“Damian! Kalau masih menolak—“Belum Indi menyelesaikan ucapannya, Damian sudah menyambar bibirnya. Mencium bibir perempuan itu dengan penuh bahkan kini tangannya sudah mengangkat baju yang dikenakan oleh istrinya itu.Terbit senyum bahagia di bibir perempuan itu lalu membalas tautan yang dilakukan oleh Damian kepadanya. Melingkarkan tangannya di leher Damian dan menggoyang lidahnya bersama Damian yang sudah sangat ia rindukan itu.“Euumhh ….” Satu lenguhan lolos di bibir Indi.Damian menghentikan ciumannya itu lalu menatap Indi dengan tatapan lembutnya. “I love you. Jangan marah-marah lagi, yaa. Karena kamu ngambek, kepalaku makin pusing.”Indi lantas menyunggingkan bibirnya. “Kamu sendiri yang udah bikin aku ngambek. Nggak usah bikin yang aneh-aneh lagi, Damian!”“Iya, Sayang. Aku mau mengatakan hal yang semoga kamu paham.”Indi menaikkan alisnya sebelah. “Apa itu?” tanyanya pelan.Damia menarik napasnya dengan panjang lalu menatap Indi. “Jangan lama-lama, ya. Aku takut nanti kepala
Di rumah sakit Harapan ….“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Indi kepada Dokter Ryan setelah hampir lima menit lamanya memeriksa kondisi Damian.“Ada penggumpalan darah di dalam otak pasien akibat kecelakaan tahun lalu. Suami Anda harus segera dioperasi untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Bila gumpalan darah itu membeku dan dibiarkan semakin lama, suami Anda bisa terkena stroke permanen.”Betapa lemas tubuh Indi mendengar diagnosa yang diderita Damian saat ini.“Indi.” Dengan napas yang terengah-engah, Diego dan Manda menghampiri mereka yang kebetulan masih bisa dihubungi.“Bagaimana, Dok?” tanya Diego kepada Dokter Ryan.“Apa selama ini Pak Damian tidak pernah memberi tahu keadaannya pada istrinya, Pak Diego? Sepertinya Bu Indi tidak tahu menahu mengenai kondisi Pak Damian.”Diego menghela napas kasar lalu melirik Indi yang tengah terisak karena baru tahu separah itu kondisi Damian.“Iya. Damian tidak pernah mau menceritakan kondisinya kepada Indi karena tida
“Mau ngapain, dia hubungi Damian?” tanya Indi datar.Diego mengendikan bahunya. “Mana gue tahu, Ndi. Baru juga nelepon. Om Dipta juga nggak tahu kalau Damian sakit.”Indi menghela napasnya pelan lalu menatap Damian yang masih belum sadarkan diri. “Mungkin elo tahu hubungan gue dengan mertua gue kayak gimana kalau Damian cerita ke elo.”Diego mengerutkan dahi. Lalu menoleh kepada Manda yang terlihat tidak tahu juga dengan apa yang dikatakan oleh Indi kepada mereka.“Maksudnya gimana ya, Ndi? Om Dipta udah nggak hubungi lagi.”Indi menoleh kepada Diego. “Dia nggak bilang ke elo?”Diego menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak semua yang kalian alami gue tahu, Indi. Hanya sebagian dan itu pun nggak pernah gue ingat-ingat banget,” ucap Diego kepada Indi.Pria itu kembali menghampiri Indi lalu menatapnya lekat. “Ada apa? Kenapa dengan Om Dipta?” tanyanya pelan.Indi menggeleng dengan pelan. “Nggak tahu harus ngomong apa, gue juga bingung. Entah karena kesalahan gue, atau memang dia yang cabul
“Sekarang Papa dibawa ke rumah sakit mana, Bi?” tanya Indi sembari keluar dari ruang rawat Damian. Tanpa pamit lagi karena panik yang dia alami kala mendengar kabar papanya mengalami serangan jantung lagi.“Kami sudah di rumah sakit Harapan, Non. Di ruang rawat lantai dua ruang Elisa.”Indi menutup panggilan tersebut lalu turun ke lantai satu untuk menghampiri sang papa yang kebetulan sekali ART itu membawa Wijaya ke rumah sakit yang sama di mana Damian kini tengah dirawat. Dengan langkah lebarnya, serta air mata yang bercucuran, Indi sudah tak sabar ingin melihat kondisi papanya itu.Sampai akhirnya ia tiba di ruang rawat Elisa. Tampak Wijaya tengah dilakukan pemeriksaan oleh tim dokter yang menangani lelaki berusia enam puluh tahun itu.“Papa,” lirih Indi menatap sang papa di balik pintu kaca sebab ia belum diperbolehkan masuk ke dalam.Bi Inah lalu memeluk Indi yang tengah menangisi papanya itu. Lantas Indi memeluk ART-nya itu dengan sangat erat.“Kenapa Papa bisa kena serangan jan
Mata tajam itu menatap Indi sebab memanggilnya dengan sebutan yang cukup membuat emosinya memuncak.“Kurang ajar kamu, Indi! Berani-beraninya kamu memanggilku dengan sebutan itu!” pekik Dipta tak terima dengan hinaan yang dilontarkan oleh Indi kepadanya.Indi kemudian tersenyum miring. “Gimana rasanya, nggak enak kan, dipanggil dengan sebutan seperti itu? Dan elo, dengan enaknya menghina gue bahkan merendahkan harga diri gue dengan cara ajak tidur! Satu sama, Pradipta! Sekarang gue mau nanya sama elo. Apa yang udah elo katakan ke bokap gue sampai jantung dia kambuh?”Indi memekik bertanya kepada Dipta yang telah membuat papanya jatuh pingsan tak sadarkan diri karena jantungnya kambuh ulah Dipta. Siapa lagi kalau bukan Dipta sementara yang ada di sana hanya ada lelaki itu.Dan Bi Inah mana mungkin bicara bohong kepadanya bila Dipta menemui Wijaya ke rumahnya.Dipta lantas tersenyum miring. "Awas! Saya mau ketemu dengan anak saya. Sepertinya kalian sudah tidak bisa dipertahankan lagi. D
Indi mengusap wajahnya hingga ke rambut. Dengan lemas, perempuan itu menyandarkan punggungnya di pagar besi karena lemas tak berdaya.“Kapan pulangnya, Pak?” tanya Indi kembali.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Ditelepon saja, kalau mau tahu Mas Arion kapan pulang.”Indi menggigit bibir bawahnya karena Arion tak pernah menghubunginya dan dia tidak memiliki nomor ponsel lelaki itu.“Nomornya nggak aktif, Pak. Kalau boleh tahu, orang tua Arion bisa diganggu sebentar nggak ya, Pak?”Indi lalu berpikir ulang. ‘Orang tua Rachel nggak tahu kalau dia yang udah bunuh diri.’ Indi menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menatap penjaga itu. “Nggak jadi, Pak. Nanti saja ke sini lagi.”“Pak. Bukain gerbangnya. Saya mau jemput anak saya, katanya sudah di bandara,” titah perempuan paruh baya akan tetapi masih terlihat cantik dan awet muda.Perempuan bernama Nindy itu lantas mengerutkan kening kala melihat Indi yang tengah berdiri di depan gerbang.“Kamu ….” Nindy menunjuk wajah Indi. Lalu, perempuan i
“Haaah? Hamil? Emangnya Rachel pernah hamil? Boro-boro hamil, Indi. Damian naikin Rachel aja bisa keitung jari. Elo yang tiap hari dinaikin aja kagak jadi-jadi. Apalagi si Rachel. Ngadi-ngadi.”Diego tampak tak percaya kalau Rachel pernah hamil. Sebab Damian pun tidak pernah membahas hal tersebut kepadanya. Sementara Damian selalu menceritakan apa pun yang berkaitan dengannya.“Damian nggak pernah berharap punya anak sama Rachel karena katanya nggak ada kesempatan buat deketin elo lagi. Ngapa sih lo, susah amat dideketinnya? Sekarang aja, udah jadi duda baru bisa dideketin. Itu pun abis putus sama Rangga. Kalau Damian nggak gue dorong-dorong buat deketin elo, mana mungkin kalian bisa nikah sampe sekarang.”Indi menghela napas kasar. “Bukannya Damian memang udah ada rencana buat nikahin gue?”“Kalau rencana udah dari jaman kuliah. Dia itu pengen lindungi elo, Indi. Tapi, elo malah main sana main sini mulu. Nggak pernah awet karena kebanyakan cowok elo selingkuh. Dan gilanya, elo masih
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Indi mendapat kabar dari Bi Inah kalau Wijaya sudah siuman, ia segera menghampiri sang papa di lantai dua. Dengan langkah lebarnya, sampai akhirnya ia pun tiba di sana.Dengan napas yang terengah-engah, ia menatap sang papa yang tengah menatap kosong pada langit-langit ruangan sana. Bi Inah pamit keluar setelah Indi tiba di sana.“Pa.” Indi memanggil nama sang papa dengan pelan.Wijaya menolehkan kepalanya pelan kepada anak satu-satunya itu. “Indi. Apa yang terjadi, Nak? Kenapa … kenap—““Pa.” Indi menyela ucapan papanya itu. “Pa. Apa yang dikatakan oleh papanya Damian itu semua bohong. Aku nggak pernah melakukan hal gila itu hanya karena menginginkan Damian. Bahkan aku nggak tahu kalau Damian udah nikah sama Rachel. Aku nggak pernah melakukan hal itu, Pa. Tolong, percaya sama aku.”Indi berucap lirih, memohon kepada Wijaya agar jangan percaya dengan semua omongan Dipta yang telah menuduhnya membunuh Rachel dan juga Damian.Wijaya kemudian men