Indi menelan saliva dengan pelan lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya. Itu Damian,” ucapnya dengan pelan.Lalu masuk ke dalam mobilnya setelah pamit kepada Mario yang masih berdiri mematung menatap Damian yang tengah bercengkerama entah dengan siapa.Lalu, Damian mengerutkan keningnya kala mengenali mobil yang dikendarai oleh Indi. “Indi?” ucapnya dengan pelan.“Ada apa, Pak Damian?” tanya lelaki itu kepada Damian.Damian menoleh kepada clien-nya itu lalu menggeleng pelan sembari mengulas senyum tipis. “Tadi, seperti mobil istri saya. Kalau begitu, kita bisa bicarakan ini setelah semuanya selesai ya, Pak. Bisa dihitung lagi kebutuhannya berapa dan juga mulai pengerjaannya kapan.”Damian lantas pamit kepada clien-nya itu dan bergegas mengejar mobil yang dia yakini bahwa itu adalah mililk Indi.“Lagi ngapain Indi di sini? Jauh sekali dia perginya,” gumamnya seraya mencari keberadaan mobil milik istrinya itu.“Kebiasaan, selalu bawa mobil ngebut-ngebut. Ckk!” Damian berdecak p
Satu minggu berlalu ....Waktu sudah menunjuk angka delapan malam dan Indi masih berada di butik bahkan belum berniat ingin pulang.“Indi?” panggil Manda lalu menghampiri Indi.“Heung? Mau pulang? Ya udah pulang aja duluan, Nda. Gue masih pengen di sini. Banyak kerjaan yang belum gue selesaikan.”Manda menghela napasnya. “Indi. Udah seminggu ini elo pulang larut terus. Ngejar apaan sih, lo? Dan tiap hari juga Damian nungguin elo pulang. Parahnya, elo malah nggak pulang.”Indi menatap Manda yang tengah berdiri di depannya itu. “Biar Damian tahu, kalau gue juga bisa punya kesibukan. Dia pikir gue begini karena apa? Karena dia sendiri yang milih untuk menyibukkan diri sama kerjaannya. Bahkan manjain gue aja nggak ada.”Indi menyunggingkan bibirnya lalu kembali mendesain baju-baju yang akan dia jual kembali di situs web. Setidaknya ia memiliki kesibukan sembari menunggu Damian meminta maaf kembali padanya. Merasa bila dia butuh Indi, bukan hanya kerjaan saja yang harus dia utamakan.Manda
Damian jelas menggelengkan kepalanya lalu menarik tangan Indi dan menggenggamnya kembali.“Jangan, Indi. Aku tidak mau pisah sama kamu. Aku sudah menantikan kamu dari dulu hingga saat ini dan mau menerima semua persyaratan yang diberikan Papa padaku. Itu semua karena aku menginginkan kamu jadi istri aku.”Indi menghela napas kasar dan menatap Damian dengan lekat. “Kamu takut kehilangan aku, tapi selalu aja buat aku kesal bahkan merujuk pada hal yang membuat kita pisah. Kalau memang menginginkan aku dan ingin aku selalu ada di sisi kamu, jangan pernah buat aku marah apalagi kesal, Damian.”Damian menganggukkan kepalanya. “Maka dari itu aku minta maaf dan please, jangan bahas perpisahan lagi. Aku minta maaf, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku mengakui kesalahanku yang telah memilih menyibukkan waktuku dengan semua kerjaan yang ada di kantor.“Aku lupa diri, terlalu egois dan terlalu memikirkan bahwa kesuburanku akan tumbuh setelah satu tahun. Aku berpikir kalau kamu jen
“Damian! Kalau masih menolak—“Belum Indi menyelesaikan ucapannya, Damian sudah menyambar bibirnya. Mencium bibir perempuan itu dengan penuh bahkan kini tangannya sudah mengangkat baju yang dikenakan oleh istrinya itu.Terbit senyum bahagia di bibir perempuan itu lalu membalas tautan yang dilakukan oleh Damian kepadanya. Melingkarkan tangannya di leher Damian dan menggoyang lidahnya bersama Damian yang sudah sangat ia rindukan itu.“Euumhh ….” Satu lenguhan lolos di bibir Indi.Damian menghentikan ciumannya itu lalu menatap Indi dengan tatapan lembutnya. “I love you. Jangan marah-marah lagi, yaa. Karena kamu ngambek, kepalaku makin pusing.”Indi lantas menyunggingkan bibirnya. “Kamu sendiri yang udah bikin aku ngambek. Nggak usah bikin yang aneh-aneh lagi, Damian!”“Iya, Sayang. Aku mau mengatakan hal yang semoga kamu paham.”Indi menaikkan alisnya sebelah. “Apa itu?” tanyanya pelan.Damia menarik napasnya dengan panjang lalu menatap Indi. “Jangan lama-lama, ya. Aku takut nanti kepala
Di rumah sakit Harapan ….“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Indi kepada Dokter Ryan setelah hampir lima menit lamanya memeriksa kondisi Damian.“Ada penggumpalan darah di dalam otak pasien akibat kecelakaan tahun lalu. Suami Anda harus segera dioperasi untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Bila gumpalan darah itu membeku dan dibiarkan semakin lama, suami Anda bisa terkena stroke permanen.”Betapa lemas tubuh Indi mendengar diagnosa yang diderita Damian saat ini.“Indi.” Dengan napas yang terengah-engah, Diego dan Manda menghampiri mereka yang kebetulan masih bisa dihubungi.“Bagaimana, Dok?” tanya Diego kepada Dokter Ryan.“Apa selama ini Pak Damian tidak pernah memberi tahu keadaannya pada istrinya, Pak Diego? Sepertinya Bu Indi tidak tahu menahu mengenai kondisi Pak Damian.”Diego menghela napas kasar lalu melirik Indi yang tengah terisak karena baru tahu separah itu kondisi Damian.“Iya. Damian tidak pernah mau menceritakan kondisinya kepada Indi karena tida
“Mau ngapain, dia hubungi Damian?” tanya Indi datar.Diego mengendikan bahunya. “Mana gue tahu, Ndi. Baru juga nelepon. Om Dipta juga nggak tahu kalau Damian sakit.”Indi menghela napasnya pelan lalu menatap Damian yang masih belum sadarkan diri. “Mungkin elo tahu hubungan gue dengan mertua gue kayak gimana kalau Damian cerita ke elo.”Diego mengerutkan dahi. Lalu menoleh kepada Manda yang terlihat tidak tahu juga dengan apa yang dikatakan oleh Indi kepada mereka.“Maksudnya gimana ya, Ndi? Om Dipta udah nggak hubungi lagi.”Indi menoleh kepada Diego. “Dia nggak bilang ke elo?”Diego menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak semua yang kalian alami gue tahu, Indi. Hanya sebagian dan itu pun nggak pernah gue ingat-ingat banget,” ucap Diego kepada Indi.Pria itu kembali menghampiri Indi lalu menatapnya lekat. “Ada apa? Kenapa dengan Om Dipta?” tanyanya pelan.Indi menggeleng dengan pelan. “Nggak tahu harus ngomong apa, gue juga bingung. Entah karena kesalahan gue, atau memang dia yang cabul
“Sekarang Papa dibawa ke rumah sakit mana, Bi?” tanya Indi sembari keluar dari ruang rawat Damian. Tanpa pamit lagi karena panik yang dia alami kala mendengar kabar papanya mengalami serangan jantung lagi.“Kami sudah di rumah sakit Harapan, Non. Di ruang rawat lantai dua ruang Elisa.”Indi menutup panggilan tersebut lalu turun ke lantai satu untuk menghampiri sang papa yang kebetulan sekali ART itu membawa Wijaya ke rumah sakit yang sama di mana Damian kini tengah dirawat. Dengan langkah lebarnya, serta air mata yang bercucuran, Indi sudah tak sabar ingin melihat kondisi papanya itu.Sampai akhirnya ia tiba di ruang rawat Elisa. Tampak Wijaya tengah dilakukan pemeriksaan oleh tim dokter yang menangani lelaki berusia enam puluh tahun itu.“Papa,” lirih Indi menatap sang papa di balik pintu kaca sebab ia belum diperbolehkan masuk ke dalam.Bi Inah lalu memeluk Indi yang tengah menangisi papanya itu. Lantas Indi memeluk ART-nya itu dengan sangat erat.“Kenapa Papa bisa kena serangan jan
Mata tajam itu menatap Indi sebab memanggilnya dengan sebutan yang cukup membuat emosinya memuncak.“Kurang ajar kamu, Indi! Berani-beraninya kamu memanggilku dengan sebutan itu!” pekik Dipta tak terima dengan hinaan yang dilontarkan oleh Indi kepadanya.Indi kemudian tersenyum miring. “Gimana rasanya, nggak enak kan, dipanggil dengan sebutan seperti itu? Dan elo, dengan enaknya menghina gue bahkan merendahkan harga diri gue dengan cara ajak tidur! Satu sama, Pradipta! Sekarang gue mau nanya sama elo. Apa yang udah elo katakan ke bokap gue sampai jantung dia kambuh?”Indi memekik bertanya kepada Dipta yang telah membuat papanya jatuh pingsan tak sadarkan diri karena jantungnya kambuh ulah Dipta. Siapa lagi kalau bukan Dipta sementara yang ada di sana hanya ada lelaki itu.Dan Bi Inah mana mungkin bicara bohong kepadanya bila Dipta menemui Wijaya ke rumahnya.Dipta lantas tersenyum miring. "Awas! Saya mau ketemu dengan anak saya. Sepertinya kalian sudah tidak bisa dipertahankan lagi. D