Keesokan harinya ….“Indi? Indiraaa?” Manda menggoyang-goyangkan bahu Indi karena sedari tadi tampak melamun dan tidak tahu apa yang tengah dia lamunkan.Sedikit terperanjat, perempuan itu menoleh kepada Manda. “Heuuh?” tanyanya dengan pelan.“Elo kenapa? Dari tadi kayaknya melamun terus. Ada apa, Indi?” tanya Manda dengan pelan. “Kak Moses sama Kak Novia udah mau sampai. Bajunya ada di kamar, kan?”Indi menganggukkan kepalanya. “Iya. Ada di kamar.”“Elo kenapa gue tanya.” Manda kembali bertanya mengenai Indi.Indi menghela napas kasar lalu menggeleng pelan. “Nggak ada. Cuma lemes aja.”“Lemes kenapa sih? Belum sarapan? Indi, cerita sama gue. Jangan kayak Rhea ngapa sih, lo!”Indi tersenyum tipis kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Dua hari yang lalu gue coba tes kehamilan pakai tespack. Ternyata garis satu. Dan Damian nemuin tespack itu di tempat sampah. Nggak tahu ngapain juga dia ngorek-ngorek sampah. Dia marah sama gue.”“Yaa elo juga aneh, Indi. Elo kan tahu kalau Damian ba
Indi mengusap wajahnya dengan pelan lalu menangkup keningnya dengan tangan kanannya. Memikirkan di mana sebenarnya Damian berada.“Kamu tahu kan, konsekuensinya kalau berani buat aku terluka? Kenapa sekarang malah bikin aku jadi nggak percaya lagi sama kamu, Damian.” Indi berbicara sendiri.Cklek!Rangga menghampiri Indi di butiknya. Setelah beberapa kali ia menghubunginya, akhirnya lelaki itu berinisiatif untuk menemui Indi di sana.“Indi. Aku tahu kamu mencemaskan Damian. Di mana dia sekarang, kenapa nggak pulang-pulang. Kamu harus tahu, Damian tidak pernah berniat untuk menyakiti kamu. Mungkin memang ada kerjaan yang tidak bisa ditunda dan harus mematikan HP-nya supaya nggak ada yang ganggu.”Rangga menasihati Indi agar perempuan itu berhenti berpikir yang aneh-aneh mengenai Damian. Sebab Rangga tahu, betapa cintanya Damian kepada Indi. Maka, hal mustahil bila lelaki itu mengkhianati Indi.Air mata telah berlinang di pipi Indi. Perempuan itu kemudian terisak pelan sembari mengusap
Indi lantas mengepalkan tangannya dengan mata menatap tajam lelaki itu. Lalu bangun dari duduknya dan menghampiri Dipta yang dengan entengnya bicara seperti itu kepadanya.“Brengsek!”Plak!Dengan tamparan yang sangat kencang, Indi menampar pipi Dipta karena dengan seenaknya bicara seperti itu kepadanya.“Elo pikir gue cewek apaan, goblok?! Dari awal pun gue udah curiga sama elo ya, bangsat! Tua bangka nggak tahu diri lo, yaa!” pekik Indi benar-benar marah kepada Dipta.Bisa-bisanya lelaki itu memberi sebuah ucapan penghinaan kepadanya. “Jangan pikir karena masa lalu gue yang buruk di mata orang-orang, dengan seenaknya elo bilang kayak gitu ke gue, tua bangka! Gue masih punya harga diri dan nggak akan pernah mengkhianati pasangan gue!” pekik Indi kembali.“Kurang ajar kamu, Indi! Berani sekali kamu bicara seperti itu padaku!” pekik Indi dengan mata memerah menatap tajam wajah Indi.Plak!Indi kembali menampar wajah Dipta.“INDI!!” Damian berteriak dan memasang wajah marahnya setelah m
Damian menurunkan tangan Indi yang tengah memegang wajahnya itu. Lalu, menggelengkan kepalanya pelan seraya mengulas senyum tipis. Ia kemudian mendekatkan wajahnya di daun telinga Indi seraya mengembuskan napas pelan.“Terlalu lama tidak mengisap milik kamu, makanya pucat begini,” bisik Damian menggoda sang istri kemudian meremas buah dada milik istrinya itu.Indi melenguh pelan kemudian menarik tangan Damian. Menatapnya dengan tatapan lekatnya. “Kamu sendiri yang nggak pernah minta. Aku mana mau kasih kalau kamu sendiri nggak mau nagih!” ucapnya kemudian.Damian menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Sayang. Aku yang salah. Aku tidak pernah memintanya karena banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Besok pun ada meeting dengan kolega baru, kolega Rangga yang katanya mau pesan dua ratus ribu furniture.”Indi menatap Damian sayu. “Kapan punya waktunya untuk aku, Damian?” tanyanya lesu.Damian kemudian mengusapi sisian wajah Indi dan mengecup keningnya. “Pasti ada waktu, Sayang. Nanti kita
Damian kembali menahan tangan Indi karena takut akan ucapannya tadi.“Oke! Kita main sekarang. Asal jangan pergi.” Damian mengalah. Ia kemudian mengabulkan permintaan Indi yang sedang ingin dimanja.“Nggak perlu!” ucapnya lalu menghempas tangan Damian dengan kasar dan keluar dari kamarnya. Melangkahkan kakinya dengan lebar menuju pintu utama.“Indi … tunggu!” Damian menghentikan langkahnya sembari memegang kepalanya yang terasa sakit seperti jarum yang tengah menusuk-nusuknya. “Aaahhh!” keluhnya sembari meremas rambutnya itu.Tidak bisa mengejar Indi yang sudah keluar dari rumah itu, Damian hanya bisa terduduk lemas di ambang pintu kamarnya.“Tuan Damian!” Bi Sumi menghampiri Damian yang tengah merasakan nyeri di kepalanya. “Tuan, Tuan kenapa? Mari, saya bantu.” Perempuan paruh baya itu membantu Damian bangun dari duduknya lalu membawanya ke dalam kamar.“Lho. Non Indi-nya ke mana?” Bi Sumi mengedarkan matanya mencari keberadaan Indi.Damian hanya diam. Hanya bisa menelan salivanya de
Indi menuruti perintah Manda. Selesai mandi, ia kemudian pulang ke rumah untuk meminta maaf kepada Damian yang sudah pasti lelaki itu amat sangat sakit hati karena ucapannya itu.Indi berjalan melangkahkan kakinya penuh dengan rasa takut sebab berpikir kalau Damian tidak akan mau memaafkannya.“Bi. Damian-nya ada di rumah?” tanya Indi kepada Bi Sumi yang tengah menyapu halaman depan.“Tadi pagi sudah berangkat, Non. Belum ada pulang lagi. Mungkin langsung ke kantor. Mobilnya juga tidak ada di garasi.”Indi menghela napasnya lalu mengulas senyum tipis. Kembali masuk ke dalam mobil dan menyusulnya ke kantor. Di hari ini juga, ia harus mendapatkan permintaan maaf dari suaminya itu.“Gue terlalu egois dan nggak pernah memikirkan masalah yang dia alami. Ketakutan gue, ketakutan dia, semuanya jadi boomerang dalam rumah tangga kami. Seharusnya gue bisa meredam emosi dan juga nafsu sialan itu. Gue terlalu terbiasa dengan sentuhan Damian dan pada akhirnya gue selalu menginginkan hal itu.”Indi
Indi menelan saliva dengan pelan lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya. Itu Damian,” ucapnya dengan pelan.Lalu masuk ke dalam mobilnya setelah pamit kepada Mario yang masih berdiri mematung menatap Damian yang tengah bercengkerama entah dengan siapa.Lalu, Damian mengerutkan keningnya kala mengenali mobil yang dikendarai oleh Indi. “Indi?” ucapnya dengan pelan.“Ada apa, Pak Damian?” tanya lelaki itu kepada Damian.Damian menoleh kepada clien-nya itu lalu menggeleng pelan sembari mengulas senyum tipis. “Tadi, seperti mobil istri saya. Kalau begitu, kita bisa bicarakan ini setelah semuanya selesai ya, Pak. Bisa dihitung lagi kebutuhannya berapa dan juga mulai pengerjaannya kapan.”Damian lantas pamit kepada clien-nya itu dan bergegas mengejar mobil yang dia yakini bahwa itu adalah mililk Indi.“Lagi ngapain Indi di sini? Jauh sekali dia perginya,” gumamnya seraya mencari keberadaan mobil milik istrinya itu.“Kebiasaan, selalu bawa mobil ngebut-ngebut. Ckk!” Damian berdecak p
Satu minggu berlalu ....Waktu sudah menunjuk angka delapan malam dan Indi masih berada di butik bahkan belum berniat ingin pulang.“Indi?” panggil Manda lalu menghampiri Indi.“Heung? Mau pulang? Ya udah pulang aja duluan, Nda. Gue masih pengen di sini. Banyak kerjaan yang belum gue selesaikan.”Manda menghela napasnya. “Indi. Udah seminggu ini elo pulang larut terus. Ngejar apaan sih, lo? Dan tiap hari juga Damian nungguin elo pulang. Parahnya, elo malah nggak pulang.”Indi menatap Manda yang tengah berdiri di depannya itu. “Biar Damian tahu, kalau gue juga bisa punya kesibukan. Dia pikir gue begini karena apa? Karena dia sendiri yang milih untuk menyibukkan diri sama kerjaannya. Bahkan manjain gue aja nggak ada.”Indi menyunggingkan bibirnya lalu kembali mendesain baju-baju yang akan dia jual kembali di situs web. Setidaknya ia memiliki kesibukan sembari menunggu Damian meminta maaf kembali padanya. Merasa bila dia butuh Indi, bukan hanya kerjaan saja yang harus dia utamakan.Manda
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.