Kasih menghela napas pelan, mencoba meredakan perasaan tidak nyaman yang menyelimuti hatinya. "Sabarlah, Xavi. Kita tinggal di sini kan nggak lebih dari satu minggu," ucapnya dengan lembut.Xavier menoleh ke arah Kasih, dan tampaklah wajahnya yang cemberut. Kasih bisa merasakan bahwa Xavier jelas tidak senang dengan keadaan yang mereka hadapi saat ini.'Dia mungkin merasa terlalu jauh dari zona nyamannya, karena sudah terbiasa hidup dalam kemewahan,' pikir Kasih dalam hati. Tempat tinggal yang mereka huni saat ini memang jauh dari kata mewah. Namun, apa boleh buat, mereka hanya bisa tinggal di sana untuk sementara waktu setelah Kasih menolak tawaran Kakek Wibowo untuk tinggal di hotel."Lihatlah. Nggak ada tempat tidurnya, Sisi! Cuma kasur begitu. Gimana nanti Xavi nyusu!" protes pria itu.Kasih mulai memahami apa yang sebenarnya menjadi permasalahan. Ternyata bukan ukuran rumahnya yang kecil, tapi soal kenyamanan si pria itu untuk 'menyusu'. Gadis itu merasa sedikit kesal dengan keeg
Suara berisik terdengar dari arah dapur, membuat Xavier penasaran. Ia yang baru saja terbangun berjalan perlahan menuju dapur, mencari keberadaan Kasih. Pria tampan itu melangkah ke arah sumber suara tersebut dan ternyata Kasih sedang memasak sarapan untuk mereka berdua. Senyuman hangat menghiasi wajah pria itu saat melihat istri kecilnya yang sibuk. "Ah, kamu sudah bangun, Xavi?" sapa Kasih dengan senyuman lembut yang selalu memenangkan si pria bocah.Dengan kedua mata sayu sehabis tidur dan juga wajah bantalnya, Xavier berjalan mendekati Kasih sembari mengucek kedua matanya. Pria itu menatap sang istri yang sedang sibuk memasak. Penampilan Kasih saat ini selalu saja terlihat cantik meski gadis itu masih mengenakan piyama dan juga rambut panjangnya yang digelung asal."Sisi lagi ngapain?" tanya pria itu. Jika dilihat pada jam di ponselnya, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan Kasih sudah sibuk memasak."Aku lagi masak, Xavi," jawab Kasih sambil tersenyum lebar. Xavier mengeru
Pria yang ia panggil terdiam di tempatnya. Kasih pun ikut berjongkok dan menatap wajah suaminya. Xavier terlihat sedang mengerutkan keningnya dengan pandangan tertuju pada sungai di depannya.'Apakah ingatan Xavi mulai kembali?' gumam gadis itu dalam hati.Tangannya meraih bahu suaminya. "Xavi ... Kamu baik-baik saja?" tanya gadis itu.Xavier masih diam. Justru pria itu terlihat sedang melamun. Kasih pun mulai khawatir padanya. Dielusnya dengan lembut bahu suaminya dan Kasih perlahan memeluk Xavier, seolah memberikan rasa aman bagi pria bocah itu."Aku akan menemanimu di sini," ucap Kasih dengan lembut.Xavier pun menoleh menatap wajah sang istri yang begitu mengkhawatirkan dirinya. Kini keduanya terdiam di tempat tersebut. Cukup lama Kasih dan Xavier diam dengan posisi berjongkok menghadap ke sungai. Kasih memeluk suaminya karena gadis itu merasa pegal.Seolah mengerti, Xavier berganti posisi menjadi duduk dengan masih menatap ke sungai dengan arus yang cuku
"Sisi, kira-kira Jo ke mana, ya?" tanya Xavier yang malam itu kembali meminta menyusu pada istri kecilnya.Kasih diam sembari membetulkan selimut. "Aku juga nggak tahu, Xavi. Tapi jika Jo terbawa arus deras, kemungkinan dia sudah menghilang jauh," jawabnya ikut merasa sedih.Xavier terdiam. Pria itu menatap ke arah dada Kasih yang terbuka. "Kasihan Jo. Padahal dia teman baik Xavi ...."Kasih diam sejenak. Gadis itu mengingat-ingat kejadian kecelakaan di mana Kasih menemukan Xavier dalam keadaan yang mengenaskan. Saat itu dia tak menemukan korban lain. Lalu muncullah sebuah pikiran buruk di dalam otaknya."Xavi ... Maaf jika aku bertanya seperti ini. Tapi ... Apakah kamu nggak curiga kalau Jo yang membuat kecelakaan itu?" tanya Kasih dengan hati-hati. Entah mengapa dia merasa curiga pada pria bernama Johan yang selalu Xavier banggakan sebagai sahabat."Jo nggak mungkin seperti itu," jawab Xavier dengan kedua alis saling bertaut."Ah. Maaf ... Kalau begitu besok kita coba cari petunjuk
Gadis cantik dengan rambut yang dikepang satu itu terdiam di tempatnya. Ia tentu saja kaget mendengar percakapan antara dua bodyguard tersebut. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, namun Kasih merasa bahwa orang yang dimaksud adalah dirinya dan Xavier."Tapi perempuan itu benar-benar protektif. Tuan Muda juga selalu menempel padanya," sahut bodyguard yang lain."Nggak masalah, sih. Kita hanya perlu menahan mereka di sini sampai lebih dari satu bulan.""Perintahnya hilangkan mereka berdua, terutama Tuan Muda. Kita bisa menjadikan perempuan itu kambing hitamnya."Kasih benar-benar kaget mendengar obrolan tersebut. Tak ia sangka bahwa dua bodyguard yang seharusnya melindungi dirinya dan Xavier malah memiliki rencana yang mengerikan.'Tunggu. Mereka kan bodyguard yang diperintahkan oleh Kak Jeremy. Apakah mereka berkhianat? Atau ....' Kasih mulai mengajukan pertanyaan di dalam otaknya. "Sudahlah. Kita awasi mereka saja dulu. Setelah ini baru kita laksanakan rencana itu.""Tapi mereka
"Sisi, katakan sesuatu ...." ucap Xavier karena sang istri diam saja.Kasih sedang mencoba merangkai kata di dalam pikirannya untuk disampaikan pada suami bocahnya. Namun Kasih sama sekali tak tahu bagaimana harus melindungi suami bocahnya itu. "Xavi ...." Gadis itu tiba-tiba memeluk Xavier. Dia benamkan wajahnya pada dada bidang Xavier yang terasa hangat dan nyaman."Sisi ...?" Xavier kaget dan kemudian membalas pelukan istrinya. Pria itu mengusap lembut rambut Kasih."Xavi ...." Kasih mendongak dan mata mereka saling bertemu. Ditatapnya lekat-lekat kedua mata Xavier."Xavi, kita harus kembali ke rumah kamu," ucap Kasih kemudian.Xavier pun menautkan kedua alisnya. "Kenapa? Apakah sudah selesai?" tanya pria itu dengan tatapan polosnya.Kasih menggeleng pelan. "Belum, sih. Aku bahkan belum membantumu mengingat apa pun. Tapi ... Ini lebih penting," jawab gadis itu.Kedua tangannya memeluk erat Xavier seolah tak ingin melepaskan pria bocah itu. Sementara Xavier terdiam, memikirkan ucap
Ponsel Kasih sudah berpindah tangan. Xavier menggenggamnya erat dan menjauhkannya dari jangkauan sang istri."Aku menolak!" tegas Xavier dengan tatapan tajamnya yang nyalang.Kasih membeku di tempatnya. Gadis itu bahkan merasakan aura lain dari suami bocahnya. Saat Xavier menatap kedua matanya dengan tatapan setajam itu, dia merasa pria itu berbeda dan bukan bocah lagi."X-Xavi ...." cicit Kasih mulai takut.Lalu tatapan tajam itu mulai melembut. "Xavi menolak. Xavi nggak mau pisah sama Sisi. Apa pun yang terjadi, Xavi mau sama Sisi terus," tekannya yang malah terdengar seperti sedang merengek.Melihat wajah sedih itu tentu saja Kasih menjadi tak tega. Gadis itu pun sadar jika mengirimkan Xavier kembali menggunakan ojek saja dalam perjalanan yang cukup jauh sangatlah beresiko."Maafkan aku, Xavi ... Aku hanya nggak mau kamu celaka ...." cicit Kasih mulai menangis. Ia memang cukup buruk dalam membuat sebuah keputusan.Xavier meletakkan ponsel Kasih sebelum meraih tubuh mungil itu ke da
"Sisi ... Apa kita nggak cari hotel untuk menginap?" tanya Xavier.Kasih pun menoleh menatap suaminya. Gadis itu kemudian menyerahkan sebotol air mineral pada Xavier yang kehausan."Sudah malam, Xavi. Nggak ada kendaraan yang menuju ke kota," jawab Kasih."Begitu, ya?""Ya." Kasih mengangguk. "Setidaknya kita sudah jauh dari kontrakan. Jika tadi kita berangkat siang, kemungkinan besar mereka akan langsung menemukan kita," gumam gadis itu mengingat bahwa siang tadi dua bodyguard itu membawakan makanan untuk mereka."Sekarang makanlah, Xavi." Kasih menyodorkan roti pada suaminya."Xavi sudah kenyang." Pria itu menolak.Mereka berdua berhasil kabur hingga ke kampung sebelah dengan berjalan kaki. Kini mereka sedang beristirahat di depan sebuah warung makan yang sudah tutup. Dengan hoodienya, Kasih dan Xavier duduk bersembunyi di bawah meja kayu yang ada di sana. Pria bocah itu pun harus menahan diri untuk tidak menyusu di tempat yang cukup terbuka."Maafkan aku, Xavi. Besok kita akan cari
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d