Kututup wajahku dengan selimut saat Mas Raffi menyalakan lampu yang tadi ia matikan. Sungguh, aku malu jika Mas Raffi melihat wajah ini. Kejadian tadi membuatku kehilangan muka di depan suamiku sendiri. Aku akan malu seumur hidup, dan tidak akan pernah melupakan kejadian tadi. Entah karena gugup atau takut, tiba-tiba saja aku kelepasan dan kentut di depan suamiku. Sungguh memalukan!"Kenapa ditutup wajahnya?" tanya Mas Raffi. Ia kembali naik ke ranjang, dan membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Raffi, memilih diam di balik selimut yang membungkus tubuh polosku. "Aku tahu, kalau kamu belum tidur, Ra. Kalau masih bersembunyi, aku matikan lagi lampunya," ujar Mas Raffi lagi, mengancamku.Perlahan, aku menurunkan selimut dari wajahku. Melihat ke arah Mas Raffi seraya menggigit bibir. Kedua sudut bibir Mas Raffi terangkat dengan mata yang tak lepas dariku.'Ah, aku malu!'Tangan Mas Raffi melingkar di pinggangku, menarik dengan lembut tubuhku, hingga kit
Mama dan Papa saling pandang lagi. Kemudian, Papa tertawa terbahak saat menyadari sesuatu. Mama pun ikut tertawa saat tangannya menyentuh kepala putranya yang masih basah."Tahu, kan sekarang, gimana rasanya menikah itu? Sudah merasakan, dia Mah." Papa kembali terbahak."Pantesan senyum-senyum terus dari tadi. Udah gitu pake peluk-peluk Mama segala, lagi. Eh, tahunya beneran lagi seneng. Selamat, sudah bongkaran!" kelakar Mama membuat kedua telinga Mas Raffi semakin memerah.Pria itu melepaskan pelukannya dari Mama, kemudian menarik kursi dan duduk di depan Papa. Aku semakin enggan untuk menghampiri mereka. Wajahku sudah memanas duluan akibat ulah Mas Raffi. "Sekarang, Raya di mana? Kamu gak bikin dia jadi susah jalan, kan?" tanya Mama langsung membuatku menutup wajah.'Mas Raffi memang benar-benar, ya. Bikin malu aja.' Aku menggerutu dalam hati.Untuk menenangkan hatiku yang terus berlari maraton, aku memilih tidak dulu menghampiri mereka di ruang makan. Dan akhirnya memilih duduk d
"Hai, Jeng Rianti, apa kabar? Aduh, makin segar saja!" "Kabar baik, sangat baik malah."Kedua wanita itu tertawa dengan saling berpelukan. Saat ini, aku sudah berada di acara arisan Mama. Ini tidak seperti arisan ibu-ibu PKK yang ada di kampungku. Semuanya terlihat mewah dengan hidangan seperti di restoran. Orang-orang yang datang pun rata-rata orang berada. Terlihat dari penampilan mereka yang semuanya serba mahal.Mama membawaku duduk di sofa yang sudah ada beberapa orang tengah berkumpul dan berbincang. Mama bercipika-cipiki dengan teman-teman seusianya. "Jeng, ini menantunya yang dari kampung itu, ya?" tanya seorang wanita yang baru saja menghampiri kami.Aku menundukkan kepala semakin dalam, setelah tersenyum ramah pada wanita yang seperti toko emas berjalan itu. 'Menantu dari kampung? Ya, memang itu kenyataannya.'"Namanya Raihana Kamaya. Dia menantu dari syurga. Kalian tidak lihat, dia begitu cantik? Kesayanganku, ini!" ujar Mama seraya tertawa. Teman-teman Mama yang lain p
Aku menajamkan penglihatanku saat seorang wanita keluar dari mobil suamiku. Kemudian ia masuk ke dalam minimarket seorang diri. Lalu, di mana suamiku?"Lihat apa, Ra?" tanya Mama saat mobil yang kami tumpangi mulai melaju kembali."Eh, itu, Ma. Tadi Raya seperti melihat mobil Mas Raffi di depan minimarket.""Mana?" ujar Mama melihat ke belakang."Gak ada, ah. Mungkin kamu salah lihat, Ra," ucap Mama lagi."Iya, mungkin aku salah lihat."Aku tidak ingin berdebat dengan Mama cuma karena mobil yang mungkin bukan mobil milik suamiku. Namun, perasaanku mengatakan, yang tadi aku lihat memang mobil Mas Raffi. Dari warna serta platnya pun sama percis dengan kendaraan suamiku.Sampai di rumah Mbak Syahida, kami disambut hangat oleh tuan rumah. Benar saja, jika Syakila tengah sakit. Remaja itu tengah berbaring di sofa ruang tengah."Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit, Mbak?" tanyaku kepada Mbak Syahida.Ah, aku lupa jika Mbak Ida tidak bisa bicara. Aku mengalihkan pandangan pada televisi yang s
Awan putih mulai menghitam, langit berwarna biru, mulai menggelap. Angin sejuk mulai terasa membelai wajahku. Kuhirup udara dalam-dalam hingga akhirnya satu demi satu tetes air mulai jatuh membasahi bumi. Kuulurkan tangan membiarkan air hujan jatuh mengenai telapak tanganku. Rasa dingin dan geli membuatku ingin tertawa sendiri. Ponselku berdering, aku yang sedang berdiri di balkon seraya bermain air hujan, harus mengakhirinya untuk bisa masuk ke kamar dan melihat siapa seseorang yang menghubungiku."Hai!" seruku riang.Wajah di balik layar pun sama senangnya denganku."Apa kabar, Ra?" "Baik. Baik banget. Eh, Ibu? Kamu di rumah Ibu, Mi?" Mimi mengarahkan kamera ponselnya pada wanita yang tengah duduk di kursi seraya melipat pakaian. Ia tersenyum padaku, seraya melambaikan tangan.Rasa rindu tiba-tiba hadir. Ingin sekali aku lari ke sana untuk menikmati belaian tangan Ibu, di pucuk kepalaku. "Iya, sengaja maen ke sini. Soalnya kan ... makanan yang kamu kirim masih banyak," ujar Mim
"Ada yang mau diceritakan tentang hari ini?" Aku yang tengah mengunyah kacang almond, mengalihkan pandanganku pada Mas Raffi.Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada sesuatu di jalan tadi. Tentang mobil Mas Raffi, yang terparkir di depan minimarket.'Apa aku tanyakan saja, ya?'"Hey, kok malah diam saja. Kenapa? Aku lagi punya banyak waktu, nih. Ayo, cerita. Katanya tadi pergi sama Mama, gimana seru, gak?" Mas Raffi mencolek pipiku."Kecilin dulu volume tivinya," ujarku.Mas Raffi mengambil remot, ia mengecilkan volume tivi menjadi seperti berbisik. Aku membenarkan letak dudukku semakin tegak."Mas.""Hm.""Jangan ada rahasia di antara kita, ya?""Heem." Mas Raffi mengangguk seraya bergumam. Ia yang tadi duduk di karpet, kini duduk di sofa, di sampingku. Aku meneguk ludah sebelum memulai mengeluarkan kata. Jujur, aku gugup dan ragu untuk bertanya. Aku takut jika Mas Raffi tidak mau mengaku, dan akhirnya aku jadi memiliki sifat curiga kepada suami. "Yang pertama, tadi aku bertemu den
"Hahaha!!" Suara tawa terdengar nyaring sampai ke lantai dua kamarku. Aku sangat yakin jika saat ini mereka yang ada di bawah, pasti tengah menertawakanku dan Mas Raffi, yang tadi terciduk oleh Citra. Sedangkan tersangka utama, dia tengah santai bermain lego yang waktu itu tertinggal di sini, seraya menonton kartun."Citra, tadi Citra sama siapa naik ke atas?" tanyaku pada gadis kecil yang duduk bersandar pada sofa di kamarku."Sama Bibi, diantelin sampai tengah."Aku membulatkan mulut berkata 'oh'."Citra ke sini sama siapa?" "Sama Papi.""Sama Mami juga?" Citra menggelengkan kepala, membuat rambut yang dikuncir kuda berayun ke sana kemari."Emang Maminya Citra ke mana?" tanyaku lagi."Bobok di lumah Nenek."Seketika pikiranku melayang pada Mbak Cindy. Kalau Citra bilang Nenek, itu artinya orang tua Mbak Cindy. Apa mungkin, Mbak Cindy dipulangkan ke rumah orang tuanya oleh Mas Raffa? Sungguh kasihan sekali, jika itu memang terjadi. "Citra, kita turun, yuk?" Mama masuk seraya me
"Bibi! Aku mau berangkat, tapi Pak Tarmin 'kan tidak ada, pergi sama Mama. Terus, aku naik apa?" Bi Marni yang tengah membawa rantang dari dapur, melihatku yang berjalan menuruni tangga."Lah, iya, ya? Naik taxi online, mau?" tawarnya."Gimana caranya, Bi?" "Biar Bibi yang pesankan. Mbak Raya, tunggu dulu, duduk manis saja, nanti juga datang," ujar Bi Marni mengeluarkan ponselnya. Ia memberikan rantang berisikan makan siang untuk Mas Raffi, padaku. Kemudian mengotak-atik ponsel dengan serius."Lama gak, Bi?" "Tidak akan. Yuk, Bibi antar ke depan."Aku pun mengangguk, dan berjalan beriringan menuju pintu utama. Aku dan Bi Marni duduk di teras rumah seraya mengobrol ringan. Tidak berapa lama, taxi yang aku pesan sudah datang. Aku pun berpamitan pada Bibi dan mobil pun langsung berangkat."Bismillah, semoga tidak nyasar," ucapku dengan pelan.Menunggu sampai ke tempat tujuan, aku mengeluarkan ponsel untuk sekedar melihat dunia maya. Tidak ada yang menarik, semuanya biasa saja. Mungkin