"A-apa, Kek?" Kasih terkejut mendengar permintaan pria tua di hadapannya. Ia sendiri tahu bagaimana sulitnya untuk membuat suaminya mengingat masa lalunya. Mengapa tiba-tiba Wibowo memintanya mempercepat kepulihannya?"Maaf jika permintaan Kakek terkesan memaksa, Kasih. Tapi hanya padamu Xavier menurut. Kakek berharap banyak padamu," pinta Wibowo lagi dengan tatapan sendu."Bukannya saya nggak mau, Kek. Tapi Kakek tahu sendiri bagaimana Xavier. Dia akan marah jika saya memaksanya. Bahkan ... dia bisa pingsan karena sakit kepala saat kita memaksa dia mengingat masa lalunya," jelas Kasih merasa keberatan.Wibowo diam sejenak. Lalu pria tua itu membuang napasnya. "Kakek mengerti. Hanya saja ... Jika kita tidak bisa mempercepat kepulihannya, maka dalam waktu dekat perusahaan yang telah lama dibangun oleh kedua orang tua Xavier bisa colaps," paparnya.Mendengar penjelasan dari kakek mertuanya, Kasih merasa tertekan. Akan tetapi ia juga merasa kasihan pada Xavier. Zeen Corporation merupakan
Kabar kebangkrutan Zeen Corporation membuat Kasih tak bisa tidur. Malam itu setelah berhasil membuat Xavier terlelap, gadis itu memilih bangun kembali dan duduk pada meja kerja yang ada di kamar Xavier.Dalam kesunyian malam, Kasih mencari tahu soal perusahaan yang telah dipimpin oleh suaminya. Berbagai informasi yang ada di meja kerja Xavier ia baca dengan saksama. Berharap dirinya bisa membantu dalam memulihkan ingatan Xavier dan juga menjaga agar perusahaan suaminya tidak colaps."Aku benar-benar nggak ngerti. Ini masih cukup asing bagiku ... Tapi ... Xavier benar-benar hebat bisa menjalankan perusahaan milik kedua orang tuanya di usianya yang masih sangat muda," puji Kasih dengan berbisik pelan sembari menatap ke arah tempat tidur di mana suaminya sudah terlelap dibuai mimpi.Gadis itu kagum dengan prestasi suaminya. Tak dia sangka, Xavier pernah menimba ilmu di luar negeri. Bahkan pria itu menjadi lulusan terbaik seangkatannya. Pantas saja pria itu bisa memimpin per
Tubuh Kasih tiba-tiba menggigil saat membaca tulisan tangan Xavier. Tulisan itu terlihat semakin menebal di paragraf terakhirnya. Terlihat penuh emosi dan amarah."Ya ampun ... Apakah benar seperti ini?" gumam Kasih sembari menutup mulutnya dengan salah satu tangan agar ia tak memekik.Dada Kasih merasa sesak seketika. Tulisan Xavier seperti menunjukkan kemarahan yang tak tertahan. Bahkan tulisan itu berubah menjadi semakin tak rapi.[PAPAH DAN MAMAH MENINGGAL KARENA DIBUNUH]"Ya Tuhan ...."Kasih membuka lembaran selanjutnya. Di sana ada beberapa foto kecelakaan mobil yang disimpan. Berikut dengan data tulisan Xavier. Kini gadis itu tahu jika kedua mertuanya tiada saat Xavier berusia lima tahun. Dan catatan itu dibuat ketika Xavier masih remaja. Nampaknya pria itu mulai curiga setelah mengerti sesuatu.Tangan Kasih mulai dingin karena membaca kejadian tak menyenangkan itu. Di sana hanya ada data-data kecelakaan kedua mertuanya yang kurang lengkap. Dan kemung
Mendengar bisikan yang tak biasa dari Xavier, perasaan Kasih berubah seketika. Pelukannya mengendur, dan matanya menatap wajah Xavier yang tak asing itu dengan heran."Barusan kamu bilang apa?" tanya Kasih terbata, tangisannya terhenti seketika oleh rasa ingin tahu dan kebingungan yang muncul tiba-tiba.Xavier balas menatap wajah Kasih yang basah oleh air mata. Dengan lembut, pria itu mengusap wajah Kasih dan berkata, "Kasih Rahayu ... Itu kan nama Sisi?"Kasih terdiam, kedua matanya kini tergenang oleh air mata yang terhenti. Sejenak, baru saja ia mengira Xavier telah berhasil mengingat kembali masa lalunya. Gadis itu segera menyeka air matanya yang jatuh, berusaha menahan harap yang telah tumbuh di dadanya."Ahhh. Ya. Itu nama lengkapku," kata Kasih mengangguk pelan.Xavier ikut mengangguk sambil meraih tangan ramping Kasih dan menggenggamnya erat. "Nama Sisi bagus, kok. Jadi, jangan sedih, ya?" Namun, kemudian sorot matanya berubah, dan pria itu menaikkan kedua alisnya sambil membe
Xavier ikut kaget mendengar teriakan istrinya. Pria itu pun mendongak dan mulai menyentuh lutut Kasih."Maaf kalau Xavi ngagetin Sisi," cicit pria itu merasa bersalah.Kasih mengusap dadanya, ingin meredakan debaran di dalam jantungnya yang berdetak begitu cepat seolah ingin keluar dari rongga dadanya."Kamu benar-benar ...."Xavier pun berdiri. Pria itu meraih buku catatan Kasih yang berada di atas meja."Eh?" Kasih terkejut dan berusaha merebut kembali buku catatannya. Akan tetapi gerakan Xavier lebih cepat dan pria itu lebih tinggi dari Kasih.Kedua alis pria itu saling bertaut ketika membaca tulisan rapi Kasih. Ia kemudian menatap Kasih. "Sisi ... Apa benar kedua orang tua Xavi dibunuh?" tanya pria itu.Kasih tersentak mendengarnya. Lalu ia teringat bahwa catatan itu dibuat oleh Xavier ketika pria itu beranjak dewasa. Xavier yang sudah bisa mengolah informasi dengan akurat, mulai curiga dengan kematian kedua orang tuanya."Ah ....""Benarkah itu, Sisi?" tanya Xavier sembari menata
Kasih terdiam mendengar pertanyaan beruntun yang diajukan oleh suami bocahnya. Gadis itu memalingkan wajah karena tak bisa menjawab. Jujur saja ia pasti akan sedih jika Xavier melupakannya. Tapi itu semua sesuai dengan perjanjian yang pernah dibuat dengan Kakek Wibowo."Ya, aku akan bahagia, Xavi. Aku akan menerima Xavi apa adanya ...." Jawaban Kasih hanyalah dusta. Ia yang sudah jatuh cinta pada suami bocahnya mana mungkin bisa bahagia jika pria itu melupakannya. Namun ia sangat sadar diri karena dia akan segera bercerai setelah Xavier mendapatkan ingatannya kembali.Xavier menatap kedua mata Kasih. Pria itu terdiam lalu melepaskan genggaman tangannya. "Baiklah ...."Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Xavier sepertinya terlihat tidak puas."Eummm. Xavi ... Untuk mengembalikan ingatan kamu, bagaimana kalau kita pergi ke kampung lamaku?" usul Kasih sembari menatap suaminya lagi.Xavier kembali menoleh. "Ke kampung lama Sisi?""Iya." Kasih mengangguk.Pria itu terlihat memikirkan sesua
Kasih terkesiap ketika merasakan tangan Xavier tiba-tiba menyelinap dan bergerak lincah di bawah sana. Dia tentu saja terkejut, sebab tindakan tersebut sungguh tak terduga dan tidak biasa dari suami bocah yang selama ini dia anggap polos itu. "Xa-Xavi ...." bisik Kasih lemah, merasa campur aduk antara malu, kaget, dan penasaran seiring tangan Xavier mulai meraba dengan lembut bagian bokongnya. 'Kenapa Xavier seperti ini? Apakah di baru saja menonton film romantis dewasa lagi? Atau dia menonton video porno!' gumam Kasih dalam hati, mencoba mencari tahu alasan di balik perubahan tindakan Xavier yang belum pernah ia alami sebelumnya.Xavier sekali lagi mencium bibir Kasih dengan penuh gairah sebelum gadis itu mendorongnya menjauh. Pria bocah itu seperti sedang merasakan tubuhnya yang bergelora saat ia berusaha untuk bertindak lebih jauh. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Tangannya yang bergerak menaikkan rok panjang Kasih sampai telapak tangan menyentuh kulit paha
"Ahhhh." Xavier mendesah dengan mata tertutup saat merasakan kenikmatan dari kedua tangan istrinya."Ahhhhhhh ...." desahnya panjang.Setelah beberapa menit merasakan sensasi yang mendebarkan tersebut, akhirnya Xavier melepaskan apa yang sedari tadi tertahan di dalam dirinya. Tangan Kasih pun terlepas dari pusakanya setelah berhasil mengeluarkan cairan hangat yang terasa lengket.Pria itu mengatur napasnya. Wajahnya merah sempurna. Sementara Kasih memundurkan tubuhnya menjauh dari Xavier.Duk"Aduh!" pekik gadis itu saat kepalanya terbentur salah satu sisi meja kerja. Xavier spontan mendekatinya dan menarik pelan tubuh Kasih. Ia usap pelan bagian belakang kepala Kasih yang baru saja terbentur. Membuat ikatan dasinya mengendur dan terlepas."Sisi nggak papa?" tanya pria itu dengan tatapan lembutnya.Kasih terpaku menatap wajah merah Xavier yang telihat seksi dan dewasa. Pria itu menatap intens pada mata bening Kasih yang tertuju padanya."Ah. Ya. Aku nggak papa," jawab Kasih yang ters
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d