Bab 31
Cemas
“Kamu tau alamat ini, Cian?” tanya Agha sekali lagi.
“Tau,” jawab Artha singkat. 'Tau banget malah,’ lanjut Artha dalam hati.
“Sudah berulang kali aku pergi ke alamat ini, tapi aku tak menemukan rumahnya dan rumah itu selalu sepi. Aku ragu untuk menekan bel. Karena pada alamat dalam kertas itu tertulis ‘patokannya ada pohon mangga di depan rumah’. Rumah yang aku datangi tak ada pohon mangga dan aku mencari di sekitar perumahan itu, tak ada juga pohon mangga di depan setiap rumah yang ada malah pohon jambu air,” jelas Agha.
Dua minggu semenjak ia menginjakkan kaki di kota Medan, Agh
Bab 32Makan Mie AyamArtha memilih memesan mie ayam sedangkan adiknya Rendra memesan mie ayam dan bakso.“Apa nanti itu bisa kau habiskan semua, Dek?” tanyanya pada Rendra.Mereka duduk di bangku plastik menghadap ke jalan raya. Lalu lintas lumayan padat karena sudah jam pulang kantor. Sepuluh menit kemudian pesanan mereka datang. Pelayan meletakkan pesanan mereka di atas meja.“Ma kasih, Kak,” ucap Rendra dengan ramah dan pelayan tersebut pun balas mengucapkan terima kasih dan tersenyum tak kalah ramah.“Awas kalau gak habis ya!” ancam Artha setelah pelayan
Bab 33Bukan Teroris.“Siapa itu, Kak?” tanya Rendra. Ia menunjuk orang yang duduk dihadapan Artha dengan gerakan satu alis dinaikkan dan bibir sedikit dimonyongkan.Mereka berempat duduk dibangku taman dengan meja persegi. Duduk saling berhadapan, Rendra berhadapan dengan Ucok dan Artha berhadapan dengan Agha. Masih ada rasa cemas dari raut wajah Artha, tetapi hanya tampak sedikit saja tidak menonjol seperti saat ia keluar dari ruangan Agha.“Tanya aja langsung ama orangnya. Gak usah dimonyongin itu bibir. Ntar aku cipok biar tahu rasa,” ucap Ucok sembari memajukan badan hendak mencium Rendra.Bibir Rendra yang tebal dan berwarna merah jambu menggoda untuk dicium apalagi saat ia sedikit memonyongkan bibir. Aduhh gemess. Ditambah lagi dengan alis tebal dan hidung mancungnya. Yakinlah para gadis akan selalu menempel dan enggan untuk menjauh.“Ihh najis, aku masih normal ya! Gak mau sama pedang, mana enak main pedang-pedangan,” kata Rendra dengan sewot badan ia mundurkan menghindari waj
Bab 34Pariban.“Apa tujuan kamu untuk menemui ba… maksudku tulang itu?” tanya Artha.Hampir saja Artha keceplosan untuk mengatakan ‘bapak’ dan secepatnya ia bisa meralat. Ia tak mau percaya begitu saja dengan pria yang ada dihadapannya. Ia harus memiliki bukti yang akurat. Bisa saja selama ia berada di Medan telah mempelajari budaya batak dan sudah merencanakan semuanya dengan matang. Pura-pura bilang marga Simbolon dan bilang atas suruhan kakeknya untuk mencari alamat rumah dan alasan itu adalah rumah tulang. Dan mungkin yang ia sebut ‘kakek’ itu adalah bos besarnya. Secara bang Rajata adalah polisi, mungkin pria ini adalah salah satu penjahat yang ingin balas dendam pada Rajata.
Bab 35Ternyata Ada yang melihat.“Dari mana saja kalian?” kata Pak Torang sedikit membetak. Anak-anaknya baru pulang jam 8 malam tanpa memberi tahu akan pergi kemana.Mendengar suara bentakan bapak, Artha mengurungkan langkah menuju kamar memilih menumpukan badan ke sofa tepat berada dibelakang punggung mamak. Rendra langsung memilih duduk di sofa dekat ibu menselonjorkan kaki panjangnya dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa.“Habis jalan-jalan sore pah, eh,,, tau-taunya udah sampai jalan malam,” jawab Rendra dengan sedikit bercanda tak merasa takut dengan bentakan bapak. Ia juga berusaha memeluk ibunya dan mendapat penolakan.
Bab 36Nonton.Artha dan Rendra memilih menaiki tangga darurat untuk naik ke gedung lantai 5. Karena saat mereka hendak ingin naik lift banyak pengunjung mall yang sedang antri daripada mereka menunggu lama lebih baik naik tangga. Hitung-hitung sebagai olahraga agar tulang kaki makin kuat.Mereka ingin menonton film ‘Transformers' di bioskop X*I yang berada di sebuah mall di kota Medan. Dan bioskop itu berada di lantai 5.“Kenapa nafas klen ngos-ngosan, abies makan bakso level 10?” tanya Ucok.Artha dan Rendra kini telah berada di lantai 5, Artha membungkukkan badan dengan kedua kaki ia rapatkan dan satu tangan berada di perut, p
Bab 37 Calon Mertua. “Apa yang ingin Cian omongin sama aku?” tanya Artha pada Agha. Mereka kini sedang berada di sebuah kafe yang dekat dengan rumah Artha. Duduk saling berhadapan. Agha hanya ingin berduaan saja dengan Artha menatap wajahnya dengan nyaman tanpa ada orang lain yang memperhatikan. Agha menatap wajah Artha dengan intens dibawah cahaya lampu yang remang-remang. “Tidak ada.” “Eh?” Artha terkejut mendengar jawaban Agha, ia mendongakkan kepala menatap pria di hadapannya. Bukankah dia mengajak Artha ke sini untuk membicarakan suatu hal. Namun, kenapa saat ini dia berkata tidak ada, seolah ingin mempermainkan. Tanpa sadar Agha menggaruk kepala yang tak gatal dengan tangan kanannya. “Apa saat ke bioskop tadi Cian tidak keramas atau kepalamu banyak kutu atau ketombe?” tanya Artha dengan polos, heran melihat Agha yang menggaruk kepala. Seseorang yang menggaruk kepala biasa lupa keramas, banyak kutu, atau ketombean itu menurut Artha. Dari penampilan yang Artha lihat, ram
Bab 38 Pembicaraan Bapak dan Anak. Artha membuka pintu rumah dengan perlahan, sebelumnya ia telah berpesan pada Rendra agar tidak mengunci pintu rumah. Kriek. Terdengar suara pintu terbuka, ia masuk dengan mengendap-endap agar suara langkahnya tidak terdengar. Baru saja beberapa langkah ia harus berhenti, suara bariton mengejutkannya. “Darimana saja kamu?!” ucap seseorang itu setengah membentak. Jika tidak memikirkan orang rumah yang sedang tidur mungkin suaranya akan naik 1 oktaf. “Eh,,, Bapak belum tidur?” tanya Artha lirih mirip bisikan. Ia sedang ketakutan tak biasanya bapak meninggikan suara padanya. “Duduk!” titah Pak Torang. Artha menunduk menuruti perintah bapaknya dan duduk sesuai dengan yang diperintahkan padanya. Ia tetap menunduk tak berani menatap wajah sang bapak. “Siapa pria itu?” Artha masih menutup mulut tak berani untuk menyahut dan tetap tepekur menatap lantai. “Siapa pria yang mengantarmu tadi?” tanya Pak Torang sekali lagi. “Te-man, Pak,” jawab Artha t
Bab 39Emosi Makmak.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Boru?” tanya Pak Torang ketika melihat putrinya hanya diam dan menatap air mancur yang ada di dalam kolam cukup lama.Mereka masih berada di halaman belakang rumah menikmati senja yang sebentar lagi akan tertutup langit malam.“Tidak ada,” jawab Artha berbohong. Ia sedang memikirkan bagaimana caranya ia menyampaikan hubungannya dengan Agha. Ia takut bapaknya tidak setuju jika ia menikah dengan Agha.“Ya sudah, jika kau tidak ingin bercerita, mungkin lain kali kau akan menceritakannya. Bapak selalu siap dan selalu ada untuk mendengarkan setiap celotehanmu, seperti saat kau masih kecil yang tak pernah berhenti bertanya,” ucap Pak Torang.Ia mengingat betapa cerewetnya putri kecilnya dimana saat Artha mulai belajar berbicara selalu saja ada pertanyaan yang keluar dari mulut mungilnya. ‘ini apa? Ini namanya apa? Itu warna apa? Kenapa burung bisa terbang?’ dan banyak lagi pertanyaan yang membuat ia kewalahan untuk menjawab.Sementara Raj