Arina yang tengah mengagumi sosok tampan itu, tak menyadari bahwa Kasih sudah menyusulnya keluar dengan penampilan yang basah kuyup.'Dia noleh ke sini ....' gumam Arina dalam hati. Gadis itu malah girang sendiri."Sisi ...." Pria tampan itu adalah Xavier yang tengah mencari sang istri. Ia pun berjalan mendekati Kasih.Sementara orang yang dicari tengah mencoba menutupi tubuhnya yang terbuka karena kancing kemejanya lepas. Kasih kaget karena suaminya malah turun dari mobil. Meski ia akui penampilan Xavier kali ini begitu rapi dengan setelan kemeja hitam dan celana hitam. Bahkan pria itu memakai sepatu kulit berwarna cokelat tua yang menambah kesan elegan dan mahal.'Bagaimana ini?' gumam gadis itu dalam hati. Ia khawatir jika Arina akan menyakiti suaminya yang bodoh.Xavier semakin mendekat. Arina pun menahan napasnya karena senang dihampiri oleh seorang pria tampan. Namun nampaknya gadis itu harus kecewa karena Xavier melewatinya begitu saja dan menghampiri Kasih dengan tatapan kaget
"Ahhh." Kasih mendesah pelan saat tangan Xavier dengan lembut mengusap pipinya."Kenapa bisa sampai seperti ini, Sisi?" tanya pria itu dengan tatapan khawatir.Pipi Kasih terlihat memerah karena tamparan dari Arina. Gadis itu terus mengganggunya saat tahu Kasih berada dalam gedung fakultas yang sama."Ini hanya ....""Sisi nggak boleh bohong," desak Xavier sembari menatap tajam ke arah Kasih.Gadis cantik itu menghela napasnya."Xavi akan mendengarkan cerita Sisi. Jangan khawatir," ucap pria itu dengan wajah seriusnya yang terlihat menggemaskan.Kasih tersenyum simpul. Ia tahu meski suaminya bertingkah seperti anak kecil, namun pria itu juga memiliki kepedulian terhadapnya."Sisi cerita aja, biar Xavi yang gantiin baju Sisi," ucap pria itu dengan tatapan lembut.Xavier perlahan mengulurkan tangannya untuk melepaskan pakaian Kasih. Gadis itu menahannya karena merasa malu."Aku bisa sendiri, Xavi," cicit Kasih."Sisi ...." panggil Xavier kemudian, masih dengan suara yang lembut. "Xavi t
"Apa maksudnya?" tanya Kasih dengan tatapan kesal. Pertanyaan itu jelas merendahkan dirinya.Tiga mahasiswa laki-laki itu menyeringai. "Jangan sok polos, deh. Kamu kan suka jual diri. Ayam kampus ternyata."Kasih membulatkan kedua matanya. Ia kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Jelas terlihat bahwa mahasiswa dan mahasiswi yang berada di tempat itu sedang membicarakannya.Perasaan Kasih mulai tak tenang. Ada bayang-bayang masa lalu yang mengerikan mulai muncul. Bahkan kini ia mulai mendengar ucapan-ucapan merendahkannya seolah ia adalah manusia yang paling hina di dunia."Hei!" Salah satu dari mahasiswa yang menghadangnya itu menjawil dagu Kasih. Membuat gadis itu kaget dan mundur dua langkah."Wah. Baru dipegang bentar aja dia kaget. Apa lagi kalau nanti di kamar, ya? Ayo katakan. Berapa tarifmu dalam sejam?" tanya laki-laki itu lagi kembali merendahkan Kasih dengan ucapan dan tatapan matanya."Hentikan!" sentak Kasih menepis tangan laki-laki yang tak ia kenal itu.Kasih mulai mera
Kasih mencoba mengatur napasnya. Ia harus segera pergi dari tempat yang penuh tekanan itu. Sementara Arina masih tertawa senang karena berita tentang skandal Kasih sebelum hari kelulusannya telah tersebar dengan baik. Perlahan Arina melangkah mendekati Kasih. "Kamu nggak pantes kuliah di sini. Sebaiknya pergi dengan sugar daddy mu itu," bisiknya dengan sebuah seringaian.Kedua tangan Kasih mengepal erat. Gadis itu pun menoleh menatap wajah sepupunya. "Jaga ucapanmu, Arina. Aku yakin kamu yang akan hancur karena telah menjebakku," sahutnya.Arina mendorong tubuh Kasih dan membuat gadis cantik itu terhuyung. "Duh. Jangan ajak aku open BO, dong! Aku nggak mau ...!" serunya dengan sengaja sehingga orang-orang yang menyaksikannya merasa bersimpati."Kamu benar-benar keterlaluan, Arina!" geram Kasih dengan kedua alis saling bertaut. Ternyata sepupunya itu kini menunjukkan secara terang-terangan sifat buruknya."Ya ampun, Arina." Teman-teman satu geng Arina mulai mendekatinya. Mereka menata
"Apakah benar ini foto kamu?"Pertanyaan Wibowo membuat jantung Kasih berdegup kencang. Kengerian menyelimuti pikirannya saat kakek mertuanya itu mulai menyerahkan ponselnya.Di dalam ruang tengah, Wibowo duduk di hadapan Kasih dan Xavier. Dengan ketegangan yang tiba-tiba tercipta."Apa itu, Kek?" tanya Xavier dengan polosnya. Namun Wibowo seolah mengabaikannya dan membiarkan Kasih yang melihat sesuatu di dalam ponselnya lebih dulu.Kasih merasa bingung dan takut secara bersamaan. Ia bertanya-tanya dalam hati mengenakan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu pikirannya melayang menuju ke sebuah pertanyaan, apakah kakek mertuanya sudah menemukan foto-foto lama yang seharusnya tidak dilihat siapa pun? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih buruk? Ketakutan itu berkecamuk di dalam pikirannya. Kasih ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Xavier yang selama ini selalu mempercayai dirinya.Kasih terkesiap saat kakek mertuanya tiba-tiba menyerahkan ponsel
Xavier ambruk begitu saja di ruang tengah. Tubuhnya yang tinggi beruntungnya dapat ditahan oleh Kasih agar tak jatuh tersungkur. Dengan sekuat tenaga Kasih menarik tubuh tinggi dan besar itu agar dapat berbaring di atas sofa."Xavi ... Kenapa kamu tiba-tiba pingsan?" gumam Kasih merasa bersalah. Gadis itu duduk di sebelah tubuh suaminya yang berbaring memejamkan kedua matanya rapat-rapat.Keringat dingin ia lihat jatuh mengucur membasahi tubuh tinggi besar itu. Menunjukkan bahwa Xavier benar-benar merasakan kesakitan yang tak tertahan."Xavi ...." panggil Kasih dengan lembut sembari menyeka keringat suaminya."Biar Kakek panggilkan dokter," ucap Wibowo segera menghubungi seorang dokter.Kini Kasih duduk di samping suaminya. Tepatnya duduk di bawah, beralaskan karpet tebal sembari terus mengusap peluh yang keluar dari tubuh suaminya.Xavier memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Seolah pria itu merasakan sakit kepala yang tak tertahankan. Deru napasnya pun kembali mulai beraturan. Sejen
Setelah sedikit lebih tenang, Kasih melepaskan pelukannya. "Makasih, Kek ....""Sama-sama. Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Kasih?" tanya Wibowo.Gadis itu diam sejenak memikirkan jawabannya. "Saya akan berhenti kuliah supaya tidak mempermalukan Kakek dan Xavi ...." cicit Kasih dengan suara sedikit terisak.Wibowo duduk di samping cucu menantunya. "Kamu nggak perlu melakukannya. Tetaplah kuliah seperti biasa," ucap pria tua itu dengan suara tenang.Kasih menatap heran pada sang kakek mertua. "Tapi, Kek. Meski foto-foto itu hasil jebakan dari Arina, tapi di dalam foto itu benar-benar saya, Kek ....""Kalau begitu biarkan sepupumu yang bernama Arina itu yang berhenti kuliah. Kakek akan meminta orang untuk menyelidikinya dan menghentikan masalah ini," tegas Wibowo."Ta-tapi, Kek ...."Pria tua itu tersenyum lembut kemudian mengusap bahu Kasih. "Tenang saja. Semuanya akan segera berakhir. Orang jahat harus dihentikan. Bahkan kita masih punya tugas untuk mencari tahu siapa yang
Xavier sudah sadar. Pria itu mengerjapkan kedua matanya dengan gerakan pelan. Rasa sakit di kepalanya masih terasa berdenyut-denyut namun tak separah tadi setelah Xavier melihat foto-foto lama Kasih.Perlahan pria itu menoleh dan mendapati seorang gadis cantik yang tertidur di sampingnya. Wajah Kasih yang mulus benar-benar terlihat lesu. Gadis itu kelelahan setelah mengalami masalah yang cukup berat.Tangan kekar Xavier bergerak dan meraih pipi halus Kasih. Dengan lembut pria itu mengusap pipi Kasih. Merasakan kehangatan dari tubuh gadis cantik itu. Dengan suasana yang sunyi dan tenang, Xavier merasakan kedamaian. Sebuah senyuman pun muncul di wajahnya.'Cantik ....' gumam pria tampan itu dalam hati. Dadanya langsung bergemuruh. Ada rasa lega, sedih, dan juga marah yang menjadi satu."Ahhhh." Xavier mendesah pelan sembari kembali memegangi kepalanya. Pria itu memeluk selimut dan kemudian mengamati tangannya."Hmmmm?" Gadis yang tertidur di sampingnya bergumam pelan. Lalu perlahan mata
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d