo, kita jalan-jalan." Aku menarik lengan Raisa hingga dia bisa duduk dengan malas sambil menatapku dengan tajam. Aku mengabaikan delikannya dan berpura-pura sibuk merapikan rambut."Cuma jalan-jalan doang?" tanyanya. "Emangnya mau ke mana lagi?" "Nonton!" Aku mendengkus dan memutar bola mata. Merasa jengah dengan tingkah judes dan manjanya yang selalu bercampur. Setelahnya baru aku mengangguk, pasrah ditodong seperti ini.Senyuman mengembang di wajahnya yang mak
32Sepanjang perjalanan menuju Bandung, Raisa tak henti-hentinya bersenandung. Sekali-sekali tawanya berderai mendengar candaan penyiar radio. Aku yang terbiasa menyetir, akhirnya jadi tidak bisa tidur di kursi penumpang. Padahal mata sudah sangat mengantuk. Jalanan yang padat merayap tidak membuat semangat istriku yang cantik itu surut. Justru dia bertambah antusias menyetir agar segera sampai ke tempat tujuan. "Alhamdulillah, akhirnya kita sampai," ucap Raisa, sesaat setelah tiba di depan kediaman orang tuanya. Kami keluar sambil membawa tas masing-masing. Raisa jalan terlebih dahulu menuju bangunan besar di mana kedua orang tuanya sudah berasa di teras menyambut kedatangan kami. Pelukan hangat bak adegan sinetron membuatku tersenyum geli. Sekarang tahu, kan, dari mana Raisa mendapatkan sifat rada lebay-nya itu. Tentu saja dari sang mami yang sifatnya hampir sama dengan putrinya.Selanjutnya kami digiring masuk ke rumah. Di atas meja ruang tengah sudah tersedia aneka kudapan keg
33"Abang," panggil Raisa. Saat ini kami masih bergelung di dalam selimut. Udara dingin pagi hari membuat kami enggan untuk bangun. "Hmm.""Kita cari sarapan, yuk." "Bunda mandi dulu sana. Gantian." "Mandi bareng aja," godanya. "Ayah mau nyetor. Entar Bunda kebauan." Satu pukulan mendarat di lenganku. Kemudian Raisa bangkit perlahan, berdiri dan melangkah lambat ke kamar mandi. Sambil tersenyum lebar aku turun dari tempat tidur. Melangkah pelan dan menyusulnya. "Abang jorok!" teriak Raisa, sesaat setelah aku duduk di kloset. Tawaku membahana. Sebetulnya aku hanya menuntaskan hasrat ingin buang air kecil dan bukan hendak mengebom. Raisa buru-buru menyelesakan acara mandi dan keluar sambil bersungut-sungut. Aku terus tersenyum, tak peduli dia menggerutu. Salah sendiri dia mandinya lama. Jadinya kuserobot aja. ***Senin siang yang panas, tak menyurutkan semangat untuk tetap bekerja. Walaupun rasa kantuk mulai mendera, tetapi aku tetap berusaha untuk fokus di depan meja. "Pak
50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber
49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.
48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p
47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung
46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA
45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli
44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta