“Shanna! Semangat, ya!” Suara teriakan Viona terdengar keras meski Shanna sudah berlari cukup jauh dari sahabat-sahabatnya. Dia tidak berhenti dan hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Dia terus berlari menuju gerbang kampus dan mendekati mobil Damar yang ternyata sudah menunggunya. “Maaf lama, Ba,” ucap Shanna ketika berada di dalam mobil. “Baba sudah dari tadi?” “Tidak apa-apa. Baba juga baru saja sampai, kok.” Damar mengemudikan mobil meninggalkan kampus Shanna dan menuju ke sebuah restoran bintang lima. Pagi tadi Damar memang mengajak Shanna makan siang bersama. “Kenapa harus pesan private room sih, Ba? Kan di luar sama saja,” protes Shanna setelah pelayan pergi meninggalkan mereka berdua di private room yang dipesan Damar. Bukannya Shanna tidak suka, dia hanya merasa ayahnya itu berlebihan dengan memesan private room hanya untuk makan siang. “Ya beda dong, Sayang. Kalau di luar ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi kalau di sini kan tenang dan tidak ada yang mengganggu.
Shanna yang baru saja keluar dari taksi dan masih berada di luar gerbang kampus, dikejutkan dengan Viona yang tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya hampir terjatuh jika Viona tidak menahannya dengan kuat. Viona hanya tertawa pelan melihat Shanna yang kesal karena ulahnya. “Bagaimana? Apa kamu benar-benar memberitahu babamu?” “Hm!” “Kamu serius?” pekik Viona tidak percaya. “Menurutmu?” bukannya menjawab, Shanna justru bertanya balik. Sebelumnya Shanna memang memberitahu sahabat-sahabatnya bahwa dia akan mengungkapkan perasaannya kepada Damar saat di hari ulang tahunnya. Awalnya mereka menyarankan Shanna untuk memikirkannya matang-matang. Akan tetapi Shanna sudah bertekad akan mengungkapkan perasaannya. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menerima apa pun jawaban yang diberikan Damar nanti. Dia akan menerima semua konsekuensi dari apa yang dilakukannya. “Lalu bagaimana jawaban babamu?” tanya Viona penasaran. “Baba menolakku.” Viona mengambil langkah lebar d
Viona dan Shanna meninggalkan gedung bioskop dan menuju kafe yang ada di seberang. Mereka hanya berdua karena Neila sedang kencan dengan kekasihnya. Sementara Deva mengantar saudaranya ke bandara. “Kapan babamu pulang?” “Aku nggak tahu. Setiap kali kutanya kapan pulang, baba nggak memberikan jawaban pasti kapan akan pulang. Dia selalu bilang kalau pekerjaannya nggak bisa ditinggalkan.” Dua hari setelah pulang dari berkemah, Damar berpamitan pergi ke Surabaya karena ada masalah pada perusahaan cabang di sana. Sedikit banyaknya Shanna merasa bersyukur karena dirinya berpisah dengan sang ayah. Jujur saja dia masih merasa canggung dengan apa yang terjadi saat di puncak dua minggu yang lalu. “Shanna, entah kenapa aku merasa bahwa Om Damar seperti menghindarimu,” celetuk Viona. “Nggak mungkin. Jika baba memang ingin menghindariku karena pengakuan cintaku, seharusnya baba melakukannya setelah aku mengatakan perasaanku.” “Ya ... mungkin saja babamu nggak mau membuatmu merasa kecewa, maka
Shanna yang baru turun dari angkutan umum segera bersembunyi di balik mobil yang terparkir di tepi jalan ketika mendapati mobil Damar terparkir di dekat pintu gerbang kampusnya. Pria itu berdiri di samping mobilnya dengan kepala celingukan seperti sedang mencari seseorang. Sebelumnya Shanna sudah memprediksi bahwa Damar akan mencari dirinya setelah membaca surat yang dititipkannya kepada resepsionis hotel. Namun dia tidak menyangka bahwa Damar tetap akan mencarinya walaupun sudah satu minggu berlalu. “Shanna, apa yang kau lakukan di sini?” suara Viona sukses membuat Shanna tersentak. “Viona! Kamu membuatku kaget saja,” gerutu Shanna. Tangannya memegangi dadanya yang berdebar kencang. Kening Viona berkerut dalam. “Apa yang kau lakukan di sini?” Viona mengulangi pertanyaannya kembali. “Kenapa kamu nggak langsung masuk? Dan kemana saja kamu selama seminggu ini? Kenapa ka—” “Bisakah kita masuk sekarang?” potong Shanna cepat. “Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu nanti saat di kelas.
Shanna sendiri tidak mengerti apakah harus senang atau sedih ketika keesokan harinya dia tidak mendapati mobil Damar di dekat pintu gerbang kampus seperti biasanya. Hal itu berlangsung hingga satu minggu. Damar benar-benar tidak pernah menemuinya lagi. Seharusnya Shanna senang karena Damar tidak mengganggunya lagi dan dengan begitu dia bisa menghilangkan perasaannya kepada pria itu. Namun entah kenapa perasaan kecewa justru lebih mendominasi dirinya kala tidak bisa melihat sosok pria itu. Bahkan hal itu membuat Shanna menjadi sedikit lebih pendiam. Dia benar-benar sangat merindukan pria itu. “Kenapa kamu nggak ikut Om Damar saja jika kamu nggak bisa melupakannya?” celetuk Viona sedikit kesal dengan perubahan sikap Shanna. “Seenggaknya kamu bisa melihat dan tinggal bersamanya walaupun cintamu nggak terbalas. Daripada seperti ini, sama saja kamu menyiksa dirimu sendiri. Kalau aku sih lebih baik tinggal bersama meski hatiku terluka daripada semakin terluka dan nggak bisa bersama orang
Tidak ingin Damar mengetahui tempat tinggalnya, Shanna mempersiapkan perlengkapan untuk dirinya menyamar supaya bisa lepas dari Damar agar pria itu tidak mengikutinya. Sayangnya sudah empat hari berlalu dan Damar tidak pernah menemuinya lagi. Kecewa? Tentu saja! Namun sebisa mungkin dia menekan perasaannya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Bukankah memang ini yang dia inginkan? Sayangnya, semakin Shanna mencoba mengabaikannya, perasaan rindunya kepada pria itu semakin menyiksa dirinya. Belum lagi rasa bersalahnya karena telah meninggalkan Damar begitu saja empat hari yang lalu. Shanna menghela napas pelan. “Shanna, Bu Widia minta kamu datang ke ruangannya,” ucap seorang pengurus panti asuhan ketika melihatnya sudah pulang. “Untuk apa ibu memanggilku malam-malam begini?” kening Shanna berkerut penuh tanda tanya. “Aku tidak tahu. Lebih baik kamu langsung ke ruangan beliau saja.” “Terima kasih, Kak.” Shanna bergegas menuju ke ruangan Widia dan betapa terkejutnya dia ketika
Dua puluh satu tahun hidup bersama Damar, tidak pernah sekalipun pria itu marah atau membentaknya. Namun tidak pernah terpikirkan oleh Shanna kalau ayahnya itu tetap sabar dan tidak marah atau membenci dirinya meski dia sudah mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan pria itu. Terbukti dengan Damar yang tetap menemui Shanna dan menunggunya pulang kerja serta mengantarnya pulang ke panti asuhan. Hal itu berlangsung selama hampir dua minggu. “Baba tidak memaksamu. Tetapi selama kamu tidak tinggal bersama baba, baba tidak akan pernah berhenti datang ke tempat kerjamu,” ucap Damar santai, tidak ada nada kesal sedikit pun. “Kalau kamu ingin baba berhenti datang ke tempat kerjamu, maka kamu harus ikut baba pulang ke rumah.” Shanna hanya diam dengan tangan terlipat di depan dada. Dia tidak tahu harus berkata seperti apa lagi supaya Damar berhenti menemuinya lagi. Damar hanya tersenyum kecil dengan memandang Shanna melalui ekor matanya. Suasana di dalam mobil kembali hening hingga mobil
Damar benar-benar menepati janjinya untuk menghabiskan akhir pekannya bersama Shanna. Benar-benar melupakan bahwa mereka pernah bertengkar. Namun berbeda dengan Shanna yang masih merasa canggung dan bersalah atas sikapnya kepada pria itu selama dua bulan terakhir. “Baba, ayo kita pulang!” Shanna menatap arloji di tangan kirinya menunjukkan pukul tiga sore. “Sekarang masih jam tiga. Kenapa buru-buru pulang?” “Aku harus bekerja. Aku nggak mau telat.” “Kerja?” Damar menatap Shanna dengan alis terangkat tinggi. “Kenapa kamu masih kerja? Lebih baik kamu berhenti kerja. Baba tidak mengizinkan kamu untuk bekerja.” “Baba, aku sudah mengikuti keinginan baba untuk tinggal bersama. Tapi aku nggak janji untuk berhenti kerja. Terserah baba mengizinkan atau nggak, aku tetap akan bekerja.” “Kamu boleh bekerja, tetapi tidak di mini market. Apalagi jam kerjamu di malam hari yang membuatmu harus pulang malam. Baba tidak mau kamu kelelahan. Baba ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Lagi pula apa uang
Shanna tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti Viona. Sayangnya gadis itu berlari semakin kencang di antara banyaknya pengunjung, sehingga mereka berdua kehilangan jejak gadis itu. Viona mengedarkan pandangannya untuk mencari gadis itu. Sayangnya gadis itu menghilang tanpa jejak bagai di telan bumi.“Kemana dia pergi?” gumam Viona kesal.“Mungkin bukan takdir kita bertemu dengannya.” Shanna mencoba menanggapi ucapan Viona.“Sial! Jika kita bisa bertemu dengannya, kita bisa bertanya dengannya.”“Sudahlah, Vi. Lebih baik sekarang kita cari minuman dulu. Aku haus.” Shanna mencoba mengalihkan topik pembicaraan.Shanna benar-benar merasa senang karena mereka kehilangan jejak Helia. Bagaimanapun ia tidak akan membiarkan sahabat-sahabatnya dalam masalah karena dirinya. Dirinya akan menyesal seumur hidup jika kembali membawa ketiga temannya dalam masalah. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.“Baiklah. Aku juga hasu setelah mengejar gadis itu.”Mereka menuju ke lantai atas, di ma
Sepanjang acara makan siang itu, Shanna dan Kayra adalah orang yang paling pendiam. Mereka hanya membuka suara jika ada yang bertanya. Berbeda dengan Devara yang berbaur bersama teman-temannya. Senyum dan tawa renyahnya tidak pernah berhenti.Shanna merasa waktu berjalan begitu lambat. Namun, sebelum ia mati bosan, mereka semua memutuskan untuk mengakhiri pertemuan. Satu per satu mereka meninggalkan restoran.Shanna menghela napas lega begitu mereka berada di dalam mobil.“Maaf jika membuatmu tidak nyaman.” Devara menggenggam tangan Shanna. Penyesalan dan rasa bersalah terdengar pada nada bicaranya.“Nggak apa-apa, Tan. Mungkin memang aku saja yang masih belum bisa beradaptasi. Jadi tante nggak perlu mengkhawatirkan aku.”“Kalau misalnya tante ngajak kamu lagi, kamu mau ikut?”Shanna sedikit tegang. Ekspresinya sedikit berubah.“Tanten hanya bercanda.” Devara tertawa pelan. “Tante tahu kamu tidak nyaman bersama mereka. Jadi tidak mungkin tante mengajak kamu untuk bertemu dengan mereka
Pukul enam sore, Shanna dan Ardo meninggalkan rumah menuju ke kediaman Hattala. Tadi sore Devara meneleponnya, mengundangnya untuk makan malam bersama di kediaman Hattala.Sudah lama Shanna tidak berkujung ke kediaman Hattala, sehingga saat dirinya tiba, Shanna langsung disambut dengan antusias oleh keluarga Hattala, terutama oleh anak-anak Galang dan Devara. Shanna sudah menganggap mereka seperti keponakannya sendiri.“Kenapa kamu tidak bilang kalau Damar keluar kota?” Devara menatap Shanna dengan ekspresi puar-pura kesal. “Seharusnya kamu bilang. Atau kalau tidak, kamu bisa bermain ke sini.”“Benar.” Galang ikut menyahuti. “Jika aku tidak menelepon Damar untuk mengundangnya makan malam, aku tidak akan tahu kalau dia keluar kota. Apalagi Damar sudah hampir tiga minggu di luar kota.”Shanna tersenyum canggung. “Aku nggak mau membuat tante dan om khawatir. Lagian ada Kak Ardo yang menemaniku di rumah.”Galang menghela napas pelan. “Kamu sama Damar itu sama saja. Suka sekali membuat ora
Mata Shanna membulat sempurna. Perlahan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Matanya berbinar bahagia. “Benarkah?”“Ya. Tapi sayangnya dia tidak bertemu dengan wanita itu.”“Nggak masalah. Seenggaknya kita tahu bahwa dia pasti akan mencari Nadia.” Shanna tertawa pelan.“Jadi bagaimana? Apakah kita masih akan menemui Tuan Prama Mahendra?”Shanna menggeleng cepat. “Nggak. Kita biarkan saja Helia bertindak sendiri. Jika sudah nggak memungkinkan, baru kita turun tangan. Jadi aku minta tolong sama kakak untuk terus mengawasi Helia.”Setelah meminta Ardo memberikan salinan mengenai identitas wanita itu, Shanna meminta Ardo untuk mengaswai Helia. Ia sempat pesimis, takut Helia tidak tertarik mengenai identitasnya lagi. Pasalnya sudah seminggu Shanna menunggu, tetapi tidak ada pergerakan dari Helia.Shanna bahkan sudah bersiap untuk menggunakan rencana cadangan. Namun, karena Helia sudah bertindak, maka ia tidak perlu menjalankan rencana cadangannya. Dan itu tentu membuat Shanna sangat bahagia.
Pagi-pagi sekali Shannna sudah bersiap. Ia berdiri di depan cermin, memandangi penampilannya. Dadanya berdebar kencang. Sekarang adalah sidang skripsinya. Meskipun dirinya yakin bisa menyelesaikan ujian dengan baik, tetap saja ia merasa gugup.“Halo, Ba?” Shanna menerima panggilan telepon dari Damar dengan antusias.“Halo, Sayang. Kamu sudah sarapan?”“Sudah, Ba. Ini sekarang aku sudah siap-siap buat berangkat ke kampus. Baba sudah sarapan?”“Belum. Sebentar lagi aku akan sarapan. Hati-hati di jalan, Sayang. Dan semoga sukses.”“Iya, Ba. Baba jaga kesehatan. Nanti aku telepon lagi kalau sudah selesai sidang.”“Ya.”Setelah memberikan ucapan penyemangat, Damar memutus panggilan telepon.Shanna semakin bersemangat usai mendapat dukungan dari Damar. Tidak membuang-buang waktu, ia pun langsung pergi ke kampus.Dua hari yang lalu, Damar mendadak izin pergi ke luar kota. Ada masalah pada perusahaan cabang yang mengharuskan Damar untuk datang langsung. Shanna tidak tahu kapan Damar akan kemb
Shanna benar-benar bahagia. Akhirnya ia memiliki senjata mematikan untuk membalas Nadia. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Nadia memiliki rahasia kelam. Rahasia yang tidak diketahui oleh satu orang pun. Termasuk orang tuanya.Shanna tidak bisa menahan senyum lebarnya saat membayangkan bagaimana rekasi publik saat mengetahui rahasia kelam Nadia. Namun, ia jauh lebuh tidak sabar ingin melihat reaksi Nadia. Ia yakin Nadia pasti tidak akan berani menampakkan diri untuk selamanya.Tanpa bisa mengontrol kebahagiaannya, Shanna tertawa keras. Sangat puas dengan apa yang baru saja ia dapatkan. Tidak menyangka bahwa Tuhan sangat berbaik hati membantunya untuk memberi pelajaran wanita itu.“Baru kali ini aku melihatmu tertawa keras seperti itu.” Suara Damar mengejutkan Shanna.Shanna bergegas turun dari tempat tidur, berlari menghampiri Damar yang berdiri di ambang pintu. Tanpa aba-aba, ia menerjang Damar. Bersyukur Damar sudah bersiap siaga menyambut pelukan istrinya yang langsung menempel s
Damar membuka mulutnya, tetapi kemudian tersenyum kecil ketika mendengar perut Shanna berbunyi. Lumayan keras hingga semua orang di sana dapat mendengarnya.Shanna menunduk malu sembari merutuk dalam hati. Bisa-bisanya perutnya berbunyi begitu keras di hadapan begitu banyak orang. Namun, ia juga tidak bisa mengendalikan perutnya yang memang lapar akibat aktivitas mereka tadi siang.“Lebih baik kita makan dulu, setelah itu kamu bisa membaca itu nanti.”Shanna menurut meski penasaran dengan isi pada amplop cokelat itu.“Ba, apa baba yang menghapus semua videoku yang beredar di internet?” tanya Shanna di sela-sela makannya.“Ya. Aku tidak mungkin tidak melakukan apa-apa saat ada skandal mengenai dirimu.” Damar menatap Shanna. “Tidak perlu membahasnya lagi. Lebih baik sekarang makan yang banyak.” Damar mendekatkan diri kepada Shanna dan berbisik. “Supaya kamu memiliki tenaga untuk kita bermain lagi nanti malam.”Shanna refleks menginjang kaki Damar. Ia menatap Damar dengan mata melotot. Ti
Kedatangan kedua sahabatnya membuat Shanna melupakan skandalnya.Sesuai janjinya, Deva datang ke rumah Shanna tepat pukul sepuluh pagi. Pria itu pun langsung menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang Viona dan Neila ajukan kepada Shanna. Dan Shanna pun kembali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.“Wanita itu memang harus dibuat jera, biar nggak membuat onar seenak jidatnya saja,” komentar Deva. Pemuda itu menatap Shanna lekat-lekat. “Lebih baik untuk sekarang kamu jangan bermain internet dan media sosial.”Shanna mengangguk. “Ya.”Deva tinggal selama beberpa lama sebelum akhirnya pamit pulang. Sebab banyak pekerjaan yang masih harus dikerjakannya. Begitu pula dengan Viona dan Neila. Mereka berdua pun pulang setelah makan sian bersama.Tepat setelah Viona dan Neila meninggalkan rumah, Devara menelepon Shanna dan menanyakan kondisi Shanna saat ini.“Aku baik-baik saja, Tan. Tanten nggak perlu khawatir.” Shanna mencoba menenangkan Devara.Terdengar Devara menghela napas dari sebe
Shanna keluar kamar dengan tergesa-gesa karena amarah yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia harus menemui dan menghajar Nadia saat ini juga. Namun, Ardo menahannya.“Tenangkan dirimu, Shan!”“Aku nggak bisa tenang, Kak! Wanita iblis itu sudah kelewatan. Aku akan memberi perhitungan biar dia tahu siapa aku.”“Saya tahu, tapi tenangkan dirimu dulu.”Shanna menatap Ardo putus asa. “Bagaimana aku bisa tenang, Kak? Saat ini, di internet ramai beredar videoku bersamanya di parkiran mall kemarin. Aku yakin ini pasti ulah wanita itu.”“Saya tahu, saya juga sudah melihatnya. Tapi kita tidak bisa menghadapi ini dengan emosi yang menguasai diri. Jika tidak, maka akan timbul masalah baru.”“Lalu aku harus bagaimana? Apa aku harus diam saja dengan perbuatan Nadia?”Ardo menggeleng pelan. “Tidak. Tentu kita harus membalasnya, tetapi dengan kepala dingin.”Shanna hendak membalas ucapan Ardo, tetapi ia urungkan saat ponselnya berdering. Tanda panggilan masuk. Tertera nama Damar pada layar ponselnya