"Pelan-pelan, Sisi!" seru Xavier sembari mengambil gelasnya kembali dan meletakkannya di atas meja.Kasih masih terbatuk-batuk dengan hebat. Seolah air tehnya sudah masuk memenuhi paru-parunya. Xavier pun tak tinggal diam, pria itu mengusap punggung Kasih dengan lembut karena ingin menghentikan Kasih yang tersedak."Astaga ...." Kasih memegangi dadanya setelah ia tenang. Lalu Xavier menatap sang istri yang matanya sudah berair."Sisi nggak papa?" tanya pria itu dengan polosnya.Kasih menatap gemas ke arah suaminya. Memangnya gara-gara siapa dia jadi tersedak hebat seperti itu?"Aku nggak papa.""Beneran?""Iya.""Tapi kenapa Sisi tersedak? Apakah minuman itu beracun?" tanya pria itu dengan kedua alis saling bertaut."Nggak, Xavi. Minuman ini nggak beracun.""Terus kenapa Sisi tersedak?" Pria itu masih saja mengejar Kasih agar memberikannya jawaban.Kasih pun menautkan kedua alisnya. Lalu gadis itu mencubit pelan kedua pipi Xavier. "Memangnya gara-gara siapa? Ini gara-gara kamu, Xavi."
Xavier malah terkekeh pelan melihat kepanikan istri kecilnya. Sementara Kasih mulai mengomeli suaminya yang selalu bertingkah seenaknya.Kini setelah beberapa drama, Xavier akhirnya memakai pakaiannya dengan lengkap. Pria itu pun duduk di salah satu sisi tempat tidur sembari menghadap Kasih yang tengah berkacak pinggang di depannya."Sisi jangan marah ...." cicit pria itu."Habisnya ... Kamu bilang kamu udah gede, harusnya kamu paham kalau kamu nggak boleh telanjang seperti itu," omel Kasih lagi."Tapi kan ini kamarku, Sisi. Biasanya juga nggak masalah, kan?" Xavier masih saja pintar menjawab."Astaga ...." Kasih menggeleng pelan. Meski tingkah Xavier yang seperti itu sering dilakukan, namun Kasih tak ingin terus-menerus menyaksikan tubuh kekar Xavier yang telanjang."Ya udah, maaf, deh. Tapi kan Xavi suami Sisi." Pria itu mengerucutkan bibirnya."Tapi malu, Xavi ...." Kasih kembali gemas."Jangan malu, Sisi ....""Ihhh. Nggak ngerti juga.""Enggak. Hehehe." Pria itu malah terkekeh la
Hari itu Kasih kembali masuk kuliah. Entah ia harus merasa senang atau malu dan tak enak hati setelah tahu bahwa keluar suaminya memang bukanlah dari keluarga sembarangan."Sisi mau kuliah? Ikut, ya?" Pagi-pagi Xavier sudah mulai merengek minta ikut.Kasih menoleh menatap suaminya. "Nggak boleh, Xavi. Kamu di rumah saja, ya? Kaya biasanya. Lagian aku pulangnya nggak lama, kok," bujuk gadis itu.Xavier mengerucutkan bibirnya. Membuat sang istri menghela napas panjang. Perlahan Kasih mendekati suaminya."Nanti setelah aku pulang, kita main, deh," bujuk gadis itu lagi.Xavier terdiam sejenak seolah sedang memikirkan sesuatu. Lalu pria itu pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Oke. Xavi nurut, deh. Tapi nanti mainnya beda, ya?" ujar peiabiru dengan senyuman lebar penuh arti."Asal jangan kuda-kudaan aja," sahut Kasih."Hahaha. Ya enggak, lah. Pokoknya rahasia," ucap Xavier sembari tertawa.*Saat Kasih kembali berkuliah, reaksi teman-temannya langsung berubah. Mereka bahkan tiba-ti
Terkejut, Kasih membulatkan kedua matanya. "A-apa?""Xavi ingin Sisi," jawab Xavier dengan suara beratnya yang terdengar menggelitik telinga gadis dalam kungkungannya."Kita pacaran, kan?" tanya pria itu kemudian.Kasih hanya diam. Entah mengapa suami bocahnya itu saat ini terlihat berbeda. Tatapan Xavier yang biasanya polos, terlihat begitu dewasa dan memang seolah ingin memangsanya. Kasih pun mulai merasa gugup. Jantungnya berdegup kencang mendapatkan tatapan seintens itu dari suaminya."Xavi hanya ingin Sisi jadi milik Xavi," bisik pria itu mulai mendekatkan wajahnya. Xavier berbisik tepat di telinga kanan sang istri.Kasih yang masih bingung sekaligus tak percaya dengan tindakan suami bocahnya pun mencoba menahan dada bidang yang menghimpitnya dengan kedua tangannya. Xavier benar-benar berat dengan ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari Kasih.CupTiba-tiba saja Xavier mencium pipi Kasih dengan lembut. Kasih yang kaget menoleh menatapnya dengan tatapan bingung. Sementara Xavie
Tangan Kasih bergetar saat menyadari apa yang telah ia lakukan. Baru saja dia menampar wajah suaminya dengan cukup kuat. Menimbulkan rasa perih baik di telapak tangannya maupun di pipi Xavier.Namun Kasih tentu saja tak melakukannya semata-mata tanpa alasan. Baru saja sekelebat ingatan mengenai malam panasnya yang bergairah dan telah menghancurkannya muncul. Membuat Kasih tak menikmati ciuman dengan suami bocahnya."Ahhh ...." Gadis itu mulai merasa bersalah.Xavier masih saja diam. Pria itu kemudian menatap Kasih sembari memundurkan tubuhnya. Ekspresi kaget pria itu masih terlihat jelas. Lalu Xavier menatap Kasih dengan tatapan kecewa."Ahh. Xavi ... Aku nggak ...." Gadis itu kehilangan kata-katanya. Ia tentu saja takut ketika harus mengungkapkan ketakutan terbesarnya. Namun Xavier yang merupakan suami sahnya kini menatap sedih padanya."Kenapa Sisi menampar Xavi? Apakah Sisi nggak suka Xavi?" tanya pria itu dengan tatapan polos.Kasih menelan ludahnya. Xavier pun berguling ke sampin
Malam itu Kasih duduk di atas tempat tidurnya. Sementara Xavier baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu berjalan pelan mendekati sang istri.Dengan warna piyama yang serasi dengan Kasih, pria itu duduk di salah satu sisi tempat tidur."Ada apa, Xavi?" tanya Kasih saat suaminya menoleh menatapnya.Xavier diam sejenak kemudian menaikkan kedua kakinya ke atas kasur. Dia meraih bantal guling dan meletakkannya di tengah-tengah. Lalu dengan gerakan cepat tanpa menjawab pertanyaan Kasih, Xavier memindahkan tubuh ramping itu pada salah satu sisi ranjang."Sisi bobok di sini, Xavi di sini. Jangan lewati bantal guling ini," tegasnya.Kasih menautkan kedua alisnya. "Kamu ... yakin?"Xavier menjawab dengan anggukan. "Tapi ... Bukannya kamu selalu minta peluk kalau tidur?" tanya Kasih khawatir.Xavier diam sejenak. "Iya, sih ... Tapi Sisi kan takut sama laki-laki. Xavi nggak mau menakuti Sisi," gumamnya dengan bibir mengerucut.Ternyata pria bocah itu khawatir pada istrinya. Kasih pun terseny
Setelah mengajukan pertanyaan, Xavier menunggu Kasih memberikan jawabannya. Gadis itu pun mengangguk setuju, membuat suami bocahnya tersenyum senang."Makasih, Sisi. Xavi akan pelan," ucap pria tampan itu yang kini kembali duduk.Xavier menatap Kasih yang sudah berbaring di hadapannya dengan pasrah. Pria bocah itu pun mulai menjulurkan kedua tangannya dan kini menarik kain terakhir yang menutupi dada sintal yang indah itu.Kedua alis Xavi terangkat saat melihat hal yang pernah ia sentuh sebelumnya dan membuatnya terkena tamparan keras dari Kasih. "Ja-jangan melihatnya seperti itu ...." cicit Kasih malu dengan wajah merah padamnya.Xavier menatap wajah Kasih yang merah itu. "Tapi susu Sisi bagus," ucapnya takjub, membuat Kasih semakin malu. Ingin rasanya Kasih menghilang dari hadapan suami bocahnya yang bodoh itu. Tak ia sangka bahwa Xavier bisa mengatakan hal seperti itu padanya."Omong kosong!" sahut Kasih sembari memalingkan wajahnya.Xavier pun terdiam. Membuat Kasih kembali menat
"Xavi, aku harus segera berangkat," ucap Kasih yang kini duduk sembari memangku Xavier yang kembali menyusu padanya."Puahhh. Sebentar, Sisi ...." jawab pria itu sembari membuka mulutnya sejenak, lalu kembali menghisap payudara sekal Kasih lagi seperti bayi."Tapi aku ada kelas, Xavi," ucap Kasih sembari memeriksa jam pada ponselnya.Sudah beberapa hari ini Xavier terus saja meminta menyusu padanya. Padahal gadis itu sama sekali tak mengeluarkan asi. Xavier hanya mencari kenyamanan dalam pelukan Kasih dan bermanja-manja pada gadis cantik itu."Ayolah, Xavi. Kita lanjutkan nanti saja," bujuk Kasih sembari menarik kepala suaminya agar melepas hisapan di dadanya."Akh!" Gadis itu malah terpekik pelan saat merasakan sedikit sakit pada pucuk dadanya yang dihisap cukup kuat oleh Xavier."Uhhh. Sakit?" tanya pria itu mulai panik.Kasih mengangguk sembari menutupi dadanya dengan tangan."Maaf ... Habisnya Sisi tiba-tiba menarik Xavi," cicit pria itu sembari mengerucutkan bibirnya."Soalnya ka
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d