Janji Masa Kecil.
“Selamat malam everybadihhh.”
Artha melangkahkan kakinya memasuki rumah menenteng kantong plastik berisi buah-buahan yang ia bawa dari Berastagi. Tas ransel masih berada dipunggungnya.
“Selamat malam juga, boru,” balas bapaknya yang sedang duduk di sofa ruang tamu di temani seorang pria.
“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya mamak yang baru saja datang membawa dua gelas kopi.
“Yahhh begitulahh,” desah Artha. “Aku ke kamar dulu Pak, Mak. Ini ada sedikit oleh-oleh,” katanya lagi. Ia meletakkan kantong plastik di meja kemudian melangkah masuk ke kamar.
Sepuluh menit kemudian ia ikut be
Langit Malam. Malam semakin larut, rembulan telah menampakkan diri meski malu-malu, namun tidak mengurangi keindahan malam. Langit sore yang menurunkan hujan kini berganti dengan munculnya bintang yang berkilauan. Dari kejauhan sesekali terdengar suara hewan yang saling bersahutan seolah sedang menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur. "Apa yang kamu lihat di atas sana?" Suara bariton mengagetkannya. Tidak tahukah dia bahwa pemandangan di atas sana sungguh indah? "Saya tahu pemandangan di atas sana sangat indah." Ucapnya lagi. Jika ia tahu mengapa ia bertanya? Meski diabaikan ia mendongakkan kepala mengikuti arah padang lawan bicaranya, untuk melihat langit malam berhias bintang. Sekali lagi Artha menghiraukan perkataan pria itu.
Toko Buku. Sesuai dengan permintaan bang Gomgom, mereka bertemu langsung di toko buku. Alasan yang diberikan bang Gomgom ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan. Akhirnya Artha memilih naik G*jek ke toko buku, tidak terlalu jauh dari rumah hanya sekitar 15 menit naik kereta (sepeda motor). Setelah sampai di pintu masuk, ia melirik pergelangan tangannya, masih ada sekitar sepuluh menit lagi dari waktu yang ditentukan. Setelah menimang-nimang beberapa saat ia mengambil pilihan untuk masuk ke toko buku. Ruangan berpendingin itu seketika menyejukkan kulitnya terasa dingin, berbeda dengan suhu ketika ia berada di luar yang suhunya cukup panas. Ia menatap rak-rak yang penuh dengan buku tertata sangat rapi. Ada sebagian buku yang tidak mengikuti barisannya mungkin saja salah satu pengujung sa
Bab 27 Mulai posesif. Mereka bertiga kini berada disebuah kafe yang berada dekat toko buku. Setelah terjadi insiden tarik menarik di kasir toko buku, Artha memutuskan untuk membicarakan kesalah pahaman ini. “Jelaskan!” ucap Agha dengan nada tegas. Tatapan matanya menatap lurus ke arah bang Gomgom. Ia cemburu melihat kedekatan Artha dengan pria dihadapannya. Apalagi saat pria itu mengelus rambut Artha dengan mesra. “Sabar, sayang. Kenalin ini Bang Gogo. Kami sudah berteman sejak kecil dan kami itu satu kampung. Jadi, aku sudah anggap dia seperti abang sendiri. Seperti Bang Rajata,” ucap Artha menenangkan dengan mengelus lengan Agha. Berharap emosi Agha mereda. Bang Gomgom mengulurkan tangannya, “Gomgom,” uc
Di Rumah ArthaAgha duduk di sebuah sofa yang berada di ruang tamu kediaman orangtua Artha. Ia menelusuri setiap sudut ruangan. Pandangannya jatuh pada dua buah foto pernikahan. Ia mengamati dengan seksama foto pernikahan itu, pria yang sama dengan dua wanita yang berbeda. Jika hanya sekilas mengamati wajah wanita dalam foto maka mereka akan terlihat sama. Yang membedakan adalah warna baju kebaya yang digunakan. Jika pada foto pertama wanita itu menggunakan baju kebaya berwarna cream maka wanita di foto kedua menggunakan baju kebaya berwarna merah jambu.Ia beralih menatap sebuah foto keluarga, pada foto itu Artha dan seorang wanita tengah duduk di sebuah kursi. Ia yakin wanita itu adalah mamaknya Artha. Kemudian di belakang Artha berdiri seorang pria menggunakan setelan jas dengan kemeja berwarna biru senada dengan warna baju kebaya
Wajah seram.Ucok tertawa lebar saat mendengar cerita Agha. Tawanya menggema memenuhi seluruh ruangan. Karena ruangan itu tidak kedap suara pastilah sebagian karyawan yang kebetulan melintas mendengar tawa Ucok. Ia merasa senang mendapat hiburan di pagi ini. Jarang-jarang ia bisa melihat ekspresi wajah masam bosnya.“Jadi hanya karena lo lihat foto wajah seram ayah Artha, sepagi ini lo jadi bermuka masam gitu?” ejek Ucok.Agha tak membalas ejekan Ucok. Malah semakin kesal mendengar Ucok menertawainya dan bahkan secara terang-terangan Ucok mengejek.“Puas lo?!” sarkasnya.”Lo mau ngapain ke ruangan gue?”“Nih, banyak berkas yang musti lo tanda tangani,” jawab Ucok me
Bab 30Alamat rumah.Setelah makan siang di salah satu restoran yang terkenal di kota Medan, Agha mengajak Artha untuk kembali ke kantornya. Ada rasa enggan saat Agha mengajak kembali ke kantor, ia takut menjadi bahan gosip karyawan Agha.Saat mereka akan menuju ke restoran saja para karyawan Agha dengan terang-terangan menatap Artha dengan tatapan tidak suka. Apalagi akan kembali ke kantor mungkin saja Artha akan diterkam karena tatapan mata para karyawan Agha seperti singa lapar yang siap memangsa kapanpun.“Kamu kenapa, Cian kok gelisah gitu?” tanya Agha saat mereka berdua sedang berada di mobil.Hanya mereka berdua, Ucok yang diajak Agha untuk makan siang harus batal ikut karena kawan lamanya ingin bertemu dan mengajaknya makan siang juga. Jadilah mereka makan siang berdua. Itu hanya alasan Ucok saja sebenarnya. Ia sengaja menolak karena tak mau jadi anti nyamuk diantara orang yang sed
Bab 31Cemas“Kamu tau alamat ini, Cian?” tanya Agha sekali lagi.“Tau,” jawab Artha singkat. 'Tau banget malah,’ lanjut Artha dalam hati.“Sudah berulang kali aku pergi ke alamat ini, tapi aku tak menemukan rumahnya dan rumah itu selalu sepi. Aku ragu untuk menekan bel. Karena pada alamat dalam kertas itu tertulis ‘patokannya ada pohon mangga di depan rumah’. Rumah yang aku datangi tak ada pohon mangga dan aku mencari di sekitar perumahan itu, tak ada juga pohon mangga di depan setiap rumah yang ada malah pohon jambu air,” jelas Agha.Dua minggu semenjak ia menginjakkan kaki di kota Medan, Agh
Bab 32Makan Mie AyamArtha memilih memesan mie ayam sedangkan adiknya Rendra memesan mie ayam dan bakso.“Apa nanti itu bisa kau habiskan semua, Dek?” tanyanya pada Rendra.Mereka duduk di bangku plastik menghadap ke jalan raya. Lalu lintas lumayan padat karena sudah jam pulang kantor. Sepuluh menit kemudian pesanan mereka datang. Pelayan meletakkan pesanan mereka di atas meja.“Ma kasih, Kak,” ucap Rendra dengan ramah dan pelayan tersebut pun balas mengucapkan terima kasih dan tersenyum tak kalah ramah.“Awas kalau gak habis ya!” ancam Artha setelah pelayan