Mata kami beradu tatap. Gadis ini benar-benar tidak mengerti yang sebenarnya terjadi sehingga kakaknya di penjara.
“Kamu menuduh kakakku membakar kedai, tidur di penjara dan membuat kami terlantar.” Tina menambahkan.
“Coba tenang, Tina. Minum dulu biar pikiranmu jernih.” Aku mempersilakan.
Tina tidak menuruti perintahku. Alih-alih minum teh di depannya, titik bening mulai menyembul dari ujung matanya. Terisak lalu berkata dnegan lirih.
“Aku mohon, bebaskan kakakku!” ucapnya lirih.
“Aku udah bilang, aku gak bisa jaminkan apapun tentang kebebasan kakakmu. Dia juga di penjara karena kesalahannya.” Aku mengulang kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan.
“Jika kamu ada keluhan selain membebaskan kakakmu, aku akan mendengarkan. Kamu gak ngerti duduk perkaranya seperti apa, kan?”
Aku menelan ludah, mengambil jeda. Menghadapi gadis labil yang
“Ngapain lagi kamu datang ke sini, Rey?” bentak Erika.“Hanya kangen kamu aja. Soalnya lama gak ketemu.”“Udah ngebakar kedai mi ayam milik Pras, bebas karena uang lalu pergi sama adikku. Apa kamu belum puas juga ngehancurin semuanya?” cecar Erika.“Udahlah, Erika. Aku tahu kamu masih sayang aku. Seenggaknya kasi pelukan, kek!” protes Rey. Suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Rey memecah jaraknya dengan Erika. Hatiku mulai berdegup kencang seiring dengan aliran darahku yang cepat memicu detak jantung. Si Brengsek itu, datang dengan santainya ke sini.“Ayolah, kita bersenang-senang. Hahaha!” Terdengar Rey sedikit memaksa.“Apa yang kamu lakukan? Lepasin, Rey!” Takut terjadi sesuatu terhadap Bu Manajer, aku membuka pintu dengan kasar. Bibir Rey yang sedikit lagi nyaris menempel pada bibir lembut Erika membuatku te
“Tina, kamu masih di sini?” Aku memandang wajahnya lurus-lurus. Pertanyaanku dijawabnya hanya dengan anggukan kecil.“Sampai siang ini?”“Iya. Kakak belum bayar teh hangat di kantin tadi pagi. Jadi, tolong kembalikan uangku sebesar tiga ribu rupiah!” Dia menengadahkan tangan.“Hanya perkara teh hangat kamu sampai nungguin aku hingga siang begini?” Aku merogoh saku celana belakang, membuka dan mencari uang pecahan tiga ribuan. Sial, hanya ada uang lima puluh ribuan yang harus aku relakan demi mengganti uang the hangat tadi pagi.“Kembalian!” Tangan Tina langsung menyambar kertas warna biru bergambar pahlawan itu kemudian berkata, “Tidak punya.”“A … apa?” Tina melipat uang itu kemudian memerosostkannya ke dalam kantong seragam.“Ikut aku!” pintanya.“Kemana?”
Kami tiba di rumah saat langit sudah menggelap karena beberapa persiapan untuk rapat direksi besok. Meski pekerjaanku tidak banyak dan hanya sekedar menyiapkan presentasi, aku merasa spesial. Spesial sebagai asisten istriku sendiri.“Dwi kayaknya gak di rumah.” Aku menerka sembari mendongak. Erika yang melepas sepatu tampaknya tidak peduli dengan hal itu, dia bahkan tidak menggubris. Hanya melenggang ke belakang konter dapur. Aku juga menyusulnya untuk menyegarkan tenggorokan yang kering setelah makan ayam goreng di pinggir jalan tanpa minum karena Erika minta buru-buru pulang.Aku menuang air dari ketel setelah mengintip ke dalam kulkas dan tidak mendapati air dingin yang tersisa. Meneguk hingga tandas zat menyegarkan itu dari dalam gelas kaca. Puas, aku meletakkan gelas kosong di water sink.“Omong-omong, sepertinya kamu gak banyak ngobrol dengan Dwi akhir-akhir ini ya,” komentarku. E
“Dwi belum pulang?” tanya Erika lemas, ditiupnya cairan di dalam cangkir itu. “Belum.” Aku menggeleng. “Dua hari ini anak itu kelayapan sampai malam,” komentarnya kemudian menyesap teh di dalam cangkir. “Sebenarnya kamu mengkhawatirkan Dwi, kan?” Erika nyaris tersedak, entah karena teh yang masih panas atau mendengar pertanyaanku. Sejurus kemudian, dia mengelap bibir yang belepotan dengan lengan baju. “Sebaiknya kamu tidur, biar aku yang nungguin Dwi.” Aku mengambil cangkir di tangan Erika, meletakkannya di atas meja rias. Membaringkan tubuh istriku kemudian menutupinya dengan selimut. “Selamat istirahat, Sa-, maksudku Kak.” Membiarkan Erika beristirahat dengan harapan besok dia kembali fit untuk rapat direksi, aku meninggalkannya ke ruang tamu dan berbaring di sofa. Kulirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sembilan kurang lima belas menit. Dwi tak kunjung pulang.
Aku terbangun karena dering telfon di dekat telinga yang sontak membuatku terguling ke lantai dari atas sofa. Aku mengucek mata yang belum sadar sepenuhnya, meraih smartphone kemudian memeriksa siapa gerangan yang memanggilku sepagi ini. Aku terlambat mengangkat dan di dalam layar sudah terpampang tulisan “1 panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal.” Hanya terpampang nomor yang asing dan belum tersimpan di dalam daftar kontak.“Abaikan saja!” ucapku pada diri sendiri kemudian mengunci layar. Aku bangkit dari posisi duduk di lantai, melenggang ke kamar Erika untuk memeriksa keadaan istriku itu. Bermaksud membangunkannya, namu yang ketemui di atas kasur hanya bed cover yang berantakan, selimut yang urak-urakan dan guling yang telentang di lantai. Aku celingukan, mencari sosok Erika yang seharusnya masih ada di sini. “Apa mungkin kondisinya sudah baikan?” Aku berpikir positif seperti itu ke
Menyadari kedatanganku, pria itu menoleh ke arahku yang tertegun di pintu. Mimpi apa aku semalam sebenarnya dalam tidur yang tidak disengaja. Pertama aku terlambat datang ke kantor lalu yang kedua bertemu dengan mertua yang agak psikopat.“Pagi, Menantu!” sapanya sembari menyeringai. Tatapan matanya itu bak seekor serigala yang siap menerkam mangsa.“Se-selamat pagi, Pak Presdir!” balasku takut-takut tetapi mencoba tenang.“Presdir? Panggil saya Papa!” pintanya.“Maaf, karena Manajer Erika menerapkan aturan untuk memanggilnya dengan sapaan Manajer Erika di ranah profesional, jadi saya juga menerapkannya pada Anda,” kilahku.“Bagus. Tolong tutup pintu itu!” perintahnya. Aku menuruti kemauannya, setelah pintu tertutup aku masih mematung di dekat pintu.“Kenapa malah melamun di situ? Mendekatlah!” perintahnya sekali lagi. Kedua
Sama saja dengan tidak bekerja hari ini karena aku tidak melakukan apa-apa, hanya bermain smartphone hingga waktu makan siang tiba. Batang hidung Erika pun belum muncul dari luar ruangan, padahal sudah siang. Barangkali perut para direksi itu tidak lapar, padahal mengurus perusahan memerlukan tenaga dan energi yang diperlukan otak. Malas menunggu kedatangan Erika lebih lama, aku pun beranjak dari tempat ternyaman dalam memakan gaji buta selama beberapa jam. Keluar dari ruangan lalu berjalan menyusuri koridor.“Pak Pras!” panggil seorang resepsionis ketika aku lewat di depan meja konternya. Suara lembut itu menghentikan langkah yang sudah menuruti perut.“Iya?” jawabku sembari menoleh.“Ada anak SMA yang datang mencari Bapak tadi. Dia bilang menunggu bapak di depan sana.” Wanita berparas tegas bertubuh semampai itu menunjuk ke arah luar. Aku menyorot ke arah yang dia tunjuk lalu meng
“Tolong bebaskan kakakku!” pintanya lirih. Aku melirik Erika yang menahan makanannya di mulut. Sesaat kemudian istriku itu balas memandangku. Ting! Sumpit beradu dengan mangkuk ramen, aktivitas makan Erika terhenti. “Sudah kubilang, cari kebenarannya bahkan jika perlu cari sebanyak mungkin bukti untuk mengajukan banding!” Erika ketus kepada Tina yang memelas padaku. “Tina, dengar!” Aku mencondongkan sedikit badanku ke arah Tina. “Membebaskan kakakmu bukanlah perkara mudah. Daripada kamu mencoba masuk ke urusan hukum, sebaiknya kamu belajar yang rajin. Dengan begitu, kakakmu pasti akan bangga kalau kamu berprestasi.” Aku menasihati Tina yang bergemetar. Kutatap matanya sembari menggenggam tangan gadis itu kuat-kuat. “Aku gak janji bisa membebaskan Yus karena dia terlibat dalam pembakaran kedai tapi, setidaknya kamu buat dia bangga di balik jeruji besi. Di
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A