Jasmine memutar bola matanya dengan malas. “Menyesal karena tidak kena pada Mas Kevin. Coba kalau Mas Kevin yang kena, mau dipenjara seumur hidup pun tidak akan menyesal.”Kevin menganggukkan kepalanya. “Pinter!”Jasmine menyunggingkan bibirnya. “Dasar! Ya sudah sana, Mas. Jam berapa sidangnya?”“Jam dua, Sayang. Sabar, yaa. Saya masih ingin menemani kamu. Khawatir nanti perutnya mulai mulas.”“Ada Mama juga yang menemani saya, Mas. Nanti Mama telepon Mas Kevin. Jangan khawatir dilupakan. Mas ini papanya si bayi. Mana mungkin tidak diberi tahu.”Kevin menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Kenapa istriku cerewet sekali. Masih kesal, pada Gemma?”Jasmine menggeleng. “Memang sifat asli saya cerewet. Mas Kevin aja yang baru sadar,” ucapnya ketus.“Iya, iya. Saya memang baru menyadari semuanya.”**Di kantor. Justin tengah mengecek semua dokumen yang diberikan oleh Selena padanya. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatang ulang oleh Justin dari Kevin.“Pak Justin?” panggil Selena kemudian
Selena menyunggingkan bibirnya. “Selalu dibalas dengan jawaban bukan urusan kamu. Baiklah kalau begitu. Saya tidak akan bertanya lagi.”“Bagus!”Perempuan itu kehabisan kata-kata. Untuk kali ini, Justin mengalahkan Selena setelah dua bulan lamanya menjadi sekretaris. Justin baru bisa mengalahkan Selena.“Semoga Jasmine dan bayinya baik-baik saja. Semuanya selamat, tidak ada yang kurang sedikit pun.” Justin berdoa untuk keselamatan Jasmine.“Aamiin.” Hanya itu yang diucapkan oleh Selena.Kevin sudah tiba di rumah sakit. Dengan langkah lebarnya, pria itu menghampiri Jasmine yang sudah berada di dalam ruang operasi.“Ma!” Kevin menghampiri Ranti yang tengah menunggu di luar ruang operasi. “Aku boleh masuk, ke dalam?” tanya Kevin dengan wajah cemasnya.Ranti mengangguk. “Kamu diminta masuk ke dalam jika sudah sampai.”Kevin menganggukkan kepalanya dengan cepat. Kemudian masuk ke dalam setelah menggunakan baju steril.Dokter Felix menghampiri Kevin yang sudah berdiri di belakang kepala Jas
Kevin bangun dari duduknya kemudian memukul mulut Justin. “Berisik, setan! Anak gue lagi tidur. Emangnya elo mau, kalau dia bangun terus nyari sumber susunya. Mau … ngasih ASI ke dia?”Justin menggelengkan kepalanya. “Gue gak punya ASI, Vin. Noh! Punya Selena gede. Pasti ASI-nya melimpah.”Plak!Kevin berhasil memukul kepala Justin dengan sangat keras. “Kalau punya otak dipake, Justin! Punya Selena udah kodratnya dari sananya udah gede. Elo isep sampe pagi pun gak akan keluar tuh ASI!”Selena menganga mendengar perdebatan Justin dan Kevin yang membahas buah dadanya. Dengan spontan perempuan itu menutup dadanya dengan kedua tangannya.“Kenapa kalian bahas buah dada Selena, sih?” Ranti geleng-geleng kepala pada kedua pria di depannya ini.“Kevin yang mulai, Tante. Masa nyuruh aku kasih ASI ke anaknya. Aku emang punya, tapi gak ada isinya.”Justin—dengan polosnya berucap seperti itu kepada Ranti.“Jelas nggak akan ada, Justin. Laki-laki mana bisa menyusui. Jangan aneh-aneh deh, kalian in
Satu tahun berlalu.Menjalani hidup penuh dengan perasaan campur aduk. Bisa dibilang terlalu cepat untuk waktu 365 hari ini. Justin dilanda kebingungan. Sudah tiba di tahun ini, di mana dirinya akan menemukan jodohnya. Namun, nyatanya masih belum menemukan.Di dalam ruang pimpinan. Justin tengah menimbang-nimbang ucapan Kevin mengenai Selena. Ia adalah jodoh yang Tuhan berikan padanya. Sembari menangkup dagu, Justin menatap jarum jam yang berdetak, yang menempel di dinding berwarna putih itu.Tok tok tok!Selena datang sambil membawa sebuah undangan di tangannya."Selamat siang, Pak Justin. Ada undangan pernikahan di hari Minggu ini," kata Selena sembari memberikan undangan tersebut kepada Justin.Pria itu mengambilnya. Tak bertanya, dia langsung membukanya. Mata melotot kala melihat nama yang tertera di sana."Diandra mau nikah?" ucapnya dengan terkejut.Selena mengangguk pelan. "Iya, Pak. Bu Diandra akan segera menikah, di hari Minggu ini. Enam bulan pacaran, mungkin sudah cukup bag
Pikiran Justin sudah mulai berkeliaran. Kembali pria itu menggelengkan kepalanya. "Argghh! Otak, kali-kali mikirnya yang sehat-sehat. Jangan penyakit mulu yang elo pikirin."Selena kembali ke kamar Justin setelah selesai mengganti gaun yang menurutnya lebih sopan ia kenakan."Yuk! Acara resepsinya sudah mulai." Selena menganga kala melihat sinyal Justin terpancar di bawah sana. "Pak Justin. Anda habis ngapain? Kenapa itu sinyal mentereng begitu?"Justin lantas membalikkan tubuhnya lantaran Selena menangkap basah miliknya yang masih bangun.Selena lantas menyunggingkan bibirnya. "Gara-gara saya pakai gaun kurang bahan tadi, kan? Anda saja terangsang. Apalagi para lelaki hidung belang di luaran sana, Pak. Jangan aneh-aneh makanya.""Iya, iyaa. Saya mau menidurkan adik saya dulu.""Haah? Gimana caranya, Pak?" Selena tampak bingung dengan ucapan bosnya itu.Justin menghentikan langkahnya. Kemudian menatap Selena dengan lekat. "Sama kamu aja deh. Sini! Biar cepet."“Nggak, nggak! Enak aja.
Perasaannya sedari tadi tidak enak. Hatinya terus menerus memikirkan Diandra. Semakin buyar perasannya saat tahu Diandra menikah dengan pria yang Justin kenal dulu.“Anda tidak perlu tahu, Pak Justin. Diandra akan bahagia dengan suaminya. Begitu juga dengan Anda. Semoga segera melupakan Diandra, dan bahagia dengan Selena.” Andrian mengulas senyumnya.Seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada adik semata wayangnya itu. Sementara Justin menatap Diandra yang tengah berbincang dengan Giandra.Ada senyum sendu di sana. Seperti tak ikhlas menerima ucapan yang diucapkan oleh suaminya itu. Justin menelan salivanya dengan pelan.‘Ada apa dengan kamu, Diandra? Setahun menghilang, tiba-tiba nyebar undangan.’ Justin menoleh kembali pada Andirian. “Kata Selena, mereka sudah pacaran sejak enam bulan yang lalu. Benar, begitu?”Andrian mengangguk ragu dan kembali mengulas senyumnya. “Iya. Mereka sudah saling mengenal sejak enam bulan yang lalu.”Justin mengerutkan keningnya. “Bohong! Kamu sedang memboho
Selena memalingkan wajahnya setelah memberi tahu syarat untuk Justin. Pria itu menatap Selena dengan lekat. Kemudian mengulas senyumnya dengan lebar.“Karena kamu takut, saya berpaling? Kamu sudah menganggap kalau kita sedang pacaran? Ya udah, kita pacaran aja deh kalau gitu. Gimana?”Selena kembali menatap Justin. “Ma—maksud Anda?” Selena tak paham.“Kalau menikah kan masih lama. Kita pacaran aja dulu. Sambil menumbuhkan perasaan kamu ke saya. Biar sama-sama saling jatuh cinta, kemudian menikah.”Selena menaikkan alisnya sebelah. “Memangnya Pak Justin sudah jatuh cinta, pada saya?”Justin mengusapi lehernya yang terasa pegal itu. “Seperti yang kamu ketahui. Perasaan saya selalu bercabang. Ada dua nama lagi di hati saya. Kamu … dan Diandra.”Semakin tak yakin lah Selena menerima Justin. Apalagi sampai menjadikan pria itu sebagai suaminya.“Pak Justin sulit dipercaya. Saya tidak yakin, bisa mencintai Anda dalam waktu dekat. Sepertinya sulit untuk menerima Anda menjadi suami saya,” ujar
Selena selalu menegaskan bahwa dirinya bukan orang penting di hidup Justin. Hanya karena Justin mencintainya, bukan berarti Selena akan semena-mena dan melarangnya berbuat apa yang ingin Justin lakukan.Sudah tiba di rumah."Terima kasih sudah mengantar saya pulang, Pak Justin. Sampai jumpa besok." Selena keluar dari mobil bosnya itu.Diikuti oleh Justin. Berdiri di samping mobilnya, menatap punggung Selena yang tengah melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya."Ya Tuhan. Kapan aku bisa menjadikan Selena satu-satunya yang ada di hatiku. Jangan kau biarkan aku terus terjebak dalam dua manusia. Aku ingin mengakhirinya. Tolong bantu aku, ya Tuhan," lirih Justin sembari menatap satu Selena yang tengah membuka pintunya.Suara bising mengganggu pendengaran Justin. Matanya membola kala melihat Selena diseret keluar oleh pria yang ada di dalam rumah itu."Pergi dari rumah ini. Ini bukan rumah elo. Elo bukan keluarga gue! Bukan adik gue! Jangan pernah injakkan kaki elo di sini lagi. Elo ...
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa