Damar benar-benar menepati janjinya untuk menghabiskan akhir pekannya bersama Shanna. Melupakan bahwa mereka pernah bertengkar. Namun, berbeda dengan Shanna yang masih merasa canggung dan bersalah atas sikapnya kepada pria itu selama dua bulan terakhir.
“Baba, ayo kita pulang!” Shanna menatap arloji di tangan kirinya yang menunjukkan pukul tiga sore.
“Sekarang masih jam tiga. Kenapa buru-buru pulang?”
“Aku harus bekerja. Aku nggak mau telat.”
“Kerja?” Damar menatap Shanna dengan alis terangkat tinggi. “Kenapa kamu masih kerja? Lebih baik kamu berhenti kerja. Baba tidak mengizinkan kamu untuk bekerja.”
“Baba, aku sudah mengikuti keinginan baba untuk tinggal bersama. Tapi aku nggak janji untuk berhenti kerja. Terserah baba mengizinkan atau nggak, aku tetap akan bekerja.”
“Kamu boleh bekerja, tetapi tidak di mini market. Apalagi jam kerjamu di malam hari yang membuatmu harus pulang malam. Baba tidak mau kamu kelelahan. Baba ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Lagi pula apa uang saku yang baba berikan kurang? Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu bisa minta langsung pada baba. Tidak perlu bekerja. Baba tidak kekurangan uang.”
“Ini bukan masalah uang atau apa pun, Ba. Ini keinginanku sendiri untuk bekerja. Aku hanya ingin hidup mandiri. Kalau baba nggak mau pulang, ya sudah. Aku pulang sendiri aja.”
Shanna pun meninggalkan Damar yang ternyata dengan cepat mengikuti Shanna.
“Oke, oke. Ayo baba antar kamu ke tempat kerja.” Damar mengalah dan mengantar Shanna langsung ke tempat kerja. Damar bahkan menunggu Shanna bekerja hingga pulang bekerja seperti biasanya.
Damar benar-benar menepati janjinya untuk membuat hubungan mereka seperti semula. Berbeda dengan Shanna yang masih sulit untuk bersikap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Faktanya, perasaan canggung masih menggelayuti dirinya meski sudah empat hari mereka tinggal bersama. Tanpa Shanna sadari, dirinya telah menjaga jarak dengan mengurangi kontak fisik dengan Damar.
Damar sendiri tidak protes dengan sikap Shanna. Dia justru semakin menunjukkan perhatiannya yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Tadi aku melihatmu di gerbang kampus bersama Om Damar. Memangnya kamu sudah baikan sama babamu?” Neila membuka obrolan setelah mereka mendapat tempat duduk.
“Hm! Sekarang aku sudah pulang. Benar apa yang kalian katakan. Daripada aku rugi dua kali, lebih baik aku tinggal bersama baba meski cintaku nggak terbalas. Seenggaknya aku bisa melihat baba setiap saat.”
Sejak dirinya kembali, Shanna menyadari bahwa apa yang dikatakan sahabat-sahabatnya itu benar. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya menderita.
Viona dan Neila mengacungkan kedua jempol mereka kepada Shanna.
“Cobalah kamu membuka hatimu untuk orang lain. Siapa tahu aja dengan begitu kamu bisa menghilangkan perasaanmu pada Om Damar,” saran Deva.
Shanna menghela napas pelan. “Aku akan mencobanya.”
Bukannya Shanna tidak mau, tetapi hatinya entah kenapa selalu bertaut kepada ayahnya. Mungkin memang tidak seharusnya dia memiliki perasaan kepada ayahnya.
“Kamu nggak perlu memaksakan diri. Lakukan saja secara perlahan.” Viona pun memberi dukungan.
“Hm! Terima kasih untuk saran kalian. Mulai sekarang aku akan berusaha mendengarkan semua saran kalian.” Shanna menatap satu per satu ketiga sahabatnya.
“Apa yang kamu katakan? Kita ini sahabat dan sudah semestinya saling membantu,” ucap Neila.
Shanna tersenyum kecil. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti mereka bertiga. Sahabat yang selalu ada kala dirinya susah ataupun senang. Yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini. Mereka juga tidak pernah bosan memberikan semangat dan dukungan untuknya.
Dulu, Shanna berpikir bahwa mereka akan menjauhinya ketika dia memberi tahu mereka mengenai dirinya yang menyukai Damar yang merupakan ayah angkatnya. Dia bahkan sudah menyiapkan mentalnya jika mereka bertiga akan menghujatnya. Namun, itu semua hanya ketakutannya yang tidak berdasar. Nyatanya mereka bertiga menerima dirinya dengan tangan terbuka.
“Aku pulang duluan, ya,” ucap Shanna setelah melihat waktu di arlojinya menunjukkan pukul 11.30 siang. “Soalnya tadi pagi aku sudah janji sama baba mau makan siang bersama.”
Shanna segera meninggalkan kantin dengan langkah lebar menuju ke gerbang usai mendapatkan jawaban dari ketiga sahabatnya.
“Baba ke mana, Paman?” tanya Shanna bingung ketika dirinya justru mendapati Adara yang menjemput dirinya dan bukannya Damar.
“Tuan masih rapat. Tapi tadi beliau sudah berpesan supaya saya menjemput Anda kalau beliau belum selesai.”
Shanna mengangguk dan segera memasuki mobil.
Sesampainya di perusahaan, Shanna memutuskan untuk menunggu Damar di ruang kerjanya. Tanpa mengetuk pintu, Shanna membuka pintu ruang kerja Damar. Matanya membulat ketika netranya justru mendapati Diana dan Damar berada di dalam, duduk berhadapan di meja kerja Damar.
“Maaf, Bibi, Baba. Kupikir baba masih rapat, jadi aku langsung masuk aja. Aku nggak tahu kalau Bibi dan baba ada di dalam,” ucap Shanna kepada kedua orang yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda.
Damar tersenyum kecil. “Kamu sudah datang.” Damar beralih menatap Diana. “Kakak, kalau tidak ada lagi yang kakak bicarakan, maka kami mau pergi makan siang dulu.”
Diana menatap tajam Damar. “Lebih baik kamu mendidik dia lebih tegas lagi supaya tidak mempermalukan nama keluarga Adipramana.”
Usai berkata seperti itu, Diana pergi dengan pandangan tajam yang di arahkan kepada Shanna.
Shanna hanya bisa menundukkan pandangannya. Dia tahu dirinya salah karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Keluarga Adipramana memang ketat dalam segala hal, terutama etika sopan santun. Tidak heran jika Diana marah kepadanya. Apalagi keluarga besar Adipramana memang tidak ada yang menyukainya sejak dulu.
Damar bangkit dari duduknya, menghampiri Shanna yang masih setia berdiri di dekat pintu. Tangannya mengusap kepala Shanna lembut dan penuh kasih sayang.
“Kamu tidak perlu memasukkan ke hati ucapan bibimu. Lebih baik sekarang kita pergi makan siang. Baba sudah sangat lapar sekali.”
Damar menggandeng Shanna meninggalkan ruang kerjanya dan menuju ke lift. Damar membawa Shanna ke sebuah restoran tidak jauh dari perusahaan.
“Damar?” seorang wanita menyapa mereka yang hendak memasuki restoran, nadanya terdengar sedikit ragu-ragu.
Shanna dan Damar secara bersamaan menatap ke belakang. Damar tersenyum lebar pada wanita yang menghampiri mereka.“Kebetulan sekali kita bertemu di sini.” Wanita itu berhenti tepat di hadapan mereka berdua. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang cantik.“Aliya,” nada Damar terlihat senang. “Ya, kebetulan sekali. Kamu sendirian saja?”“Ya, aku sendirian saja.”Damar memperkenalkan Shanna dengan Aliya, lalu bersama-sama mereka memasuki restoran. Rencana makan siang berdua, kini menjadi bertiga.Damar menceritakan kepada Shanna bahwa Aliya adalah teman masa SMA-nya dan Galang. Lebih tepatnya, mereka berteman sejak kelas 1 SMA. Mereka masih berhubungan baik meski jarang bertemu, sebab Aliya yang menikah setelah lulus kuliah dan ikut suaminya tinggal di Surabaya.Sekarang Aliya kembali ke Jakarta karena sudah bercerai dengan suaminya. Mereka tidak memiliki anak karena sang suami dinyatakan mandul.Damar tampak sangat bahagia dan menikmati ketika berbicara dengan Aliya. Hal itu entah kenapa me
“Aku sangat yakin sekali, Shan.” Deva menjawab mantap. “Maafkan aku. Saat itu aku nggak bermaksud mengintip. Kebetulan saat itu aku lagi ke toilet. Dan saat kembali aku nggak sengaja melihat Om Damar berpelukan dengan wanita itu. Aku juga melihatmu bersama Viona menatap mereka waktu itu.”Hati Shanna sakit mendengar kenyataan ini. Damar yang dia pikir benar-benar terbuka kepadanya, ternyata tidak sepenuhnya terbuka. Tampaknya dia terlalu menganggap dirinya adalah orang yang sangat penting dalam hidup pria itu.Suasana hatinya yang buruk membuat Shanna mengajak Deva untuk segera pulang. Dia sudah tidak berminat lagi untuk jalan-jalan. Damar yang baru pulang pukul sembilan malam terkejut ketika melihat dirinya sudah berada di rumah.“Baba pikir kamu masih belum pulang.” Damar mendudukkan diri di samping Shanna yang menonton televisi.Shanna tersenyum kecil tanpa menatap Damar. “Aku capek. Makanya pulang cepat.”“Sini, tidur di pangkuan baba.” Damar menepuk pahanya.Shanna tidak mengataka
Shanna masih ingat dengan jelas bagaimana ekspresi kecewa Damar ketika dia mengatakan perasaannya kepada pria itu. Karena itulah dia tidak ingin membuat Damar kecewa kepadanya. Sudah cukup dia mengecewakan pria itu dengan perasaannya yang tidak semestinya dia miliki.“Apa pun pilihanmu, baba akan selalu mendukungmu.” Damar mengusap kepala Shanna lembut. “Kalau begitu, hari ini kita makan malam di rumah atau di luar?”“Memangnya baba nggak ada janji makan malam sama Tante Aliya?” tanya Shanna santai, meski dadanya terasa sesak ketika mengingat betapa bahagianya Damar saat mengobrol dengan Aliya.Namun, dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk membalas kebaikan Damar. Kalau benar Damar mencintai Aliya, sebagai seorang anak, dirinya hanya bisa merestui mereka. Dia tidak ingin menjadi orang yang egois dengan cara memonopoli Damar untuk dirinya sendiri. Sudah cukup dua puluh satu tahun dirinya memonopoli Damar. Mungkin sekarang sudah waktunya ayahnya itu mencari kebahagiaannya sendir
Beberapa kali Shanna mengirim pesan kepada Deva, tetapi jawaban yang diberikan Deva sangat singkat. Itu pun baru dibalas beberapa jam kemudian. Shanna juga berusaha menelepon Deva, sayangnya tidak ada satu pun panggilan darinya yang diangkat. Hal itu membuat Shanna berpikir yang tidak-tidak. Walau begitu, Shanna berusaha berpikir positif seperti yang disarankan oleh Viona dan Neila, meski sangat sulit bagi Shanna untuk melakukannya.“Ada apa, hm? Baba perhatikan beberapa hari ini wajahmu tampak kusut. Apa ada masalah?” tanya Damar yang duduk di samping Shanna, menemani gadis itu menonton televisi setelah makan malam. “Katakan pada baba, apa yang terjadi sampai kamu terlihat kusut begitu akhir-akhir ini?”Shanna tersenyum kecil. “Nggak ada apa-apa, Ba. Aku cuma sedikit stres mikirin proposalku yang harus revisi lagi.”Shanna tidak bermaksud untuk berbohong, tetapi dia tidak ingin terlalu terbuka seperti sebelumnya kepada Damar. Dia berusaha untuk tidak terlalu bergantung kepada pria itu
Sayangnya Shanna tidak memperhatikan hal itu dan dengan santai dia berkata, “Dia Ansel, teman pacar Viona. Kemarin Viona mengatur kencan buta untukku dan Ansel. Jadi tadi sepulang kuliah kami bertemu di kafe dekat kampusku. Baba tumben jam segini sudah pulang?”Shanna heran kenapa Damar sudah berada di rumah, padahal sekarang masih pukul dua siang. Biasanya Damar selalu pulang tepat waktu, pukul lima sore. Tidak pernah lebih atau kurang.“Baba pulang karena ada dokumen yang harus baba ambil. Ya sudah, kalau begitu baba pergi dulu.” Damar mencium kening Shanna sebelum menuju ke mobilnya dan meninggalkan rumah.Shanna yang tidak sempat menghindar hanya bisa pasrah dan langsung masuk ke rumah untuk berganti pakaian. Lalu kembali melanjutkan obrolannya bersama Ansel melalui telepon.Bersama Ansel, Shanna sedikit dapat melupakan rasa bersalahnya kepada Deva. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat. Shanna terkejut dan juga senang ketika melihat akhirnya Deva sudah kembali berkumpul bersama
Shanna kesal dan marah kepada Damar yang tiba-tiba melarangnya bergaul dengan Ansel. Dia tidak mengerti kenapa Damar melarangnya berteman dengan Ansel di saat dia berusaha membuka hati untuk pemuda itu.Kemarahan dan kekesalan Shanna semakin menjadi kala Damar benar-benar melakukan seperti apa yang dikatakannya, mengantar jemput dirinya. Tidak hanya itu saja, Damar juga selalu mengganggunya di saat Shanna bersama Ansel dengen menelepon atau mengiriminya pesan untuk segera pulang. Bahkan beberapa kali Damar menjemputnya secara langsung untuk pulang ketika dirinya bersama Ansel saat dia mengabaikan perintah pria itu.Sebagai bentuk protesnya, Shanna tidak mau berbicara dengan Damar. Dia benar-benar mengabaikan Damar dalam segala hal, teramasuk membersihkan rumah dan memasak. Sehingga selama satu minggu ini, mau tidak mau Damar terpaksa membersihkan rumah dan membeli makanan untuk mereka.Mesk“Kenapa kita ke sini?” tanya Shanna yang tidak kuasa menahan diri untuk membuka mulut begitu Dama
Damar dan Aliya tidak memiliki hubungan apa pun. Damar hanya menganggap Aliya sebagai temannya. Alasan kenapa selama ini dia sangat dekat dengan Aliya, itu karena saran dari Galang setelah mendengarkan keluh kesahnya mengenai Shanna yang menyukainya layaknya kekasih.Saat itu Galang menyarankan supaya Damar mencari kekasih, berharap Shanna mengerti bahwa kasih sayang mereka murni antara ayah dan anak. Sayangnya Damar menolak saran itu. Damar lebih memilih tinggal di hotel dengan menggunakan alasan bahwa cabang perusahaannya mengalami masalah dan mengharuskan dia melakukan perjalanan bisnis, dibandingkan harus berpura-pura. Namun, Damar tidak menyangka bahwa Shanna akan mengetahui kebohongannya.“Saat membaca surat yang kamu titipkan pada resepsionis, baba benar-benar merasa bersalah karena telah membohongimu hanya untuk menghindarimu,” ucap Damar dengan jujur. Nadanya sarat akan penyesalan dan rasa bersalah kala mengingat waktu itu.Setelah membaca surat dari Shanna, saat itu juga Dama
Shanna menghela napas pelan. Lalu dengan lemah dia berkata, “Sebenarnya aku juga sudah memikirkannya. Cuma aku nggak tahu bahagaimana cara memberi tahu dia. Nggak mungkin kan aku bilang ke dia kalau aku udah dilamar sama ayah angkatku sendiri?”“Ya jelaslah nggak mungkin,” sahut Viona cepat. “Bisa-bisa kamu yang dapat masalah kalau hubunganmu dengan babamu sampai ketahuan. Meskipun nggak ada yang salah menikah dengan ayah angkat karena nggak ada hubungan darah, tapi tetap aja hal seperti ini masih tabu.”“Karena itu. Aku bingung bagaimana untuk memberi tahu Ansel.” Shanna menopang dagunya dengan satu tangan. Shanna menatap satu per satu teman-temannya. “Kalian ada ide, nggak?”Ketiga sahabatnya menggeleng bersamaan. Tanda kalau mereka juga tidak memiliki ide.“Maaf, Shan, untuk kali ini, kami nggak bisa membantu,” ucap Viona lemah.“Kenapa kamu nggak minta pendapat Om Damar aja? Siapa tahu dia memiliki banyak alasan,” usul Neila yang diangguki setuju oleh Viona dan Deva. “Biasanya oran
Shanna mengikuti Viona yang menunjuk ke arah luar. Matanya membulat sempurna ketika melihat Helia berdiri di parkiran, di dekat sebuah mobil sedan berwarna biru. Tidak menyangka Helia begitu gigih untuk bisa bertemu dengan Nadia.Kedua sudut bibir Shanna terangkat sedikit, sangat samar hingga tidak ada yang bisa melihat senyumnya.Kening Viona berkerut. “Untuk apa dia di sini?”“Entahlah, aku nggak tahu, Vi,” jawab Shanna berbohong.Shanna sangat yakin kehadiran Helia pasti ada hubungannya dengan Nadia. Namun, Shanna tidak menemukan sosok wanita itu saat mengedarkan pandangan ke segala arah.‘Di mana wanita itu?’ pikir Shanna penasaran dengan keberadaan Nadia.“Ada apa, Shan?” tanya Devara yang membuat Shanna terkejut dan refleks menatap Devara dengan senyum kecil.“Nggak ada apa-apa, Tante.” Shanna menjawab cepat. “Cuma sedikit heran aja, kenapa restoran ini sepi sekali. Padahal sekarang sudah waktunya makan siang.”“Mungkin mereka banyak yang memilih makan di lantai atas,” ucap Kayra
Shanna dan Viona pun pergi ke lantai atas, di mana lantai atas merupakan pusat jajanan serba ada.“Kalau aku melihatnya lagi, aku benar-benar nggak akan melepaskan Helia,” ucap Viona masih dengan kekesalan yang kentara karena tidak berhasil bertatap muka dengan Helia.“Kamu sudah tahu identitas wanita itu?” tanya Shanna berpura-pura tidak tahu. Dia ingin tahu sejauh mana Viona mengetahui identitas Helia.“Oh, aku lupa memberi tahumu. Kemarin orang yang kupinta untuk mencari tahu mengenai gadis itu memberikan informasinya padaku. Gadis itu namanya Helia Danastri. Dia yatim piatu. Dibesarkan di panti asuhan di pinggiran kota.”Viona pun dengan semangat membara memberi tahu Shanna mengenai Helia. Shanna bersyukur informasi yang didapatkan Viona hanyalah informasi umum. Dia tidak tahu apa yang akan ketiga temannya lakukan kalau mengetahui identitas Helia yang sebenarnya.“Apa aku harus memenuinya langsung ke rumahnya, ya?” celetuk Viona tiba-tiba.“Nggak perlu, Vi.” Shanna menjawab cepat.
Shanna dan Kayra adalah orang yang paling pendiam di acara makan siang itu. Shanna hanya membuka suara saat ada yang bertanya. Berbeda dengan Devara yang berbaur bersama teman-temannya. Senyum dan tawa renyahnya tidak pernah berhenti.Shanna merasa waktu berjalan begitu lambat. Acara berakhir saat Shanna berada di ujung rasa bosannya.Shanna menghela napas lega begitu mereka berada di dalam mobil.“Maaf kalau membuatmu tidak nyaman.” Devara menggenggam tangan Shanna. Penyesalan dan rasa bersalah terdengar jelas pada nada bicaranya.Shanna tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Tante. Mungkin memang aku aja yang masih belum bisa beradaptasi. Jadi tante nggak perlu mengkhawatirkanku.”“Kalau misalnya tante mengajakmu untuk berkumpul dengan mereka lagi, kamu mau ikut lagi, ‘kan?”Tubuh Shanna sedikit tegang. Ekspresinya pune berubah.“Tante hanya bercanda.” Devara tertawa pelan. “Tante tahu kamu tidak nyaman bersama mereka. Jadi tidak mungkin tante mengajakmu untuk bertemu mereka lagi.”Seketik
Pukul enam sore, Shanna dan Ardo meninggalkan rumah menuju kediaman Hattala. Tadi sore Devara meneleponnya, mengundangnya untuk makan malam bersama di kediaman Hattala.Sudah lama Shanna tidak berkujung ke kediaman Hattala, sehingga saat dirinya tiba, Shanna langsung disambut dengan antusias oleh keluarga Hattala, terutama oleh anak-anak Galang dan Devara. Sama seperti Galang yang menganggap Shanna seperti anaknya, Shanna pun menganggap kedua anak Galang seperti keponakannya sendiri.“Kenapa kamu tidak bilang kalau Damar ke luar kota?” Devara menatap Shanna dengan ekspresi kesal. “Seharusnya kamu bilang. Atau kalau tidak, kamu bisa bermain ke sini.”“Benar.” Galang ikut menyahuti. “Kalau tadi aku tidak menelepon Damar untuk mengundangnya makan malam, aku tidak akan tahu kalau dia ke luar kota. Apalagi Damar sudah hampir tiga minggu di luar kota.”Shanna tersenyum canggung. “Aku nggak mau membuat Tante dan om khawatir. Lagian ada Kak Ardo yang menemaniku di rumah.”Galang menghela napas
Beberapa hari berlalu, Helia rutin datang ke rumah Nadia. Sayangnya wanita itu tidak pernah bisa menemui Nadia.Tidak hanya Ardo yang memberi laporan seperti itu kepada Shanna. Ketiga sahabatnya pun mengatakan hal yang sama mengenai Helia yang selalu mendatangi rumah Nadia belakangan ini.“Aku benar-benar penasaran dengan tujuan wanita itu mendatangi rumah Nadia.” Viona meletakkan gelas minumnya. Rasa penasaran kentara pada nada bicaranya.“Sepertinya kita harus menyelidiki wanita itu juga,” usul Neila. “Aku yakin pasti ada sesuatu. Nggak mungkin wanita itu akan menemui Nadia tanpa memiliki maksud tertentu.”“Ya, kamu benar, Nei.” Viona setuju dengan usulan Neila. “Nanti aku akan meminta orang untuk menyelidikinya juga.”“Tapi aku benar-benar salut pada wanita ular itu,” ucap Neila kesal. “Sudah lama kita mengawasinya, tapi kita masih belum bisa menemukan kelemahannya.”“Kamu benar. Apa mungkin orang yang kita sewa itu nggak kompeten?” Viona berkata dengan sedikit ragu.“Nggak mungkin.
Pagi-pagi sekali Shannna sudah bersiap. Dia berdiri di depan cermin, memandangi penampilannya. Dadanya berdebar kencang. Hari ini adalah sidang skripsinya. Shanna yakin dia bisa menyelesaikan ujian dengan baik, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau dia gugup menghadapi sidang.“Halo, Ba?” Shanna menerima panggilan telepon dari Damar dengan antusias.“Halo, Sayang. Kamu sudah sarapan?”“Sudah, Ba. Ini, sekarang aku sudah siap-siap untuk berangkat ke kampus. Baba sudah sarapan?” jawab sekaligus tanya Shanna.Dua hari yang lalu, Damar mendadak izin pergi ke luar kota. Ada masalah pada perusahaan cabang yang mengharuskan Damar untuk datang langsung. Shanna tidak tahu kapan Damar akan kembali. Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengingatkannya untuk behati-hati dan menjaga diri dengan baik selama di rumah.“Belum. Sebentar lagi aku akan sarapan. Hati-hati di jalan, Sayang. Dan semoga sukses.”“Iya, Ba. Baba jaga kesehatan. Nanti aku telepon lagi kalau sudah selesai sidang.”“Ya.”Setela
Shanna benar-benar bahagia. Akhirnya dia memiliki senjata mematikan untuk membalas Nadia. Dia benar-benar tidak menyangka Nadia memiliki rahasia kelam. Rahasia yang tidak diketahui oleh satu orang pun. Termasuk orang tuanya.Shanna tidak bisa menahan senyum lebarnya saat membayangkan bagaimana reaksi publik saat mengetahuinya. Shanna tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Nadia kalau semua rahasia kelamnya terekspos. Dia yakin Nadia tidak akan berani menampakkan diri untuk selamanya. Membayangkannya saja Shanna sudah sangat bahagia dan tidak sabar menanti semua itu terjadi.“Baba!” seru Shanna saat mengingat sesuatu, bergegas dia meninggalkan kamar dan menuju dapur.“Oh, kamu datang. Aku baru saja mau memanggilmu untuk sarapan,” ucap Damar seraya meletakkan masakan terakhirnya di meja makan.“Hm!”Shanna menuju meja makan. tatapannya tidak lepas dari wajah Damar.“Ada apa?” tanya Damar karena Shanna yang terus menatapnya.“Ba, apa baba sudah membaca berkas itu?”“Ya, tentu.” Damar
Damar membuka mulutnya, tetapi kemudian tersenyum kecil ketika mendengar perut Shanna berbunyi. Lumayan keras hingga semua orang di sana dapat mendengarnya.Shanna menunduk malu sembari merutuk dalam hati. Bisa-bisanya perutnya berbunyi begitu keras di hadapan banyak orang. Namun, dia juga tidak bisa mengendalikan perutnya yang memang lapar akibat aktivitas mereka tadi siang.“Lebih baik kita makan dulu, setelah itu kamu bisa membaca itu nanti,” ucap Damar agar semua perhatian orang beralih dari Shanna.Shanna menurut meski penasaran dengan isi amplop itu.“Ba, apa baba yang menghapus semua videoku yang beredar di internet?” tanya Shanna di sela-sela makannya.“Ya. Aku tidak mungkin tidak melakukan apa-apa saat ada skandal mengenai dirimu.” Damar menatap Shanna. “Tidak perlu membahasnya lagi. Lebih baik sekarang makan yang banyak.” Damar mendekatkan diri kepada Shanna dan berbisik. “Supaya kamu memiliki tenaga untuk kita bermain lagi nanti malam.”Shanna refleks menginjang kaki Damar.
Kedatangan kedua sahabatnya membuat Shanna melupakan skandalnya.Sesuai janjinya, Deva datang ke rumah Shanna tepat pukul sepuluh pagi. Pria itu pun langsung menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang Viona dan Neila ajukan kepada Shanna. Dan Shanna pun kembali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.“Wanita itu memang harus dibuat jera, biar nggak membuat onar seenak jidatnya aja,” komentar Deva. Pemuda itu menatap Shanna lekat-lekat. “Lebih baik untuk sekarang kamu jangan bermain internet dan media sosial.”Shanna mengangguk. “Ya.”Deva tinggal selama beberpa lama sebelum akhirnya pamit pulang. Itu karena banyak pekerjaan yang masih harus dikerjakannya. Begitu pula dengan Viona dan Neila. Mereka berdua pun pulang setelah makan siang bersama.Tepat setelah Viona dan Neila meninggalkan rumah, Devara menelepon Shanna dan menanyakan kondisi Shanna saat ini.“Aku baik-baik aja, Tante. Tante nggak perlu khawatir.” Shanna berusaha menenangkan Devara yang terdengar khawatir.Terdengar De