Noya mengenakan terusan selutut berwarna cream dengan renda kecil berwarna hijau tosca dibagian leher. Mamanya mengusulkan kepada Noya agar memakai pakaian ini untuk pertemuannya hari ini, Noya tentu saja tidak bisa menolak, walaupun gaun ini terlalu terbuka bagi Noya dan sangat jauh sekali dari seleranya.
Noya menutup ponselnya setelah baru saja melakukan panggilan telepon dengan Direkturnya untuk meminta izin cuti. Noya kembali menatap cermin, ia tidak ingin terlihat terlalu mempesona, lagipula Noya pikir tamu yang akan datang hari ini bukanlah seorang perdana menteri yang harus disambut dengan menggunakan setelan resmi dan penampilan menarik. Bukankah Noya juga memang akan menolak perjodohannya hari ini.
Noya memoleskan lipglos tanpa warna ke bibirnya, sedikit menghilangkan kegugupan yang Noya pun tidak tahu karena apa. Setelah dirasa cukup sopan, Noya menuruni tangga kamarnya dan melihat kedua orang tuanya sudah berada di ujung tangga menunggu kedatangan Noya.
Mereka tersenyum melihat anak gadisnya turun, dan Mama sedikit menepuk-nepuk dadanya sambil menoleh kearah Papa.
“Wah kamu cantik sekali sayang.” Puji Mama ketika Noya sudah sampai diujung tangga dan menghampiri mereka.
Noya hanya tersenyum menanggapinya, Noya tidak tahu sebenarnya yang dilakukannya ini benar atau tidak. Tapi semoga saja orang tuanya bisa sedikit senang dengan semua ini.
Mereka bertiga berjalan menuju ruang depan, ternyata disana sudah ada dua orang pria dan seorang perempuan duduk berdampingan, Noya menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba menghilangkan rasa gugup yang sedari tadi menderanya.
Pasangan suami istri itu berdiri ketika menyadari kedatangan Noya dan orangtuanya kearah sana, namun seorang pria yang duduk membelakangi Noya masih belum mengalihkan tatapannya kearah mereka.
“Silahkan duduk keluarga Albert, kami senang kalian bisa memenuhi pertemuan ini tepat waktu.” Terdengar Papa mengucapkan kata-katanya, dan Mama menjabat tangan perempuan didepannya.
"Tunggu dulu. Aku merasa tidak asing dengan nama Albert, apakah Albert ini dalah Albert yang aku kenal?" batin Noya menentukan interupsi.
Mereka semua duduk dikursi megah yang dibentuk mengeliling. Tapi tetap Noya belum berani mengangkat kepalanya untuk melihat siapa lelaki yang duduk berdampingan itu.
"Kenapa kamu menyembunyikan wajahmu Noya?" Ucap Mama sembari mengangkat wajah Noya. Noya seolah sengaja melakukannya.
Noya membuang pandangannya ke sembarang arah, lalu melirik papa yang sedang tersenyum kearahnya.
“Apakah ini anakmu, Manda?” perempuan itu melemparkan pertanyaan pada Mama, namun matanya memandang Noya dengan ramah, senyumnya mengembang disana.
“Benar Ros, dia anakku Noya." Jawab Mama pelan.
"Benar kata suamiku, Noya ini perempuan yang sangat cantik. Suamiku juga bilang bahwa Noya adalah karyawan yang sangat rajin. Kamu bekerja di perusahaan kami kan?" Papar perempuan yang Mama panggil dengan nama Ros.
Perkataan itu dengan cepat membuat Noya menoleh. Ia merasa aneh dengan ucapannya.
"Loh, Pak Albert. Kenapa disini?" Tanya Noya bingung.
"Hahaha." Direkturnya itu malah tertawa dengan keras.
"Kamu baru menyadari saya disini?" Tanyanya.
"Apa ini maksudnya?" Tanya Yusal pada Noya. Noya hendak bersuara namun urung karena Albert segera memotongnya.
"Biar aku yang jelaskan, Noya. Jadi Yus, anak kamu ini adalah Karyawan di perusahan kami. Noya ini merupakan salah satu karyawan yang paling aku hormati, karena rasa tanggung jawabnya pada perusahaan yang luar biasa." Albert menjelaskan panjang lebar.
"Benarkah? itu kabar yang bagus sekali. Padahal kemarin Noya berkata dia akan menolak perjodohan ini."
"Wah sayang sekali, padahal anak saya sangat menantikan pertemuan ini." ujar Tante Rosa lagi.
"Dia tumbuh dengan sangat baik Yus. Dan Noya cantik sekali sekarang. Sepertinya kalau dulu anak kami tahu kalau Noya akan secantik ini, aku yakin dia tidak akan berani berbuat nakal pada Noya.”
“Hahaha, tidak apa. Lagi pula aku tahu walaupun anakmu sering nakal kepada anakku, tapi dia selalu menjaganya, kau ingat saat Noya sakit? Anakmu yang pertama kali datang ke rumah untuk menjenguk Noya, dan dia membawakan seikat bunga yang dia ambil dari depan rumahku juga. Hahaha.” Papa ikut berkomentar. Namun, semua percakapan itu masih belum Noya fahami.
“Oh iya, aku ingat kejadian itu, sayangnya anakmu tidak mau bertemu dengan anakku. Kasihan sekali dia. Hahaha.” Mereka semua tertawa bersama, sepertinya hanya Noya yang tidak mengerti dengan obrolan mereka.
Mama mengelus punggung Noya halus dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Bukankah kemarin Noya juga sudah bertemu dengan anak kami di Rumah Sakit?" Papar Albert sekali lagi.
"Hei, kenapa kamu terus menutup mukamu dengan masker seperti itu? ini kan bukan di Rumah Sakit. Sudah lepaskan saja?” Albert memperingatkan anaknya.
“Tidak usah malu seperti itu, Noya juga tidak akan memarahimu sekarang. Benarkan?” Tante Rosa memandang Noya ramah, dan sepertinya dia menunggu jawaban Noya atas pernyataannya kepada anaknya itu. Noya mengangguk mengiyakan.
“Sudah, lepaskan!” Pak Albert kembali berkomentar. Laki-laki itu mengangkat tangannya, lalu membuka masker medis yang sedari tadi dikenakannya, dan memunculkan sebentuk wajah yang sepertinya tidak asing lagi dalam ingatan Noya.
Pria itu menatap Noya tanpa ragu, dan Noya tentu saja membalasnya dengan tatapan tajam. Noya tidak menyangka bahwa orang yang sangat dibencinya akan duduk disana. Ricky Zayyandra, orang yang baru kemarin Noya doakan agar tidak bertemu lagi dengannya kini malah duduk didepannya. Noya benar-benar tidak percaya. Ricky adalah anak Pak Albert dan tante Rosa, teman dari orang tuanya.
"Kamu!" tunjuk Noya dengan mata berkilat. Namun, Ricky hanya tersenyum kearah Noya.
"Dia laki-laki yang akan dijodohkan denganku?" Tebak Noya lagi.
Noya mendecih, "Aku tidak mau, Pa." Ucap Noya.
Hal itu membuat seluruh pasang mata disana menatap kecewa padanya.
"Kenapa sayang?" Tanya Amanda.
"Mama tahu, selama SMA aku selalu bilang ingin pindah sekolah, semua itu gara-gara pria ini!" Noya berkata lebih keras.
"Lalu sekarang Mama dan Papa akan menjodohkan aku dengannya? Maaf Pa, Ma, aku tidak sudi."
"NOYA!" Yusal berkata lebih keras daripada Noya. "Tarik lagi kata-kata kamu! Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk berkata yang tidak sopan."
Noya mengalihkan tatap pada Albert, "Maaf Pak, saya sungguh sangat menghormati Bapak sebagai atasan saya. Tapi jika harus mengorbankan masa dengan saya demi menikah dengan anak Bapak, saya tidak bisa." Tegas Noya lagi, kali ini air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya.
Noya melirik Ricky sekilas, terlihat rahang wajahnya kini menegang. Noya tidak perduli, dia benar-benar sangat tidak ingin menyerahkan hidupnya untuk seseorang yang pernah menghancurkan masa lalunya.
"Tapi, Noya ..." Pak Albert siap mengeluarkan argumennya. Namun, tangan Ricky terangkat menahan ucapan Papanya.
"Saya sangat mencintai kamu, Noya."
"Kamu sedang tidak bercanda kan Noya?" Kellston yang sedang berbicara di sebrang telepon membuat Noya menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Terdengar bahwa gadis blasteran Amerika betawi itu tengah menyantap makan siangnya. "Iya, Kells. Dia." jawab Noya malas."Dia Ricky Zayyandra yang waktu itu? Pria tampan yang selalu menggoda kamu?""Yang mana lagi Kell, dia satu-satunya pria yang aku benci semasa sekolah? Dia juga yang membuat aku tidak bisa berjalan karena hukuman konyolnya, belum lagi semua kejahilannya yang membuat aku di hukum habis-habisan oleh Pak Gilsky. Dan tolong, hilangkan kata tampan yang baru saja kamu ucapkan!" Papar Noya panjang lebar."Tapi, Noy. Kak Ricky memang tampan kan? semua orang disekolah mengakuinya." "Cih ..." Noya mendesis. "Kamu saja yang tidak bisa melihat dengan mata bersih, Kells." "Terus, bagaimana kelanjutannya?" Kellston kembali bertanya penasaran."Bagaimana apanya? Tentu saja aku tolak." "What Noya? Kamu menolak kak Ricky." "Kellston,
"Tolong lakukan apa saja demi menyelamatkan Mama!" Noya memohon kepada Ricky dengan pasrah, air mata Noya sudah mengalir deras ke pipinya, tangannya tremor hebat. Bahkan saat ini, Noya sudah tidak sanggup berdiri. Dia terlalu shock dengan kejadian bertubi-tubi yang menghampirinya dalam dua hari terakhir.Noya menggigit ibu jarinya dengan gugup. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Rasanya dunia Noya runtuh seketika. Noya kembali menangis, bahkan lebih sesak daripada sebelumnya, ia meredam sekuat tenaga suara tangisnya agar tidak menggangu pasien lain di Rumah Sakit, tapi rasanya sungguh menyakitkan."Pakai ini!" Ricky meletakkan sepasang sandal dibawah kaki Noya. Noya meringis, ternyata Noya yang selama ini kuat dan selalu menjaga penampilan bisa datang ke Rumah Sakit tanpa menggunakan sandal. "Teman-temanku sedang mengurusi Mama kamu diruang operasi. Sebaiknya kamu banyak berdoa semoga Mama baik-baik saja." Ricky mencoba menghibur Noya."Bagaimana aku akan baik-baik saja tanpa Papa d
"Kamu serius, Noy? aku tidak salah dengar?" Tanya Ricky dengan netra fokus menatap Noya di depannya. Gadis itu membalas tatap Ricky. Namun detik selanjutnya, dia menundukkan matanya. Noya melipat bibir ke dalam, dengan napas yang masih tersengal, Noya pun mengangguk."Iya." Jawabnya pelan.Kerut kebingungan tergambar di wajah tampan Ricky. Tentu saja dia merasa gundah. Kenapa pula Noya malah menerima lamarannya disaat yang tidak tepat."Kenapa?" Jawabnya lagi. Ricky ingin meyakinkan diri bahwa ucapan Noya bukanlah mimpi di pagi buta. "Bukankah ini yang kamu mau?" Tantang Noya santai."Aku tidak ingin memaksa kamu untuk hal ini, lagipula jangan sampai penerimaan kamu karena rasa sungkan atau terimakasih. Aku mencintai kamu dengan tulus. Jadi, aku juga ingin kamu menerima aku tulus, bukan paksaan." Noya terkekeh lucu mendengar penuturan Ricky. "Kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kamu hanya karena kamu tulus, Rick." Ricky sudah menduga, Noya tidak mungkin dengan suka r
"Perjanjian pernikahan? Untuk apa?" Ricky menuntut jawaban. "Untuk pernikahan kita, aku perlu membatasi beberapa hal. Maaf, sejujurnya aku belum siap dengan semua ini. Hanya saja-""Hanya saja kamu merasa perlu balas budi? Iya?" Noya mendongak, berusaha mensejajari fokus mata suami didepannya."Aku tidak akan berbohong. Itu memang sesuai dengan apa yang kamu ucapkan." "Tapi untuk apa, Noy? Aku tidak masalah dengan pernikahan ini. Atau dengan apapun niat kamu menerima pernikahan ini. Terlepas dari itu semua aku akan membahagiakan kamu. Aku janji. Aku bisa melakukan itu!" Ricky hendak meraih tangan Noya. Namun gadis itu segera menariknya."Aku yang merasa tidak bisa, Rick. Aku perlu waktu.""Selama apapun waktu yang kamu butukan aku akan sabar, Noya. Aku hanya perlu kamu disisiku. Itu saja sudah cukup." "Aku tahu. Tapi aku perlu meluruskan sesuatu. Jadi lebih baik kamu baca dulu isi perjanjian itu, lalu kita bicarakan. Aku akan keluar dulu." Noya beranjak dari kamar Ricky, meninggal
"Loh, kalian mau kemana?" Albert yang sudah rapi dengan setelannya berkomentar dengan segera begitu melihat anak dan menantunya datang bersamaan mengenakan setelan yang tidak kalah rapi darinya."Iya nih, pengantin baru bukannya pergi honeymoon malah rapi kayak mau kondangan begitu. Mau kemana sih sayang?" Rosa yang juga baru saja duduk di kursi meja makan ikut mengomentari pasangan pengantin yang baru saja datang di meja makan."Aku sih maunya gitu Ma. Tapi menantu Mama yang paling cantik ini keukeuh mau masuk kerja. Katanya nggak enak kalau kelamaan ninggalin kerjaan, padahal bosnya sendiri ngasih cuti banyak." Ricky memonyongkan bibirnya menyindir Noya yang baru saja mendaratkan bokongnya di tempat duduk disebelahnya.Noya yang sedang menjadi bahan pembicaraan keluarga Albert hanya tersenyum mendapati semua tatap tertuju kearahnya."Cutinya 'kan bisa diambil lain waktu. Lagipula kamu bilang ada operasi hari ini. Iya kan?" Noya meminta persetujuan suaminya dengan memberikan senyum te
“Kejutan!”Seorang gadis berpostur tinggi dan berwajah oriental berjalan perlahan setelah berhasil membuat sepasang mata coklat milik pria tampan di depannya nyaris tidak berkedip.“Seana, ngapain kamu disini?”“Ah, nggak asik banget deh Rick!” Rajuknya. “Masa cuma kalimat itu yang kamu tanyakan sama aku, padahal Rumah Sakit ini adalah tempat pertama yang aku datangi. Bahkan orang tuaku saja belum tahu kalau aku sudah sampai di Indonesia. I miss you so much, Rick,” Gadis itu membisikan kalimat terakhirnya tepat di telinga Ricky.“Wow, wow, apa nih?” Ricky menghindar, membuat gadis itu sedikit terkejut.“Why? Kamu nggak senang aku pulang?” tanyanya lagi. “Setidaknya berikan aku pelukan selamat datang, lah.” Gadis itu masih merajuk. Setidaknya pria itu bisa memberikan respon yang lebih baik padanya mengingat dia orang pertama yang dikunjunginya.“Aku bukannya nggak senang kamu pulang, hanya saja ini sangat tiba-tiba. Bukannya kamu bilang kamu akan pulang dalam beberapa minggu. Aku hanya
“Tekanan darahnya turun, Dok. Pasien juga belum sadar. Sudah diberikan pertolongan pertama oleh dokter jaga di igd, dan menunggu tindak lanjut dari dokter. Untungnya, tidak ada masalah serius. Tapi, anehnya tadi pasien sempat panggil-panggil nama Dokter Ricky.” Mahesa, perawat IGD menjelaskan kondisi pasien yang datang terakhir kali.“Nama saya?” ulang Ricky heran.“Mungkin dokter Ricky kenal sama pasien itu.”“Dimana pasiennya?”“Disini Dok, silahkan!”Ricky beranjak menuju tempat tidur pasien yang ditunjuk Mahesa, sembari menggulung lengan kemeja salur yang hari ini dia kenakan. “Seana?” Pekiknya pelan begitu tirai pembatas tersibak dan menemukan perempuan yang tadi siang baru mendatanginya terbaring disana. Ricky tidak habis pikir, bisa-bisanya Seana yang beberapa jam lalu cerah ceria ketika menemuinya, kini malah kembali sebagai seorang pasien. Dengan telaten Ricky memeriksa ipad yang menampilkan catatan kondisi mengenai Seana. Lalu mengangguk-angguk seperti telah menemukan sesuat
"Arrgh ..." Teriak Noya. Dia segera berjalan ringkih menuju kaca kemudi, Noya ingin memastikan apakah ada seseorang didalam mobil yang kap depannya dia muntahi. Jika ada, Noya akan meminta maaf dan berjanji untuk membersihkan muntahan itu setelah ia membeli tissue. Atau, mungkin akan lebih baik jika tidak ada siapapun di dalam sana. Maka Noya akan segera pergi dan berlalu saja. Dia mulai menempelkan tangannya di depan kaca, lalu mengintip kedalam mobil berwarna merah itu. Dan Yap, semua sesuai dugaannya, didalam sana tidak ada siapapun. Maka, ini adalah kesempatannya untuk segera pergi dari sana. Entahlah itu mobil milik siapa, yang jelas dia akan sangat meminta maaf atas keteledorannya hari ini.Noya duduk di atas kursi didepan meja dokter, namun dokter itu belum memunculkan batang hidungnya disana, padahal rasa sesak di dadanya sudah sangat mengganggu. Matanya mengeliling mengamati seisi ruangan. Noya bergumam sendiri, ruangan yang aneh untuk ukuran seorang seorang dokter. "Nah ba
“Tekanan darahnya turun, Dok. Pasien juga belum sadar. Sudah diberikan pertolongan pertama oleh dokter jaga di igd, dan menunggu tindak lanjut dari dokter. Untungnya, tidak ada masalah serius. Tapi, anehnya tadi pasien sempat panggil-panggil nama Dokter Ricky.” Mahesa, perawat IGD menjelaskan kondisi pasien yang datang terakhir kali.“Nama saya?” ulang Ricky heran.“Mungkin dokter Ricky kenal sama pasien itu.”“Dimana pasiennya?”“Disini Dok, silahkan!”Ricky beranjak menuju tempat tidur pasien yang ditunjuk Mahesa, sembari menggulung lengan kemeja salur yang hari ini dia kenakan. “Seana?” Pekiknya pelan begitu tirai pembatas tersibak dan menemukan perempuan yang tadi siang baru mendatanginya terbaring disana. Ricky tidak habis pikir, bisa-bisanya Seana yang beberapa jam lalu cerah ceria ketika menemuinya, kini malah kembali sebagai seorang pasien. Dengan telaten Ricky memeriksa ipad yang menampilkan catatan kondisi mengenai Seana. Lalu mengangguk-angguk seperti telah menemukan sesuat
“Kejutan!”Seorang gadis berpostur tinggi dan berwajah oriental berjalan perlahan setelah berhasil membuat sepasang mata coklat milik pria tampan di depannya nyaris tidak berkedip.“Seana, ngapain kamu disini?”“Ah, nggak asik banget deh Rick!” Rajuknya. “Masa cuma kalimat itu yang kamu tanyakan sama aku, padahal Rumah Sakit ini adalah tempat pertama yang aku datangi. Bahkan orang tuaku saja belum tahu kalau aku sudah sampai di Indonesia. I miss you so much, Rick,” Gadis itu membisikan kalimat terakhirnya tepat di telinga Ricky.“Wow, wow, apa nih?” Ricky menghindar, membuat gadis itu sedikit terkejut.“Why? Kamu nggak senang aku pulang?” tanyanya lagi. “Setidaknya berikan aku pelukan selamat datang, lah.” Gadis itu masih merajuk. Setidaknya pria itu bisa memberikan respon yang lebih baik padanya mengingat dia orang pertama yang dikunjunginya.“Aku bukannya nggak senang kamu pulang, hanya saja ini sangat tiba-tiba. Bukannya kamu bilang kamu akan pulang dalam beberapa minggu. Aku hanya
"Loh, kalian mau kemana?" Albert yang sudah rapi dengan setelannya berkomentar dengan segera begitu melihat anak dan menantunya datang bersamaan mengenakan setelan yang tidak kalah rapi darinya."Iya nih, pengantin baru bukannya pergi honeymoon malah rapi kayak mau kondangan begitu. Mau kemana sih sayang?" Rosa yang juga baru saja duduk di kursi meja makan ikut mengomentari pasangan pengantin yang baru saja datang di meja makan."Aku sih maunya gitu Ma. Tapi menantu Mama yang paling cantik ini keukeuh mau masuk kerja. Katanya nggak enak kalau kelamaan ninggalin kerjaan, padahal bosnya sendiri ngasih cuti banyak." Ricky memonyongkan bibirnya menyindir Noya yang baru saja mendaratkan bokongnya di tempat duduk disebelahnya.Noya yang sedang menjadi bahan pembicaraan keluarga Albert hanya tersenyum mendapati semua tatap tertuju kearahnya."Cutinya 'kan bisa diambil lain waktu. Lagipula kamu bilang ada operasi hari ini. Iya kan?" Noya meminta persetujuan suaminya dengan memberikan senyum te
"Perjanjian pernikahan? Untuk apa?" Ricky menuntut jawaban. "Untuk pernikahan kita, aku perlu membatasi beberapa hal. Maaf, sejujurnya aku belum siap dengan semua ini. Hanya saja-""Hanya saja kamu merasa perlu balas budi? Iya?" Noya mendongak, berusaha mensejajari fokus mata suami didepannya."Aku tidak akan berbohong. Itu memang sesuai dengan apa yang kamu ucapkan." "Tapi untuk apa, Noy? Aku tidak masalah dengan pernikahan ini. Atau dengan apapun niat kamu menerima pernikahan ini. Terlepas dari itu semua aku akan membahagiakan kamu. Aku janji. Aku bisa melakukan itu!" Ricky hendak meraih tangan Noya. Namun gadis itu segera menariknya."Aku yang merasa tidak bisa, Rick. Aku perlu waktu.""Selama apapun waktu yang kamu butukan aku akan sabar, Noya. Aku hanya perlu kamu disisiku. Itu saja sudah cukup." "Aku tahu. Tapi aku perlu meluruskan sesuatu. Jadi lebih baik kamu baca dulu isi perjanjian itu, lalu kita bicarakan. Aku akan keluar dulu." Noya beranjak dari kamar Ricky, meninggal
"Kamu serius, Noy? aku tidak salah dengar?" Tanya Ricky dengan netra fokus menatap Noya di depannya. Gadis itu membalas tatap Ricky. Namun detik selanjutnya, dia menundukkan matanya. Noya melipat bibir ke dalam, dengan napas yang masih tersengal, Noya pun mengangguk."Iya." Jawabnya pelan.Kerut kebingungan tergambar di wajah tampan Ricky. Tentu saja dia merasa gundah. Kenapa pula Noya malah menerima lamarannya disaat yang tidak tepat."Kenapa?" Jawabnya lagi. Ricky ingin meyakinkan diri bahwa ucapan Noya bukanlah mimpi di pagi buta. "Bukankah ini yang kamu mau?" Tantang Noya santai."Aku tidak ingin memaksa kamu untuk hal ini, lagipula jangan sampai penerimaan kamu karena rasa sungkan atau terimakasih. Aku mencintai kamu dengan tulus. Jadi, aku juga ingin kamu menerima aku tulus, bukan paksaan." Noya terkekeh lucu mendengar penuturan Ricky. "Kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kamu hanya karena kamu tulus, Rick." Ricky sudah menduga, Noya tidak mungkin dengan suka r
"Tolong lakukan apa saja demi menyelamatkan Mama!" Noya memohon kepada Ricky dengan pasrah, air mata Noya sudah mengalir deras ke pipinya, tangannya tremor hebat. Bahkan saat ini, Noya sudah tidak sanggup berdiri. Dia terlalu shock dengan kejadian bertubi-tubi yang menghampirinya dalam dua hari terakhir.Noya menggigit ibu jarinya dengan gugup. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Rasanya dunia Noya runtuh seketika. Noya kembali menangis, bahkan lebih sesak daripada sebelumnya, ia meredam sekuat tenaga suara tangisnya agar tidak menggangu pasien lain di Rumah Sakit, tapi rasanya sungguh menyakitkan."Pakai ini!" Ricky meletakkan sepasang sandal dibawah kaki Noya. Noya meringis, ternyata Noya yang selama ini kuat dan selalu menjaga penampilan bisa datang ke Rumah Sakit tanpa menggunakan sandal. "Teman-temanku sedang mengurusi Mama kamu diruang operasi. Sebaiknya kamu banyak berdoa semoga Mama baik-baik saja." Ricky mencoba menghibur Noya."Bagaimana aku akan baik-baik saja tanpa Papa d
"Kamu sedang tidak bercanda kan Noya?" Kellston yang sedang berbicara di sebrang telepon membuat Noya menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Terdengar bahwa gadis blasteran Amerika betawi itu tengah menyantap makan siangnya. "Iya, Kells. Dia." jawab Noya malas."Dia Ricky Zayyandra yang waktu itu? Pria tampan yang selalu menggoda kamu?""Yang mana lagi Kell, dia satu-satunya pria yang aku benci semasa sekolah? Dia juga yang membuat aku tidak bisa berjalan karena hukuman konyolnya, belum lagi semua kejahilannya yang membuat aku di hukum habis-habisan oleh Pak Gilsky. Dan tolong, hilangkan kata tampan yang baru saja kamu ucapkan!" Papar Noya panjang lebar."Tapi, Noy. Kak Ricky memang tampan kan? semua orang disekolah mengakuinya." "Cih ..." Noya mendesis. "Kamu saja yang tidak bisa melihat dengan mata bersih, Kells." "Terus, bagaimana kelanjutannya?" Kellston kembali bertanya penasaran."Bagaimana apanya? Tentu saja aku tolak." "What Noya? Kamu menolak kak Ricky." "Kellston,
Noya mengenakan terusan selutut berwarna cream dengan renda kecil berwarna hijau tosca dibagian leher. Mamanya mengusulkan kepada Noya agar memakai pakaian ini untuk pertemuannya hari ini, Noya tentu saja tidak bisa menolak, walaupun gaun ini terlalu terbuka bagi Noya dan sangat jauh sekali dari seleranya.Noya menutup ponselnya setelah baru saja melakukan panggilan telepon dengan Direkturnya untuk meminta izin cuti. Noya kembali menatap cermin, ia tidak ingin terlihat terlalu mempesona, lagipula Noya pikir tamu yang akan datang hari ini bukanlah seorang perdana menteri yang harus disambut dengan menggunakan setelan resmi dan penampilan menarik. Bukankah Noya juga memang akan menolak perjodohannya hari ini.Noya memoleskan lipglos tanpa warna ke bibirnya, sedikit menghilangkan kegugupan yang Noya pun tidak tahu karena apa. Setelah dirasa cukup sopan, Noya menuruni tangga kamarnya dan melihat kedua orang tuanya sudah berada di ujung tangga menunggu kedatangan Noya.Mereka tersenyum mel
"Sialan ..." Umpat Noya. Dia segera memasuki mobilnya dengan emosi yang naik turun. Bisa-bisanya Ricky malah membuat lelucon menyebalkan saat melakukan pemeriksaan padanya. Sesaat setelah Ricky menyuruh Noya menanggalkan seluruh pakaiannya. Dengan tangan yang gemetar Noya berusaha melepaskan celana tailored trousers miliknya. Namun, sialnya dokter brengsek itu malah tertawa terbahak-bahak, membuat Noya yang sedang kikuk menjadi semakin terkejut. "Pakai lagi celanamu, Noya! aku hanya bercanda. Jangan sampai lelaki lain melihat kaki jenjangmu itu." Ucap Ricky sambil berlalu ke mejanya.Ternyata hal itu hanyalah sebuah lelucon untuk mengerjai Noya, sekali lagi Noya merasa sangat dilecehkan. Untung saja saat itu dia menggunakan short pant. Jika tidak, matilah dia karena malu "Arrghh. Sialan!" Murka Noya. Noya bahkan memukul stir kemudinya dengan sangat keras. Membuatnya sedikit meringis. "Tuhan, jangan biarkan aku bertemu lagi dengan pria brengsek sepertinya." Setelah itu dia melajuk