"Tolong lakukan apa saja demi menyelamatkan Mama!" Noya memohon kepada Ricky dengan pasrah, air mata Noya sudah mengalir deras ke pipinya, tangannya tremor hebat. Bahkan saat ini, Noya sudah tidak sanggup berdiri. Dia terlalu shock dengan kejadian bertubi-tubi yang menghampirinya dalam dua hari terakhir.
Noya menggigit ibu jarinya dengan gugup. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Rasanya dunia Noya runtuh seketika. Noya kembali menangis, bahkan lebih sesak daripada sebelumnya, ia meredam sekuat tenaga suara tangisnya agar tidak menggangu pasien lain di Rumah Sakit, tapi rasanya sungguh menyakitkan.
"Pakai ini!" Ricky meletakkan sepasang sandal dibawah kaki Noya. Noya meringis, ternyata Noya yang selama ini kuat dan selalu menjaga penampilan bisa datang ke Rumah Sakit tanpa menggunakan sandal.
"Teman-temanku sedang mengurusi Mama kamu diruang operasi. Sebaiknya kamu banyak berdoa semoga Mama baik-baik saja." Ricky mencoba menghibur Noya.
"Bagaimana aku akan baik-baik saja tanpa Papa dan Mama."
"Mama akan baik-baik saja, aku yakin. Dan Papamu, semoga ada jalan keluar untuk ini. Aku akan melakukan yang terbaik agar orangtua kamu bisa kembali."
"Kamu bisa apa?" Noya mencibir dengan pelan. Suara itu bahkan hampir tidak bisa didengar oleh dirinya sendiri.
"Bisa ikut aku ke ruanganku?" Ricky berdiri, ia menunggu Noya untuk mengikutinya melakukan hal yang sama. Dan ternyata Noya patuh, ia berdiri sesuai instruksi Ricky, lalu mengikutinya kearah langkah Ricky berjalan.
"Silahkan!" Ricky mempersilahkan Noya untuk masuk.
"Duduk!" Ricky menyuruh Noya untuk duduk di sofa yang berada di sana. Noya pun hanya pasrah menuruti semua perintah Ricky, ia terlalu malas untuk memperdebatkan apapun saat ini.
Tidak lama Ricky kembali, ia ikut duduk di sofa disamping Noya.
"Angkat kakimu!" Ricky mengetuk-ngetuk pahanya agar Noya meletakkan kakinya diatas sana. Noya menoleh pada Ricky, ia merasa ragu melakukannya.
"Aku tidak akan menjahilimu, aku janji. Letakkan saja kakimu disini."
Noya menghela napas. Mengelus air matanya dengan punggung tangannya. Lalu mengangkat kakinya untuk diletakan diatas paha Ricky.
Ricky tersenyum. Kemudian perlahan membuka kotak P3K yang sudah dia bawa. Ricky mulai mengompres telapak kaki Noya yang bengkak, lalu mengoleskan salep di tiap goresan ditelapak kaki Noya. Kemudian terakhir membungkusnya.
"Pakai kaus kaki ini untuk menutupi perban di kakimu, aku tahu kamu pasti berlari kesana kemari sebelum beranjak kesini kan?" Tebak Ricky. Ricky mengangkat kaki Noya perlahan, dan meluruskannya diatas Sofa.
"Dan ini?" Sehelai jaket tersodor ke arahnya. Noya meraih jaket itu.
"Pakaian yang kamu kenakan cukup pendek. Pakai ini untuk menghangatkannya. Tangan kamu sangat dingin." Ucap Ricky lagi. Sebelum dia beranjak dari sana meninggalkan Noya sendirian.
Tentu saja hanya ini yang Noya kenakan. Memangnya barang apa yang bisa dia bawa saat rumahnya saja disita?
*****
"Bagaimana keadaannya?" Ricky mendatangi Duan yang baru saja keluar dari ruang operasi.
"Kondisinya membaik. Hampir saja gagal jantung, tapi berhasil diselamatkan. Begitu sadar, bisa segera dipindahkan ke bangsal." Jawab Duan dengan senyuman di wajahnya.
"Syukurlah." Ricky terlihat menghela napas begitu berat.
"Memangnya dia siapa?" Tanya Duan lagi.
"Kamu ingat Noya?"
"Noya siapa?"
"Noya yang pernah menangis karena surat cinta konyol yang kamu buat untuk menjahilinya saat MOS dulu. Perempuan yang baru saja kamu operasi adalah Mamanya.
"Astaga. Noya Reyana? Gadis cantik yang berwajah jutek itu?" Duan mengibaskan tangan didepan wajah mencoba menggambarkan Noya. Ia cukup terkejut mendengar penjelasan Ricky padanya.
"Iya benar, itu dia." Jawab Ricky terkekeh.
"Lalu, dimana dia sekarang?" Tanya Duan lagi. Dia cukup penasaran dengan gambaran gadis yang dulu juga pernah dijahilinya.
"Di ruanganku. Aku menyuruhnya beristirahat!"
"Seorang Ricky berbaik hati membagikan ruangannya dengan perempuan? Aku tidak salah dengar? Boleh aku melihatnya?" Duan hendak beranjak menuju ruangan Ricky namun tentu saja Ricky segera menahannya.
"Biarkan saja dia, tidak ada yang spesial darinya. Aku akan mengurus biaya administrasinya. Ayo!" Ricky menarik pundak Duan agar menjauh dari ruangan miliknya.
*****
"Kasusnya cukup rumit, Rick. Tapi Papa akan berusaha menyelesaikannya. Bagaimanapun, Yusal adalah orang yang berjasa untuk Papa. Bagaimana dengan Amanda?" Papar Albert pada sambungan telepon.
"Operasinya berhasil. Namun masih belum sadar, kita sedang menunggu. Setelah sadar akan langsung dipindahkan ke bangsal." Jawab Ricky.
"Noya bagaimana?" Tanya Albert lagi.
"Noya, dia sedang beristirahat di ruanganku." Ricky terlihat melirik kearah pintu. Albert terlihat mengangguk disebrang telepon.
"Jaga dia baik-baik, Rick. Bahkan jika Noya bersikap tidak ramah kepadamu, terima saja. Semua juga atas kesalahan kamu."
"Aku tahu Pa. Aku sadar dengan apa yang aku lakukan. Kalau begitu aku matikan teleponnya."
Ricky kembali meletakkan benda pipih itu di saku jas nya.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Noya membuka matanya perlahan, kepalanya cukup berat dan matanya hampir sulit di buka akibat terlalu banyak menangis. Dia hendak mengangkat tangannya, namun rasanya terasa sangat berat.
Noya menoleh, ternyata Ricky tertidur dibawah sana dengan kepala yang menindih tangan Noya.
"Rick. Ricky!" Panggilnya. Ricky bergerak. Ia menutup matanya lalu menguap sekali.
"Pukul berapa sekarang?" Tanya Noya.
"Astaga. Aku tertidur disini." Ricky terkejut mendapati dirinya yang tidur dengan tangan menggenggam tangan Noya.
"Maaf, aku tidak sengaja." Ucapnya. Namun, Noya tidak menanggapi ucapan Ricky.
"Mama bagaimana?"
Ricky berdehem. "Mama kamu baik-baik saja, aku sudah memindahkannya ke bangsal perawatan. Dan, aku tidak bermaksud untuk merendahkan harga diri kamu, tapi kamu tidak perlu khawatir dengan biaya rumah sakit, semuanya sudah diurus." Noya memperhatikan Ricky dengan seksama namun, masih dengan tanpa ekspresi.
"Dan satu lagi. Masalah Papa kamu, juga sudah sedang diurus oleh pengacara perusahan. Kamu tidak perlu merasa sungkan, karena perusahaan itu juga tempat kamu bekerja." Ricky tersenyum mengakhiri kalimatnya.
Noya masih memperhatikan wajah Ricky, sebetulnya apa yang diucapkan sahabatnya Kellston, tentang Ricky adalah benar. Pria itu memang tampan, tapi Noya sama sekali tidak menyukainya. Rasa bencinya kepada Ricky terlalu menguasai hati Noya, dan itu mutlak.
Tapi, imbalan apa yang bisa Noya lakukan atas semua yang sudah Ricky lakukan, apalagi saat ini dirinya tidak memiliki apapun. Tabungannya habis, rumahnya disita, Papanya dipenjara, dan Mama nya terbaring di bangsal Rumah Sakit.
"Aku keliling dulu!"
"Tunggu!" Tahan Noya. Ricky kembali menatap Noya.
"Apakah pernyataan cinta kamu kemarin masih berlaku?"
"Hah?" Kening Ricky berkerut.
"Perjodohan ini aku terima." Lanjut Noya.
"Kamu serius, Noy? aku tidak salah dengar?" Tanya Ricky dengan netra fokus menatap Noya di depannya. Gadis itu membalas tatap Ricky. Namun detik selanjutnya, dia menundukkan matanya. Noya melipat bibir ke dalam, dengan napas yang masih tersengal, Noya pun mengangguk."Iya." Jawabnya pelan.Kerut kebingungan tergambar di wajah tampan Ricky. Tentu saja dia merasa gundah. Kenapa pula Noya malah menerima lamarannya disaat yang tidak tepat."Kenapa?" Jawabnya lagi. Ricky ingin meyakinkan diri bahwa ucapan Noya bukanlah mimpi di pagi buta. "Bukankah ini yang kamu mau?" Tantang Noya santai."Aku tidak ingin memaksa kamu untuk hal ini, lagipula jangan sampai penerimaan kamu karena rasa sungkan atau terimakasih. Aku mencintai kamu dengan tulus. Jadi, aku juga ingin kamu menerima aku tulus, bukan paksaan." Noya terkekeh lucu mendengar penuturan Ricky. "Kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kamu hanya karena kamu tulus, Rick." Ricky sudah menduga, Noya tidak mungkin dengan suka r
"Perjanjian pernikahan? Untuk apa?" Ricky menuntut jawaban. "Untuk pernikahan kita, aku perlu membatasi beberapa hal. Maaf, sejujurnya aku belum siap dengan semua ini. Hanya saja-""Hanya saja kamu merasa perlu balas budi? Iya?" Noya mendongak, berusaha mensejajari fokus mata suami didepannya."Aku tidak akan berbohong. Itu memang sesuai dengan apa yang kamu ucapkan." "Tapi untuk apa, Noy? Aku tidak masalah dengan pernikahan ini. Atau dengan apapun niat kamu menerima pernikahan ini. Terlepas dari itu semua aku akan membahagiakan kamu. Aku janji. Aku bisa melakukan itu!" Ricky hendak meraih tangan Noya. Namun gadis itu segera menariknya."Aku yang merasa tidak bisa, Rick. Aku perlu waktu.""Selama apapun waktu yang kamu butukan aku akan sabar, Noya. Aku hanya perlu kamu disisiku. Itu saja sudah cukup." "Aku tahu. Tapi aku perlu meluruskan sesuatu. Jadi lebih baik kamu baca dulu isi perjanjian itu, lalu kita bicarakan. Aku akan keluar dulu." Noya beranjak dari kamar Ricky, meninggal
"Loh, kalian mau kemana?" Albert yang sudah rapi dengan setelannya berkomentar dengan segera begitu melihat anak dan menantunya datang bersamaan mengenakan setelan yang tidak kalah rapi darinya."Iya nih, pengantin baru bukannya pergi honeymoon malah rapi kayak mau kondangan begitu. Mau kemana sih sayang?" Rosa yang juga baru saja duduk di kursi meja makan ikut mengomentari pasangan pengantin yang baru saja datang di meja makan."Aku sih maunya gitu Ma. Tapi menantu Mama yang paling cantik ini keukeuh mau masuk kerja. Katanya nggak enak kalau kelamaan ninggalin kerjaan, padahal bosnya sendiri ngasih cuti banyak." Ricky memonyongkan bibirnya menyindir Noya yang baru saja mendaratkan bokongnya di tempat duduk disebelahnya.Noya yang sedang menjadi bahan pembicaraan keluarga Albert hanya tersenyum mendapati semua tatap tertuju kearahnya."Cutinya 'kan bisa diambil lain waktu. Lagipula kamu bilang ada operasi hari ini. Iya kan?" Noya meminta persetujuan suaminya dengan memberikan senyum te
“Kejutan!”Seorang gadis berpostur tinggi dan berwajah oriental berjalan perlahan setelah berhasil membuat sepasang mata coklat milik pria tampan di depannya nyaris tidak berkedip.“Seana, ngapain kamu disini?”“Ah, nggak asik banget deh Rick!” Rajuknya. “Masa cuma kalimat itu yang kamu tanyakan sama aku, padahal Rumah Sakit ini adalah tempat pertama yang aku datangi. Bahkan orang tuaku saja belum tahu kalau aku sudah sampai di Indonesia. I miss you so much, Rick,” Gadis itu membisikan kalimat terakhirnya tepat di telinga Ricky.“Wow, wow, apa nih?” Ricky menghindar, membuat gadis itu sedikit terkejut.“Why? Kamu nggak senang aku pulang?” tanyanya lagi. “Setidaknya berikan aku pelukan selamat datang, lah.” Gadis itu masih merajuk. Setidaknya pria itu bisa memberikan respon yang lebih baik padanya mengingat dia orang pertama yang dikunjunginya.“Aku bukannya nggak senang kamu pulang, hanya saja ini sangat tiba-tiba. Bukannya kamu bilang kamu akan pulang dalam beberapa minggu. Aku hanya
“Tekanan darahnya turun, Dok. Pasien juga belum sadar. Sudah diberikan pertolongan pertama oleh dokter jaga di igd, dan menunggu tindak lanjut dari dokter. Untungnya, tidak ada masalah serius. Tapi, anehnya tadi pasien sempat panggil-panggil nama Dokter Ricky.” Mahesa, perawat IGD menjelaskan kondisi pasien yang datang terakhir kali.“Nama saya?” ulang Ricky heran.“Mungkin dokter Ricky kenal sama pasien itu.”“Dimana pasiennya?”“Disini Dok, silahkan!”Ricky beranjak menuju tempat tidur pasien yang ditunjuk Mahesa, sembari menggulung lengan kemeja salur yang hari ini dia kenakan. “Seana?” Pekiknya pelan begitu tirai pembatas tersibak dan menemukan perempuan yang tadi siang baru mendatanginya terbaring disana. Ricky tidak habis pikir, bisa-bisanya Seana yang beberapa jam lalu cerah ceria ketika menemuinya, kini malah kembali sebagai seorang pasien. Dengan telaten Ricky memeriksa ipad yang menampilkan catatan kondisi mengenai Seana. Lalu mengangguk-angguk seperti telah menemukan sesuat
"Arrgh ..." Teriak Noya. Dia segera berjalan ringkih menuju kaca kemudi, Noya ingin memastikan apakah ada seseorang didalam mobil yang kap depannya dia muntahi. Jika ada, Noya akan meminta maaf dan berjanji untuk membersihkan muntahan itu setelah ia membeli tissue. Atau, mungkin akan lebih baik jika tidak ada siapapun di dalam sana. Maka Noya akan segera pergi dan berlalu saja. Dia mulai menempelkan tangannya di depan kaca, lalu mengintip kedalam mobil berwarna merah itu. Dan Yap, semua sesuai dugaannya, didalam sana tidak ada siapapun. Maka, ini adalah kesempatannya untuk segera pergi dari sana. Entahlah itu mobil milik siapa, yang jelas dia akan sangat meminta maaf atas keteledorannya hari ini.Noya duduk di atas kursi didepan meja dokter, namun dokter itu belum memunculkan batang hidungnya disana, padahal rasa sesak di dadanya sudah sangat mengganggu. Matanya mengeliling mengamati seisi ruangan. Noya bergumam sendiri, ruangan yang aneh untuk ukuran seorang seorang dokter. "Nah ba
"Sialan ..." Umpat Noya. Dia segera memasuki mobilnya dengan emosi yang naik turun. Bisa-bisanya Ricky malah membuat lelucon menyebalkan saat melakukan pemeriksaan padanya. Sesaat setelah Ricky menyuruh Noya menanggalkan seluruh pakaiannya. Dengan tangan yang gemetar Noya berusaha melepaskan celana tailored trousers miliknya. Namun, sialnya dokter brengsek itu malah tertawa terbahak-bahak, membuat Noya yang sedang kikuk menjadi semakin terkejut. "Pakai lagi celanamu, Noya! aku hanya bercanda. Jangan sampai lelaki lain melihat kaki jenjangmu itu." Ucap Ricky sambil berlalu ke mejanya.Ternyata hal itu hanyalah sebuah lelucon untuk mengerjai Noya, sekali lagi Noya merasa sangat dilecehkan. Untung saja saat itu dia menggunakan short pant. Jika tidak, matilah dia karena malu "Arrghh. Sialan!" Murka Noya. Noya bahkan memukul stir kemudinya dengan sangat keras. Membuatnya sedikit meringis. "Tuhan, jangan biarkan aku bertemu lagi dengan pria brengsek sepertinya." Setelah itu dia melajuk
Noya mengenakan terusan selutut berwarna cream dengan renda kecil berwarna hijau tosca dibagian leher. Mamanya mengusulkan kepada Noya agar memakai pakaian ini untuk pertemuannya hari ini, Noya tentu saja tidak bisa menolak, walaupun gaun ini terlalu terbuka bagi Noya dan sangat jauh sekali dari seleranya.Noya menutup ponselnya setelah baru saja melakukan panggilan telepon dengan Direkturnya untuk meminta izin cuti. Noya kembali menatap cermin, ia tidak ingin terlihat terlalu mempesona, lagipula Noya pikir tamu yang akan datang hari ini bukanlah seorang perdana menteri yang harus disambut dengan menggunakan setelan resmi dan penampilan menarik. Bukankah Noya juga memang akan menolak perjodohannya hari ini.Noya memoleskan lipglos tanpa warna ke bibirnya, sedikit menghilangkan kegugupan yang Noya pun tidak tahu karena apa. Setelah dirasa cukup sopan, Noya menuruni tangga kamarnya dan melihat kedua orang tuanya sudah berada di ujung tangga menunggu kedatangan Noya.Mereka tersenyum mel
“Tekanan darahnya turun, Dok. Pasien juga belum sadar. Sudah diberikan pertolongan pertama oleh dokter jaga di igd, dan menunggu tindak lanjut dari dokter. Untungnya, tidak ada masalah serius. Tapi, anehnya tadi pasien sempat panggil-panggil nama Dokter Ricky.” Mahesa, perawat IGD menjelaskan kondisi pasien yang datang terakhir kali.“Nama saya?” ulang Ricky heran.“Mungkin dokter Ricky kenal sama pasien itu.”“Dimana pasiennya?”“Disini Dok, silahkan!”Ricky beranjak menuju tempat tidur pasien yang ditunjuk Mahesa, sembari menggulung lengan kemeja salur yang hari ini dia kenakan. “Seana?” Pekiknya pelan begitu tirai pembatas tersibak dan menemukan perempuan yang tadi siang baru mendatanginya terbaring disana. Ricky tidak habis pikir, bisa-bisanya Seana yang beberapa jam lalu cerah ceria ketika menemuinya, kini malah kembali sebagai seorang pasien. Dengan telaten Ricky memeriksa ipad yang menampilkan catatan kondisi mengenai Seana. Lalu mengangguk-angguk seperti telah menemukan sesuat
“Kejutan!”Seorang gadis berpostur tinggi dan berwajah oriental berjalan perlahan setelah berhasil membuat sepasang mata coklat milik pria tampan di depannya nyaris tidak berkedip.“Seana, ngapain kamu disini?”“Ah, nggak asik banget deh Rick!” Rajuknya. “Masa cuma kalimat itu yang kamu tanyakan sama aku, padahal Rumah Sakit ini adalah tempat pertama yang aku datangi. Bahkan orang tuaku saja belum tahu kalau aku sudah sampai di Indonesia. I miss you so much, Rick,” Gadis itu membisikan kalimat terakhirnya tepat di telinga Ricky.“Wow, wow, apa nih?” Ricky menghindar, membuat gadis itu sedikit terkejut.“Why? Kamu nggak senang aku pulang?” tanyanya lagi. “Setidaknya berikan aku pelukan selamat datang, lah.” Gadis itu masih merajuk. Setidaknya pria itu bisa memberikan respon yang lebih baik padanya mengingat dia orang pertama yang dikunjunginya.“Aku bukannya nggak senang kamu pulang, hanya saja ini sangat tiba-tiba. Bukannya kamu bilang kamu akan pulang dalam beberapa minggu. Aku hanya
"Loh, kalian mau kemana?" Albert yang sudah rapi dengan setelannya berkomentar dengan segera begitu melihat anak dan menantunya datang bersamaan mengenakan setelan yang tidak kalah rapi darinya."Iya nih, pengantin baru bukannya pergi honeymoon malah rapi kayak mau kondangan begitu. Mau kemana sih sayang?" Rosa yang juga baru saja duduk di kursi meja makan ikut mengomentari pasangan pengantin yang baru saja datang di meja makan."Aku sih maunya gitu Ma. Tapi menantu Mama yang paling cantik ini keukeuh mau masuk kerja. Katanya nggak enak kalau kelamaan ninggalin kerjaan, padahal bosnya sendiri ngasih cuti banyak." Ricky memonyongkan bibirnya menyindir Noya yang baru saja mendaratkan bokongnya di tempat duduk disebelahnya.Noya yang sedang menjadi bahan pembicaraan keluarga Albert hanya tersenyum mendapati semua tatap tertuju kearahnya."Cutinya 'kan bisa diambil lain waktu. Lagipula kamu bilang ada operasi hari ini. Iya kan?" Noya meminta persetujuan suaminya dengan memberikan senyum te
"Perjanjian pernikahan? Untuk apa?" Ricky menuntut jawaban. "Untuk pernikahan kita, aku perlu membatasi beberapa hal. Maaf, sejujurnya aku belum siap dengan semua ini. Hanya saja-""Hanya saja kamu merasa perlu balas budi? Iya?" Noya mendongak, berusaha mensejajari fokus mata suami didepannya."Aku tidak akan berbohong. Itu memang sesuai dengan apa yang kamu ucapkan." "Tapi untuk apa, Noy? Aku tidak masalah dengan pernikahan ini. Atau dengan apapun niat kamu menerima pernikahan ini. Terlepas dari itu semua aku akan membahagiakan kamu. Aku janji. Aku bisa melakukan itu!" Ricky hendak meraih tangan Noya. Namun gadis itu segera menariknya."Aku yang merasa tidak bisa, Rick. Aku perlu waktu.""Selama apapun waktu yang kamu butukan aku akan sabar, Noya. Aku hanya perlu kamu disisiku. Itu saja sudah cukup." "Aku tahu. Tapi aku perlu meluruskan sesuatu. Jadi lebih baik kamu baca dulu isi perjanjian itu, lalu kita bicarakan. Aku akan keluar dulu." Noya beranjak dari kamar Ricky, meninggal
"Kamu serius, Noy? aku tidak salah dengar?" Tanya Ricky dengan netra fokus menatap Noya di depannya. Gadis itu membalas tatap Ricky. Namun detik selanjutnya, dia menundukkan matanya. Noya melipat bibir ke dalam, dengan napas yang masih tersengal, Noya pun mengangguk."Iya." Jawabnya pelan.Kerut kebingungan tergambar di wajah tampan Ricky. Tentu saja dia merasa gundah. Kenapa pula Noya malah menerima lamarannya disaat yang tidak tepat."Kenapa?" Jawabnya lagi. Ricky ingin meyakinkan diri bahwa ucapan Noya bukanlah mimpi di pagi buta. "Bukankah ini yang kamu mau?" Tantang Noya santai."Aku tidak ingin memaksa kamu untuk hal ini, lagipula jangan sampai penerimaan kamu karena rasa sungkan atau terimakasih. Aku mencintai kamu dengan tulus. Jadi, aku juga ingin kamu menerima aku tulus, bukan paksaan." Noya terkekeh lucu mendengar penuturan Ricky. "Kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kamu hanya karena kamu tulus, Rick." Ricky sudah menduga, Noya tidak mungkin dengan suka r
"Tolong lakukan apa saja demi menyelamatkan Mama!" Noya memohon kepada Ricky dengan pasrah, air mata Noya sudah mengalir deras ke pipinya, tangannya tremor hebat. Bahkan saat ini, Noya sudah tidak sanggup berdiri. Dia terlalu shock dengan kejadian bertubi-tubi yang menghampirinya dalam dua hari terakhir.Noya menggigit ibu jarinya dengan gugup. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Rasanya dunia Noya runtuh seketika. Noya kembali menangis, bahkan lebih sesak daripada sebelumnya, ia meredam sekuat tenaga suara tangisnya agar tidak menggangu pasien lain di Rumah Sakit, tapi rasanya sungguh menyakitkan."Pakai ini!" Ricky meletakkan sepasang sandal dibawah kaki Noya. Noya meringis, ternyata Noya yang selama ini kuat dan selalu menjaga penampilan bisa datang ke Rumah Sakit tanpa menggunakan sandal. "Teman-temanku sedang mengurusi Mama kamu diruang operasi. Sebaiknya kamu banyak berdoa semoga Mama baik-baik saja." Ricky mencoba menghibur Noya."Bagaimana aku akan baik-baik saja tanpa Papa d
"Kamu sedang tidak bercanda kan Noya?" Kellston yang sedang berbicara di sebrang telepon membuat Noya menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Terdengar bahwa gadis blasteran Amerika betawi itu tengah menyantap makan siangnya. "Iya, Kells. Dia." jawab Noya malas."Dia Ricky Zayyandra yang waktu itu? Pria tampan yang selalu menggoda kamu?""Yang mana lagi Kell, dia satu-satunya pria yang aku benci semasa sekolah? Dia juga yang membuat aku tidak bisa berjalan karena hukuman konyolnya, belum lagi semua kejahilannya yang membuat aku di hukum habis-habisan oleh Pak Gilsky. Dan tolong, hilangkan kata tampan yang baru saja kamu ucapkan!" Papar Noya panjang lebar."Tapi, Noy. Kak Ricky memang tampan kan? semua orang disekolah mengakuinya." "Cih ..." Noya mendesis. "Kamu saja yang tidak bisa melihat dengan mata bersih, Kells." "Terus, bagaimana kelanjutannya?" Kellston kembali bertanya penasaran."Bagaimana apanya? Tentu saja aku tolak." "What Noya? Kamu menolak kak Ricky." "Kellston,
Noya mengenakan terusan selutut berwarna cream dengan renda kecil berwarna hijau tosca dibagian leher. Mamanya mengusulkan kepada Noya agar memakai pakaian ini untuk pertemuannya hari ini, Noya tentu saja tidak bisa menolak, walaupun gaun ini terlalu terbuka bagi Noya dan sangat jauh sekali dari seleranya.Noya menutup ponselnya setelah baru saja melakukan panggilan telepon dengan Direkturnya untuk meminta izin cuti. Noya kembali menatap cermin, ia tidak ingin terlihat terlalu mempesona, lagipula Noya pikir tamu yang akan datang hari ini bukanlah seorang perdana menteri yang harus disambut dengan menggunakan setelan resmi dan penampilan menarik. Bukankah Noya juga memang akan menolak perjodohannya hari ini.Noya memoleskan lipglos tanpa warna ke bibirnya, sedikit menghilangkan kegugupan yang Noya pun tidak tahu karena apa. Setelah dirasa cukup sopan, Noya menuruni tangga kamarnya dan melihat kedua orang tuanya sudah berada di ujung tangga menunggu kedatangan Noya.Mereka tersenyum mel
"Sialan ..." Umpat Noya. Dia segera memasuki mobilnya dengan emosi yang naik turun. Bisa-bisanya Ricky malah membuat lelucon menyebalkan saat melakukan pemeriksaan padanya. Sesaat setelah Ricky menyuruh Noya menanggalkan seluruh pakaiannya. Dengan tangan yang gemetar Noya berusaha melepaskan celana tailored trousers miliknya. Namun, sialnya dokter brengsek itu malah tertawa terbahak-bahak, membuat Noya yang sedang kikuk menjadi semakin terkejut. "Pakai lagi celanamu, Noya! aku hanya bercanda. Jangan sampai lelaki lain melihat kaki jenjangmu itu." Ucap Ricky sambil berlalu ke mejanya.Ternyata hal itu hanyalah sebuah lelucon untuk mengerjai Noya, sekali lagi Noya merasa sangat dilecehkan. Untung saja saat itu dia menggunakan short pant. Jika tidak, matilah dia karena malu "Arrghh. Sialan!" Murka Noya. Noya bahkan memukul stir kemudinya dengan sangat keras. Membuatnya sedikit meringis. "Tuhan, jangan biarkan aku bertemu lagi dengan pria brengsek sepertinya." Setelah itu dia melajuk