Sekar mengerjap saat menyadari arah motor Gilang. Hari itu ke dua dia survei kontrakan. Sekarang lokasinya berbeda dengan tempo hari. Kalau tempo hari di area padat penduduk, hari ini di kompleks perumahan. “Yakin, Mas?” tanya Sekar saat melihat rumah perumahan yang lumayan bagus.“Kita lihat dulu,” tukas Gilang.Keduanya turun dari motor kala menemukan rumah yang dituju. Rumah itu terlihat kosong. “Berapa sewanya?” tanya Gilang saat selesai survei ke dalam. Sekar pun juga senang. Ada dua kamar tidur. Ada dapur dan dua kamar mandi. Bahkan ada kamar kecil yang bisa digunakan sebagai gudang atau kamar pembantu di belakang kalau mau. Tidak terlalu besar, tapi cukup buat berdua. “Tiga puluh enam juta untuk setahun,” ujar Bu Halimah, pemilik rumah yang tinggal beberapa rumah dari situ. Mata Sekar langsung melotot. Otaknya menghitung. "Jadi, sebulan tiga juta? Mahal sekali!" Padahal jarak ke kantor juga lumayan. Kelebihannya, berada di lingkungan yang asri. Ada masjid juga dekat dari
“Jauh banget, Mas,” ujar Sekar saat dia turun dari motor. Pant*tnya sudah terasa panas karena terlalu lama di boncengan.. Sebenarnya hanya sekitar 12 kilometer. Sama dengan dari rumahnya di kampung ke SMAnya. Tapi, Jakarta selalu macet di jam pulang kerja. Meskipun dengan motor, tetap saja melelahkan. Apalagi biasanya mereka hanya mengendarai motor lima sampai sepuluh menit, dari kantor hingga kosan. Ini sudah empat hari berturut-turut hunting kontrakan. “Sabar...” sahut Gilang yang terdengar menyebalkan bagi Sekar. Dia pikir aku nggak tahu sabar apa, masih saja diingatkan tentang sabar, gerutu Sekar dalam hati. “Tapi, kalau jadi ke sini, jauh banget lho, Mas. Bayangin kalau tiap hari,” gerutu Sekar lagi. Kini, Sekar baru menyadari beratnya hidup di ibukota setelah berumah tangga. Jaman masih sendiri, mudah saja tinggal cari kosan belakang kantor. Sekarang? Mana mungkin kos. Apalagi sebentar lagi tentu harus menyiapkan kelahiran anaknya. Mungkin lain cerita jika dia ibu rumah tan
Tak perlu menunggu lama, akhirnya hari keenam, mereka sudah pindahan. Barang hanya sedikit, karena memang tidak punya perabot. Hanya baju dan beberapa perlengkapan pribadi lainnya, karena selama ini mereka menggunakan fasilitas kosan. “Hanya ini, Mas?” tanya Pak Hanif yang datang saat Gilang hendak mengambil kunci. Rumah Pak Hanif, tepat di sebelah rumah yang hendak mereka kontrak. Gilang dan Sekar baru sadar, kalau mereka butuh banyak perabot, terutama kasur untuk tidur, karpet untuk alas duduk, dan lemari untuk merapikan baju. Belum termasuk peralatan bersih-bersih. Untungnya, mereka pindahan masih pagi, jadi hari lumayan masih panjang. “Dik, ternyata banyak juga, ya pengeluaran,” ujar Gilang saat menyadari membeli barang-barang pokok saja sudah keluar kocek yang cukup menguras. Akhirnya merasakan juga memulai sebuah rumah tangga. Tidak apa mencicil beli barang sedikit demi sedikit. Bahkan, terpaksa harus membeli yang kualitasnya biasa, tak seperti impiannya. Yang penting fungs
“Memasak bersama suami itu bisa meningkatkan kemesraan dengan pasangan,” ujar Sekar sambil menaikturunkan alisnya. Lelaki modern sudah tidak lagi seperti lelaki jaman dulu yang tidak tahu pekerjaan rumah. Apalagi tuntutan sang istri harus bekerja, membuat suami istri harus mau berbagi peran. Salah satunya dengan urusan dapur. “Laki-laki itu kalau pinter masak, makin seksi lho, Mas,” rayu Sekar. Raut mukanya dibuat seserius mungkin. “Halah, itu hanya imajinasimu aja. Kebanyakan nonton master chef!” Telunjuk Gilang sudah menoyor jidat Sekar, hingga kepala gadis itu ikut mendongak mengikuti dorongan telunjuk Gilang. Benar juga. Pasti Gilang pernah mengintip dirinya melihat youtube tentang lomba masak-memasak itu. Padahal, Sekar hanya mempelajari teknik memasak agar terlihat ahli. Tak masalah belum praktek, yang penting agak sok-sokan tahu gimana cara memotong bahan makanan atau mengaduk masakan agar terlihat profesional. “Kamu list dulu kebutuhannya, biar kita nggak bolak-balik
Usai makan siang di luar, Gilang langsung mengajak Sekar ke pasar tradisional. Ternyata ke pasar lebih mendebarkan dibanding tes wawancara pekerjaan, batin Sekar. Tentu saja dia tidak berpengalaman belanja sayur sendirian. Memori Sekar mencoba mengingat-ingat saat dia mengantar ibunya berbelanja, sambil sesekali menirukannya, layaknya sudah biasa belanja. Untungnya, Gilang menunggu di motor. Kalau ikut-ikutan, pasti dia akan malu. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Gayanya pura-pura percaya diri, meski hati kebat-kebit. “Mbak, cari apa, Mbak!” sapa penjual di ujung gang pasar. Sekar hanya tersenyum. Mata elangnya melirik ke sana kemari. Padahal sudah dia buat daftar yang hendak dibeli. Namun percaya diri untuk berhenti di salah satu kios pedagang belum juga muncul. Sudah satu putaran dia kelilingi pasar itu. Di putaran kedua, dia harus mendapat sesuatu. “Mbak, tanya saja mbak!” sapa penjual lainnya. Sepertinya dia memperhatikan Sekar yang masih bertangan kosong, padahal s
Sesampai di rumah, aku segera merapikan belanjaan. Sementara, Mas Gilang duduk di depan sambil menunggu tukang kulkas, kompor gas dan rak piring yang kami beli tadi di toko dekat pasar. Jangan tanya, berapa rupiah kami habiskan, sepertinya setara dengan gaji sebulan kami berdua. Pantas saja biasanya pengantin baru dapat hadiah perabot rumah tangga. Ternyata, itu sangat berharga bagi kami-kami seperti ini. Menyesal juga aku menikah buru-buru. Selain nggak bisa mengundang teman kantor dan teman sekolah, tentu saja aku pun tak mendapatkan kado, eh!Beruntung, tak lama kulkas sudah datang. Perlu beberapa menit dicolokkan hingga stabil, sebelum aku memasukkan barang belanjaan. Dapur kami ini masih belum seperti dapur kekinian di tivi-tivi atau iklan rumah minimalis. Tidak ada kitchen set. Tapi beruntung ada wastafel untuk sekedar mencuci bahan makanan. Tadinya aku hendak meniru cara-cara emak-emak yang sering diposting di sosmed, yang memilah dan menyiangi sayuran, lalu menempatkan pa
Pulang dari makan malam, kami langsung bersih-bersih. Rumah terasa lapang karena memang belum punya barang. Dibandingkan di kosan Mas Gilang yang sempit dan penuh barang. Kami hanya duduk-duduk di karpet. Mau mainan hape juga malas, tak ada wifi. Kuota internet terbatas. Lagi pula, apa sih yang dapat dilihat dari HP dengan paketan super irit seperti punyaku? Aku terdiam di rumah sendirian. Mas Gilang usai isya ke masjid belum juga pulang. Entah lah, kemana saja dia. Aku sudah tak tahan untuk menunggunya. Badanku terasa lelah setelah seharian belanja, bahkan sampai tiga kali bolak-balik ke pasar untuk belanja. Belum lagi prahara masak yang gagal. Kasur lipat yang kami beli, segera kubuka. Kami membeli kasur ukuran 1 meter. Single tapi lebih besar sedikit. “Untuk sementara,” ujar Mas Gilang. Rencananya kasur itu hanya untuk cadangan kalau bakal ada tamu menginap. Sementara untuk kami nanti, tunggu gajian agar bisa membeli tempat tidurnya sekalian. Setelah memasang sprei, sarung ba
Aku hanya menjerang air dan membuat teh panas di pagi hari, saat ada tukang datang. Tak punya cemilan atau apapun. Baik sekali dia, masih jam enam sudah datang.“Ada kerjaan, Mas di desa sebelah,” ujarnya pada Mas Gilang, karena kami belum persiapan apa-apa saat dia datang. Rupanya dia datang sembari berangkat kerja. Tak lama, setelah naik ke atap rumah, memperbaiki posisi genting yang bergeser, dia pun turun. “Nanti kalau masih bocor, telepon saja!” ujarnya sambil diajak oleh Mas Gilang menikmati teh panas. "Maaf, ya, Pak. Hanya ada teh panas." "Nggak papa, Mbak. Sudah biasa sarapan di rumah, sebelum berangkat. Makasih banyak," ujar Pak tukang itu dengan ramah. Tak lupa, Mas Gilang memberinya lembaran uang biru sebagai ongkos jasa saat dia berpamitan tak lama setelah sempat ngobrol ngalor ngidul dengan Mas Gilang. Suamiku itu, kalau tidak distop, ada saja yang diomongkan. Sayangnya, hanya dengan orang lain. Tidak denganku. Beruntung, sinar matahari mulai menunjukkan jati diriny