“Tidak!” jawabku.
“Jangan bohong, Pras!” Erika mendelik sembari bersedekap.
Karena dia sudah terlanjur tahu kehamilan adiknya, aku tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya aku pun berkata, “Ya, aku tahu!”
Erika kembali menutup mulutnya dengan tangan setelah mendengar jawaban yang kulontarkan. Titik air di kelopak matanya pun mengalir di pipi.
“Ka … kamu!” Erika bergetar lalu menutupi wajahnya.
Melihat istriku menumpahkan kekecewaannya, dadaku rasanya terhentak oleh sesuatu akan tetapi, tidak ada yang bisa kulakukan selain mengusap wajah. Menerima kenyataan bersama dirinya.
Wajah muram Erika tampak begitu dia menurunkan tangan, air mata memenuhi area wajahnya.
“Aku sangat menyayanginya … Adikku itu meski pun dia bukan ad-,” kalimat Erika terhenti. Tonjolan kecil di lehernya na
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku memutuskan untuk bermalam di rumah mendiang orang tuaku. Meski tidak pernah kutinggali, kamarku tetao bersih dan rapi karena bantuan Tante. Dulu sekali, tempat favoritku untuk berpikir adalah di sofa single di dekat jendela. Di depannya ada sebuah meja kayu yang biasa kugunakan untuk meletakkan kopi. Sekarang pun aku mengulangi kegiatan ini untuk merenungi apa yang terjadi dalam kehidupanku setelah menikah. Pemanadangan kota di kejauhan yang gemerlap begitu indah dipandang. Cahaya dari gedung-gedung pencakar langit yang sebagian redup, sudah lama aku tidak melihat pemandangan di luar sana. Berlama-lama seperti ini. Drrrt … Drrrrt! Suara ponsel yang merambat ke meja membuyarku. “Halo.” [Hai, Pras!] Suara bariton dari seberang sana. “Siapa?” [Rafael!] Aku mengembuskan napas. “Ada apa?” [Sidang selanjutn
Aku melipat kertas menjadi kecil dan muat di kantong jaket. Merasa lega karena satu urusanku selesai hari ini, sisanya hanya kupasrahkan saja dan berdoa. Sepatu berecit di permukaan lantai yang rumah sakit yang licin. Melewati loket pendaftaran yang agak ramai, aku berjalan dengan santai, melintas di depan orang tua yang duduk di deretan bangku paling depan. Suara panggilan dari mesin pemanggil otomatis bergantian memanggil nomor antrian secara urut. [Nomor antrian sepuluh silakan ke loket tiga] Namun, langkahku terhenti ketika seorang petugas dari balik meja konter loket pendaftaran memanggil seorang nama yang kuenal. “Ibu Dwi Harmoni!” panggilnya. Dan benar, mataku membeliak begitu sosok Dwi berdiri dari bangku tunggu. Dia memakai tas tangan tanpa menyadari kehadiranku. Dwi menuju meja konter dan melakukan pendaftaran. Penasaran, aku berdiri di belakangnya, mendongak mengintip selembar ker
“Maybe I’am just a dreamer … hiding away from life. Maybe we’re just pretending it never cuts like knife.” Lagu milik MLTR mengalun dari pemutar musik memecah keheningan antara aku dan Dwi. Sejak Dwi mendapatkan obatnya hingga sekarang, tidak ada percakapan diantara kami. Selama itu pun aku fokus mengendalikan wagon kesayangan sementara adik iparku yang manis sibuk dengan ponselnya. Lagu pun berganti seiring roda kendaraan memasuki area parkir. Tanganku menarik rem tangan, mengembalikan persneling ke pengaturan netral kemudian mematikan mesin. Segera setelah itu, Dwi turun dari wagon hitam kesayanganku tanpa mengucapkan terima kasih. Punggung Dwi bergoyang, menapaki undakan kemudian bak ditelan pintu, sosoknya tidak terlihat lagi. Sementara, aku menghela napas berat di belakang kemudi akan tetapi, berlama-lama di dalam mobil juga tidak akan menyelesaikan masalah. Seperti kata tanteku, aku tidak boleh lari. ***
Segera aku menelfon Rafael dan berjanji di sebuah kafe dekat kantor Erika. Sayang sekali, karena Rafael sedang bertugas, aku hanya bertemu dengan istrinya.Rahayu duduk berseberangan denganku, menyilangkan kaki dan bersiap mendengar hal yang akan kusampaikan.“Maaf ganggu waktu Mbak Rahayu di waktu sibuk begini.” Aku memulai pembicaraan.“Gak apa-apa. Demi kasus ini.” Rahayu meletakan tangannya di atas meja, mencondongkan badannya.“Jadi, apa yang mau kamu katakan?” tanyanya dengan tatapan tajam.“Aku punya bukti untuk membantumu,” jawabku. Rahayeu mengernyitkan alis tebalnya.“Bukti?” Aku mengangguk.“Rafael menelfonku pagi tadi, katanya kamu menemukan bukti tambahan dan sudah memrosenya ke jaksa penuntut umum.”“Lalu?” Aku menegakkan punggung, mengeluarkan smar
Aku terduduk lemas, menyibak rambutku. Masih tidak bisa kupercaya jika Erika yang melaporkan kasus ini. Mendadak harga diriku terasa diinjak oleh Sang Manajer. Meruntuhkan tekadku untuk menyelesaikan kasus ini sendirian. Dia sudah melanggar perjanjian pernikahan.Aku tidak tahu kemana sekarang keadaan akan membawaku, yang jelas sekarang ini keadaan menjadikanku seorang pria lemah yang tergantung kepada istri secara tidak langsung.Erika. Ada satu sisi yang baru saja kuketahui dari wanita dingin dan gampang berubah mood itu. Sisi yang tidak kupunya sebagai laki-laki yaitu, sesuatu yang disebut ambisi.“Kamu lagi apa?” suara parau Erika membuatku mengangkat kepala. Wajahnya yang tirus seperti biasa mencuatkan aura dingin, tanpa ekspresi.“Gak penting juga kalau kujawab,” ucapku.“Daripada leha-leha di kafe seperti ini, mending kamu ke kantor aja. Kerja!”&
Biasanya aku takjub dengan pemandangan kota di malam hari. Bahkan, aku sangat suka menghibur hati dengan berkeliling mengendarai wagon hitam kesayanganku kalau sedang stres. Kali ini begitu berbeda, gemerlap lampu kota dan biang lala yang terlihat berputar pelan dari kejauhan, monumen Bajra Sandhi yang megah dengan mahkota dan bahkan tangkringan anak muda sekalipun tidak dapat menghibur hati berselimut kalut karena permasalahan hidup. Keluar dari jalur kota, aku membanting setir wagon ke jalur yang sepi. Jalan yang mengarah ke sebuah taman dengan suguhan danau. Mobilku melaju pelan di gang sempit lalu memasuki area lapang. Menginjak rem, menarik rem tangan kemudian mematikan mesin. Terpakir di antara lampu merkuri remang di tanah lapang. Angin sepoi menyambutk tubuhku begitu keluar dari wagon hitam seakan menyambut pangeran yang kesepian. Aku menyandarkan pantat di kap wagon, mengeluarkan sebungkus rokok,
Lampu kedua kamar tampak padam. Hanya lampu ruang tamu yang menyala. Hari ini begitu lelah padahal aku tidak melakukan apapun. Hanya pergi ke rumah sakit, bertemu Rahayu dan menikmati angin di danau. Kubuka pintu kamar, Erika sedang tidur miring. Tubuhnya tertutupi selimut putih, bahunya mencuat, ditutupi sedikit oleh rambut panjangnya. Aku tersenyum kemudian kembali menutup pintu lalu beralih ke kamarku yang sekarang ditempati oleh Tuan Putri Dwi. Membuka pelan pintu agar tidak membangunkannya kalau dia sudah bermimpi. Pintu kamar terbuka, dugaanku salah. Adik iparku itu masih membaca buku. Diterangi lampu belajar, kamar ini jadi remang. “Ibu hamil harusnya tidur lebih cepat,” ucapku dari pintu. Malas melihatku, Dwi membalik badan, melanjutkan membaca bukunya. Rupanya gadis itu masih kesal gara-gara omonganku tadi pagi. Tidak ingin membuat suasana lebih dingin, aku me
Erika mengembarakan mata dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Berdecak kesal. “Kenapa warna outfitmu mesti sama, sih?” keluhnya. Aku baru ingat kalau dia mengenakan pakaian warna biru langit. Karena tadi di tempat tidur aku tidak memerhatikannya. “Gak sengaja,” jawabku. “Ya udah. Yuk, ah!” Mobilku melaju dengan kecepatan konstan, berhenti di bawah lampu merah bersama mobil-mobil lainnya. Erika yang sedari tadi sibuk dengan smartphone kemudian mengalihkan pandangan ke kemacetan di depan kami. Tidak ada suara darinya. “Gimana produknya?” tanyaku. “Sudah dimulai beberapa waktu lalu. Kuserahkan kepada Bu Dewi sebagai koordinator pengawas.” “Jadi, beliau sudah tidak menguji siklamat lagi?” tanyaku sembari memelankan injakan pada pedal gas. “Sudah ada orang lain yang menangani itu. Kamu bantu dia saja!” “Oke.” Lampu hijau men