Semua rasa yang dulu pernah ada untuk Gavin Narendra Tama, masih ada sampai sekarang. Luna, memang pernah melakukan kesalahan karena menduakan Gavin, bahkan menjadikan Gavin sebagai pelarian semata. Tapi sekarang dia baru sadar bahwa hanya Gavin lah pria terbaik bagi Luna.
Sejujurnya Luna merasa sakit, melihat Gavin mengabaikan dia. Tapi dia sadar posisinya, siapa dia sekarang, dan bagaimana perasaan Gavin memudar padanya sampai akhirnya hilang sepenuhnya, yang tersisa hanya rasa iba dan tanggung jawab karena dia memiliki anak dari Gavin.
“Vin seandainya kau tahu, aku selalu mengharapkan dirimu tersenyum ke arahku, setidaknya kau menatapku saat berbicara dengan ku. Apa aku terlalu berlebihan mengharapkan itu? Aku tidak mengharapkan dekap pelukmu yang hangat, ataupun kecupan manis bibirmu.” Luna menggumamkan itu sambil terbayang sikap manis Gavin dulu padanya. Dia tanpa sadar meneteskan air mata dengan dada yang sesak. Lalu matanya menatap lurus langit
Kehidupan Ara mulai berjalan lebih normal dari sebelumnya. Ara lebih bisa menerima keadaan yang harus dia hadapi, menerima kenyataan bahwa suaminya, Gavin, harus bertanggung jawab terhadap Luna.Meskipun dia masih sering merasa sakit, jika Gavin tidak sedang bersamanya. Belum lagi Gavin yang sering mondar-mandir dari rumahnya ke rumah sakit untuk melihat keadaan bayi Luna. Rasanya Ara teriris, ingin mencegah suaminya melakukan itu, pastilah Gavin lebih mendahulukan keinginan Ara. Tapi dia tidak boleh egois, karena dia sadar Luna mungkin sedang membutuhkan suaminya, lebih dari dia.Seiring berjalannya waktu, Ara lebih banyak menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan di rumah. Terutama karena dia sedang hamil, Ara menyibukkan dirinya dengan kegiatan yoga dan lainnya.Di tempat lain, Alissa makin merasa tersiksa hidup bersama Louise. Sisi tempramental Louise yang sering ditujukan padanya membuat Alissa stress. Berulang kali dia memohon pada Lissa agar Louise men
Sebelum bisa memprotes nya. Bibir Luna sudah menempel di bibir Gavin. Secara naluriah tangan Luna langsung naik mengusap dada bidang Gavin. Perlahan melepaskan kancing baju Gavin satu persatu. Luna sangat menikmatinya. Menyentuh dada berotot Gavin yang keras, hangat, dan sangat perkasa itu.Bibir Gavin akhirnya memagut kasar bibir Luna. Dia tidak menyangka itu akan dia lakukan. Itu bibir Luna, bukan bibir Arabella. Meski Luna memang istrinya juga.Bibir Gavin mencium bibir Luna dengan pelan, dengan sangat lembut. Luna amat bahagia, meski dia tahu setelah ini Gavin akan pergi dari hidupnya.Sial! Aku benar-benar sudah tergoda olehnya! Batin Gavin mengutuk. Tenanglah Vin. Setelah ini kau bisa meninggalkan Luna dan segala yang kau takuti. Bukankah tadi Luna berkata begitu?Tapi kemudian Gavin seperti melihat Ara sedang menatapnya dengan air mata. Gavin pun segera mendorong tubuh Luna.“Tidak! Aku tidak bisa!”Luna ditinggalkan begit
“Kandungan Ibu baik-baik saja. Kemungkinan Ibu akan melahirkan dalam waktu dekat. Saya sarankan agar Ibu mempersiapkan dari sekarang. Tetap jaga kesehatan dan harus rileks.” Dokter kandungan menjelaskan setelah melakukan pemeriksaan pada kandungan Arabella. Perutnya sudah sangat besar, tanpa sadar air mata luruh membasahi pipinya. Ara teringat Gavin. Hampir setiap waktu Ara teringat pria itu.“Terima kasih, Dokter.”Dokter itu tersenyum ramah. “Kenapa tidak mengajak suami anda, Bu? Apa suami anda sangat sibuk?” tanyanya pada Ara.Ara seketika itu terdiam tidak dapat menjawab. Dia menghela napas panjang, pertanyaan yang tidak pernah berubah setiap kali dia memeriksakan kandungan di rumah sakit yang berbeda.“Saya tidak memiliki suami, Dokter.” Ara tersenyum getir. Tapi Arabella seolah sudah terbiasa hidup dengan kepedihan. Bertemu Gavin seperti mimpi ind
Gavin terus berpacu dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kacau, dia tidak bisa tenang sebelum sampai ke alamat Ara. Meski ucapan Alissa belum terlalu jelas, tapi Gavin yakin sekali sesuatu terjadi pada Ara. Apakah dugaannya benar? Ini semua perbuatan Louise? Saudara ipar Ara?"Ara, kenapa kau sangat keras kepala, hah!! Kenapa kau memilih pergi di saat kau bisa aku lindungi! Aku sangat marah, Ara! Marah sampai ingin menghabisi siapa pun yang berani menyentuh sejengkal saja tubuhmu!"**"LOUISE HENTIKAN!!""TURUNKAN AKU, LOUISE!!"Teriakan Ara tidak berarti bagi Louise. Lelaki itu benar-benar asing di mata Ara. Louise yang dulu dia kenal sangat lembut dan baik hati, malah berbuat hal yang menjijikan seperti sekarang.Louise mengikat dua tangan Ara di ranjang. Padahal perut Ara sudah membesar dan dia sangat pucat karena lemas kehabis
"Maaf Tuan, tapi Nyonya Ara harus segera di lakukan tindak operasi caesar.""Lakukan saja, Dokter. Lakukan yang terbaik!""Tapi, Tuan, ada masalah lain..." Dokter itu tampak ragu menyampaikan pada Gavin. Tapi sebagai dokter dia harus menyampaikan kondisi pasien dengan sejujurnya."Kenapa, Dokter? Masalah apa?" Gavin tampak sangat panik. Ara juga sejak tadi mengeluh sakit, bahkan dia terlihat sangat lemas."Tekanan darah Nyonya Ara sangat tinggi, kalau di paksakan menjalani operasi, biasanya akan menimbulkan efek samping nantinya. Satu hal lagi, mata nona Arabella terkena pecahan kaca. Saya cemas, jika nanti ada efek samping. Mungkin nona Ara akan kehilangan penglihatannya," 1terang Dokter itu pada Gavin."Maksud Dokter? Efek samping yang seperti apa? Maksudnya tidak bisa melihat apa Ara akan buta?""Untuk efek samping bisa berbed
Pahit. Hidup Arabella seolah tidak habis dirundung kepedihan. Baru saja dia kembali pada suaminya. Merasakan cinta dan dekapan erat Gavin lagi. Tetapi Tuhan memberikan dia cobaan lain berupa kebutaan yang menimpanya. Bukan hal yang mudah bagi Arabella menerima itu semua. Semua yang dia alami selama ini sudah pahit, perih, dan penuh perjuangan. Ara tidak mungkin bisa bertahan sampai sekarang kalau bukan demi putranya. Tidak ada yang lebih dia cintai sekarang, selain putri pertamanya dari Gavin. Bahkan Arabella belum tahu wajah putranya seperti apa. Dia hanya bisa menangis, teriris perih, tapi dia tidak boleh putus asa. “Sayang, ini mama, nak. Kau sudah tidur?” tanya Ara pada bayi cantiknya yang bernama Aely. Bulir bening tanpa sadar luruh. “Mama ingin melihat wajah kamu, sayang.” “Tapi, Mama tidak berdaya.” Tidak ada yang dapat menggambarkan luka di hati Ara Kecuali mereka yang sama seperti Ara, sama-
Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Arabella dan Gavin saat itu. Setelah beberapa bulan Ara tidak bisa menatap wajah orang-orang yang dicintainya. Kini, di hadapannya, ada Gavin sedang menggendong bayinya, Aely.“Sayang. Aku gemetaran ingin menyentuh wajah cantik Ael.”“Dia mendapatkan kecantikan ini karena dirimu juga cantik. Kau mamanya, kau memiliki kecantikan Ael, Sayang.”Mata Ara berkaca-kaca. “Aku mau menggendongnya, Vin.”“Ya, kau memang harus menggendongnya.”Gavin menyerahkan bayi perempuannya ke gendongan Arabella. Ael terlihat tenang saat berada di pelukan Ara.“Sayang, ini mama, Nak.” Ara menciumi Ael sambil menangis sesenggukan. “Siapa kiranya orang baik yang memberikan aku donor mata ini, Vin? Aku benar-benar penasaran. Aku sangat ingin bertemu dengannya.”Gavin tersenyum. “Yang pasti dia
Kebahagiaan yang luar biasa sedang di rasakan Arabella dan Gavin. Kedua orang tua Gavin juga amat bersyukur karena menantu tersayang mereka sudah bisa melihat lagi.Ara termasuk yang beruntung, karena saat dia tidak bisa melihat, yang bermasalah adalah retina, sehingga donor mata masih bisa di lakukan. Kalau bukan karena itu mungkin dokter tidak bisa membantu Ara sampai seperti sekarang ini.Meskipun begitu, Ara masih penasaran siapa yang mendonorkan mata untuknya. Dia bercermin menatap pantulan retina matanya. Dia menebak-nebak, orang sebaik apa dia?"Sayang, di depan ada yang ingin bertemu denganmu." Gavin mengelus pipi Ara yang baru saja berganti pakaian, mereka berencana untuk makan malam bersama keluarga."Siapa, Sayang? Mana Ael?""Ael sedang bersama oma dan opanya. Temui dulu tamu mu, dia sudah lama ingin bertemu denganmu, tapi keberaniannya belum cukup. Begitu mendengar kau sudah b
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar
"Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah
"Oli, sudahlah, aku tau kau kesal. Tapi kau sendiri tau, kan? itu papamu, dia memang begitu sejak dulu.""Eve, tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan. Bukannya kita sudah sepakat, untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing lagi. Tapi, dia malah terlalu jauh mencampuri urusan kita."Meski Evelyn juga heran, terutama dengan kata-kata Gilbert yang terang-terangan mengatakan tidak menyukai Gavin. Tapi, dia tidak mau itu menjadi beban pikiran suaminya. "Hei, tidak akan ada yang terjadi. Papa tidak bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar menggertak kita. Iya, kan?"Oliver memeluk Evelyn. Beruntung istrinya itu sangat penyabar dan mengerti keadaannya. "Maafkan aku, ya, Eve. Karena dia membuat kamu susah sekarang.""Tidak, aku justru sangat bersyukur, di saat seperti ini kau membelaku." "Tentu saja, kau adalah istriku, jadi sudah sewajarnya aku membela mu, kan?" "Hem, kau harus tau, aku sangat bahagia, Oli. Kuharap kau terus
Gilbert dalam keadaan geram segera meminta orang kepercayaannya untuk menemui Evelyn dan meminta Evelyn membatalkan kontrak kerja sama dengan Gavin. Namun tak lama kemudian. Evelyn dan Oliver datang dalam keadaan tidak terima sebab menurut mereka Gilbert sudah keterlaluan ikut campur dengan urusan mereka. "Pa, kita harus bicara.""Kalian berdua duduk."Evelyn dan Oliver duduk dengan kemarahan yang tertahan. Tak mengerti kenapa Gilbert sangat tidak setuju dengan kerja sama Evelyn dah Gavin. Padahal semuanya susah sesuai prosedur dan perusahaan Gavin juga terbukti telah berhasil selamat dari ancaman kebangkrutan dan mulai berjaya lagi. "Kalian tahu, kan, bahwa kalian tidak memiliki hak untuk menolak permintaan Papa."Oliver kelihatan sangat kesal, dia berdiri lalu menantang papanya dengan tatapan tajam. "Papa punya alasan?" "Oli, duduklah, kau tidak boleh begitu di depan papamu," pinta Evelyn. "Tidak, Eve. Ka
Kedatangan Evelyn ke rumahnya membuat Arabella kepikiran. Jadi, rupanya sosok Gilbert bukan hanya menyebalkan, dan jahat di matanya saja, melainkan di depan anak dan menantunya? "Ah, aku lupa, dia adalah ayahku." Ara berdesis sebelum akhirnya dia duduk di depan meja kerjanya. "Jadi, dia juga mengucilkan Evelyn karena Evelyn belum punya anak?" Ara teringat waktu Evelyn berkata, dia dikucilkan. Sebab selama berumah tangga kurang lebih sepuluh tahun, dia belum juga dikaruniai keturunan. Setahu Evelyn, Gilbert ingin sekali memiliki cucu. Dia ingin sekali punya cucu perempuan. "Tidak, aku tidak akan biarkan laki-laki tua yang sudah menghancurkan hidup ku dan ibu, juga hendak merenggut kebahagiaan putriku?" "Aku pulang, Sayang..." "Gavin." Ara berdiri, dia langsung menghambur ke arah suaminya yang baru pulang dari bekerja. "Akhirnya kau pulang, Sayang." "Hem, tentu saja. apa kau menungguku?" "Ya, tentu saja ak