"A-apa? Kenapa dipecat?" tanya Dilara terkejut."Aku tidak bisa mempertahankan mereka yang tidak becus mengurus rumahku." Gregory berjalan ke arah ruang kerjanya. "Jangan mengikutiku! Lebih baik kau pulang karena aku sudah mulai bosan denganmu."Baru semalam menikmati tubuh Dilara dan keesokan paginya pria itu berkata sudah bosan. Bukankah ucapannya itu sangat kejam?Andai Gregory tidak mengatakan masalah kebenciannya, mungkin Dilara akan langsung sakit hati."Ya sudah, aku akan pulang," ujar Dilara lesu.Gadis cantik itu menatap sendu punggung Gregory. Kemudian, berbalik dan berjalan menaiki anak tangga. Tanpa membersihkan diri lebih dulu, ia bergegas mengganti baju. Lalu, memesan taksi online sambil beranjak keluar area kamar.Sambil menunggu taksi datang, Dilara mencari alamat lengkap rumah itu. Setelah menemukannya, ia bergegas memesan makanan untuk Gregory. Hingga tidak lama kemudian, taksi datang dan tidak perlu menunggu lama ia langsung pergi.Di dalam taksi, Dilara mulai melam
"Apa sudah selesai?" tanya Gregory sambil melipat koran."Iya, sudah," jawab Dilara dengan raut lelah."Bagus. Kalau begitu, aku lapar dan kau harus membuatkan makanan untukku," kata Gregory menyentuh perutnya.Sudah bisa dipastikan kalau pria itu sengaja ingin mengerjai Dilara. Kalau tidak, ia akan meminta gadis itu untuk pergi istirahat sebentar setelah membersihkan rumah sebesar itu."Siap, Om Greg," balas Dilara bersemangat. Gadis cantik itu mengatupkan telapak tangannya di dahi dengan senyum lebar yang terpatri di wajah ayunya. Ekspresi lelahnya hilang dalam satu kali kedipan mata."Ingat! Aku tidak suka makanan pedas," kata Gregory mengingatkan."Iya, Om." Dilara menggertakkan gigi sambil melirik tajam Gregory yang kembali membaca koran, "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan jadi pemenangnya," imbuhnya dalam hati.Dilara membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi ke dapur. Memilih bahan apa saja yang akan menjadi menu makan malam dan memasukkan sisanya ke dalam lemari pendingin.
Keluar dari ruang dokter, Dilara terlihat kebingungan. Entah harus senang atau sedih. Ia tidak tahu apa yang dirasakan saat ini. Hanya pernah melakukannya satu kali dan langsung bisa membuatnya hamil."Tidak. Ini hanya dugaan dan belum tentu benar. Kalaupun aku hamil, memangnya kenapa?" batin Dilara berkecamuk.Berhubung waktu sudah semakin siang, jadi Dilara memutuskan untuk pulang dan akan kembali di keesokan harinya. "Apa aku ke rumah Om Greg saja? Ya, aku ke sana saja."Niat pulang ia urungkan dan memilih pergi ke rumah Gregory. Namun sebelum itu, Dilara mampir ke apotek terlebih dahulu untuk membeli alat tes kehamilan. Setidaknya sebelum pergi menemui dokter kandungan, ia ingin memastikannya lebih dulu.Setelah tahu hasilnya, ia akan mengatakannya pada Gregory. Entah jawaban apa yang akan pria itu berikan dan keputusan apa yang akan ia ambil."Kau mau ke mana?' tanya Gregory.Sampai di rumah pria itu, Dilara langsung melangkah menuju lantai dua. Merasa diabaikan, Gregory pun mene
"Maksud Om Greg apa?" tanya Dilara dengan wajah memucat.Mungkinkah Gregory akan melakukan sesuatu yang buruk pada Dilara? Atau melakukan pembuktian tentang kehamilan gadis itu?"Membuktikan kau hamil atau tidak," jawabnya santai. Ia meraih cangkir kopi hitam dan menyesapnya."Untuk apa? Sudah aku bilang kalau aku tidak hamil. Aku berkata seperti itu hanya ingin tahu tanggapanmu saja," ujar Dilara menggebu.Jantung Dilara berdegup kencang. Pikirannya kacau melanglang buana entah ke mana. Pikiran-pikiran buruk tentang apa yang akan Gregory lakukan pada janin yang ada di perutnya melintas di kepala."Benarkah? Sayangnya aku tidak percaya." Gregory tersenyum menunjukkan seringaian tipisnya."Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini padaku?" tanya Dilara berusaha mengalihkan perhatian.Apa pun yang terjadi, ia harus mengubah topik pembicaraan. Ia harus membuat Gregory lupa tentang pembahasan kehamilannya.Meski tujuannya sekedar mengalihkan perhatian Gregory, Dilara mengeluarkan semua u
Tujuh tahun kemudian.Pukul empat sore, terlihat dua anak laki-laki sedang bermain sepak bola di taman. Meski keadaan sekitar sangat ramai, tetapi mereka mampu mendominasi tempat itu."Jangan menendang bola ke arah jalanan, Shine," kata Dilara mengingatkan."Iya, Mommy," balas Shine."Shane juga, jangan terlalu keras menendang bolanya takut terkena pengunjung lain," kata Dilara mengingatkan pada anak keduanya."Shane mengerti, Mommy," balas Shane mengulas senyuman.Dilara duduk di kursi taman sambil memperhatikan anak kembarnya bermain sepak bola. Setiap akhir pekan, ia akan membawa kedua putranya keluar sekedar bermain di taman dan berbaur dengan anak lainnya."Shine haus, Mommy." Pria mungil itu berlari mendekat ke arah ibunya."Ini, Sayang." Dilara menyodorkan botol minum, "Duduk dulu sebelum minum," imbuhnya mengingatkan.Shine pun duduk dan mulai meneguk air. Setelah merasa cukup, ia kembali berlari ke sana kemari lagi mengejar bola."Shane!" teriak Dilara."Maaf, Mommy," ujar Sh
"Jadi, maksudmu mereka itu anakku?" tanya Gregory tidak habis pikir.Menikah saja belum bagaimana bisa ia memiliki anak. Bahkan selama bertahun-tahun meski banyak wanita yang mendekatinya tidak ada yang mampu membuatnya bergairah."Hehehe ... iya, Bos." Satya tersenyum canggung.Sebenarnya ia juga ragu. Hampir sepuluh tahun lebih bekerja dengan Gregory, meski banyak wanita yang mendekat, tetap tidak sekalipun melihat bosnya tergoda. Hanya saja, kemiripan wajah mereka membuatnya berpikir seperti itu."Jangan asal menebak. Mungkin itu hanya sebuah kebetulan atau mungkin menurutmu saja mirip dan tidak bagi orang lain," kata Gregory terdengar masuk akal."Iya, Bos," balas Satya."Ya sudah, kembali fokus berkendara. Jangan sampai kau berpikir hal yang tidak-tidak dan membuat kita mengalami kecelakaan."Suasana kembali hening. Satya kembali fokus mengendarai mobil dan Gregory sibuk menatap lurus ke depan. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba berubah tidak enak dan ia tidak tahu apa alasannya
Baru saja hendak melangkah keluar setelah membuka pintu, Dilara dan kedua anaknya berpapasan dengan Gregory. Sontak, wanita itu langsung memeluk Shine dan Shane erat. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan membuat Gregory bingung."Bukankah dia ... wanita yang di taman waktu itu," bisik Gregory dalam hati menatap Dilara lekat.Tatapan mata sepasang masa lalu itu bertemu. Arti dari tatapan mata keduanya jelas berbeda. Yang satu ketakutan dan yang satu penasaran."Ayo, Sayang!" kata Dilara dengan nada terburu.Mereka bertiga berjalan melewati Gregory yang membeku menatap pantulan wajahnya dalam diri Shine dan Shane. Ia pikir, kenapa dua anak kecil itu terlihat sangat mirip dengannya?"Tunggu!" teriak Gregory.Sayangnya, reaksi atas apa yang menimpanya benar-benar terlambat. Ia terlalu lama berdiri di depan pintu dan sosok Dilara juga si kembar sudah lama menghilang.Pria itu bergegas keluar dan mencari di area sekitar. Akan tetapi, ia tetap tidak menemukan mereka. Lalu, mengetuk mobilnya d
"Apa?! Bagaimana bisa?" tanya Dilara terkejut.Masalah Gregory saja belum tahu bagaimana cara menyelesaikannya dan sekarang sudah muncul masalah baru. Kenapa tiba-tiba masalah datang berturut-turut?["Aku juga tidak tahu. Aku pikir, kau berhutang pada mereka dan belum membayar," ujar tetangga sebelah menebak."Tidak. Aku tidak pernah berhutang dan sampai sekarang tidak memiliki hutang apa pun pada orang lain."Selama hidup, Dilara merasa tidak pernah meminjam uang atau barang apa pun pada orang lain. Selama ini hidupnya selalu berkecukupan meski jauh dari orang tuanya.["Tapi kenapa mereka mengobrak-abrik isi rumahmu?" tanya tetangga sebelah heran.Tiba-tiba, terdengar suara barang yang dilempar. Entah apa itu, Dilara bisa mendengarnya. Bahkan suara pecahan kaca pun terdengar sangat jelas di telinganya."Aku juga tidak tahu, tapi apa kau melihat wajah orang yang mengobrak-abrik rumahku?" Dilara terlihat kebingungan memikirkan siapa orang yang mengacak-acak rumahnya.["Tidak. Aku tidak