Andrian terkekeh pelan. “Nama Desi sudah diblacklist untuk masuk ke rumah ini, Bu Desi yang terhormat!”“Andrian! Kenapa kamu yang menerimanya. Ini nomornya Mas Kevin, kan?”“Ya, benar. Nomor ini memang milik Pak Kevin. Tapi, Pak Kevinnya sudah tidur. Dan Anda … mohon maaf, Anda sudah dilarang masuk ke dalam rumah ini lagi.”“Arrgghh! Kenapa? Kenapa saya dilarang masuk, huh?” tanya Desi kembali.“Karena Anda sudah berani menjebak Pak Kevin.”“Menjebak? Hei! Sudah berapa kali saya katakan pada kalian semua. Saya tidak menjebak Mas Kevin. Dia sendiri yang sudah membawa saya ke hotel. Merangkul saya, masuk ke kamar yang sudah dipesan olehnya.”Andrian menoleh pada Kevin, yang dibalas dengan gelengan kepala oleh pria itu. Andrian mengangguk. Ia memang tidak akan percaya dengan ucapan bualan yang diucapkan oleh Desi.“Begitu? Kalau memang Anda tidak menjebak Pak Kevin, lantas kenapa Anda sengaja merekam adegan tersebut, dan mengirimkannya kepada Jasmine? Bukankah itu semua satu kesengajaan
Kevin lantas segera membuka dokumen tersebut. "Sebentar, Pak. Saya sudah menerimanya. Tapi, belum dibuka."Dengan tergesa-gesa, pria itu membuka amplop tersebut. Kemudian membaca isi surat itu. Betapa leganya hati Kevin kala melihat isi dari surat itu."Sudah diterima, Pak. Apa saja yang harus saya bawa, Pak?" tanya Kevin kepada Roni di seberang sana.Surat tersebut tak lain adalah surat panggilan sidang putusan pengalihan hak asuh Arshi. Yang akan dilaksanakan lusa mendatang."Hanya membawa badan saja, Pak. Tidak perlu membawa apa-apa. Karena semua dokumen sudah saya siapkan. Arshi akan dibawa oleh pihak kepolisian langsung."Serta ibunya juga akan dibawa oleh mereka. Jadi, Anda tinggal menunggu saja di pengadilan lusa. Semoga hasilnya memuaskan, Pak Kevin."Penuturan Roni membuat hati Kevin sedikit lega. Setidaknya, pengobat sakit hatinya bisa disembuhkan walau sedikit. Oleh Arshi yang akan segera kembali padanya."Syukurlah kalau begitu. Tapi, kenapa Anda bisa melakukan itu semua?
Jasmine mengendikan bahunya. "Tidak tahu, Mbak. Saya masih menimbang-nimbang. Sulit untuk percaya. Sulit juga untuk memaafkan.""Kalau memang Pak Kevin beneran dijebak? Kamu juga tidak mau memaafkannya?"Jasmine menolehkan kepalanya dengan pelan ke arah Diandra. Kemudian mengulas senyumnya. "Saya tidak akan memaafkan orang yang sudah menjebak Mas Kevin, Mbak. Baik Pak Justin, Mbak Desi, atau yang lainnya. Tidak akan pernah.“Dia melakukan itu pada saya karena ingin rumah tangga saya hancur, kan? Saya ingin, Mas Kevin juga menghancurkan hidup orang yang sudah membuat rumah tangganya hancur."***"Pak Kevin. Bersiaplah. Sidang akan segera dimulai satu jam lagi!" teriak Andrian di depan pintu kamar Kevin.Pria itu bermigrasi. Tinggal di rumah Kevin sampai Jasmine kembali. Atas perintah Ranti tentunya. Lantaran perempuan itu tidak ingin anak satu-satunya mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.Tok tok tok!Andrian kembali mengetuk pintu kamar Kevin. Lantaran pria itu tidak menyahutnya s
Jasmine kembali mengulas senyumnya. "Kami sering bertemu, Ma. Makanya akrab. Dan Arshi juga menyayangi saya. Senang rasanya bisa disayangi oleh anak dari suami saya. Biasanya, kebanyakan anak yang masih memiliki orang tua lengkap tapi harus berpisah, tidak pernah dekat dengan ibu sambungnya.""Iya, Nak. Kamu hebat. Bisa membuat Arshi dekat dengan kamu. Ya sudah kalau begitu. Kita ke pengadilan sekarang juga. Arshi sudah menunggu."Jasmine mengangguk dan beranjak dari duduknya. Masuk ke dalam kamar, untuk mengganti pakaian.Setibanya di pengadilan. Ranti dan Jasmine duduk di belakang Kevin dan Desi. Mendengarkan dengan saksama sidang putusan yang sedang dibacakan oleh hakim."Dengan ini, hakim memutuskan bahwa ... hak asuh atas nama Arshi Anggara Prakarsa jatuh ke tangan sang ayah. Yakin Saudara Kevin Prakarsa. Karena sang ibu sudah tidak sanggup lagi memberi nafkah kepada sang anak. Sidang ditutup."Hakim kemudian mengetuk palu. Mengartikan sidang putusan tersebut sudah sah di mata hu
Kevin melirik tajam pada Andrian yang sudah mengatakan dirinya dan Jasmine sedang sariawan."Arshi mau makan siang sama apa?" tanya Jasmine kemudian."Seperti biasa, Mama. Mama kenapa sih, nggak pernah ikut makan siang bareng lagi sama Arshi? Mama lagi marahan ya, sama Papa?"Seolah memiliki batin yang kuat, anak kecil itu bertanya tepat dengan situasi saat ini. Di mana Jasmine memang sedang marah kepada Kevin.Jasmine lantas mengusapi rambut Arshi. "Mama lagi sakit, Sayang. Makanya tidak bisa ikut makan siang bareng. Sekarang baru mendingan." Jasmine beralasan."Oh gitu. Sakit kenapa, Ma? Dedek bayinya nakal, yaa? Udah pengen keluar ya, dedek bayinya?"Jasmine kembali mengulas senyumnya. "Nggak kok. Bukan karena dedek bayi. Dedek bayi mah baik. Nggak pernah jahatin Mama. Sama seperti Arshi."Arshi mengulas senyumnya. "Oh gituu. Udah gak sabar, pengen lihat dedek bayi. Pengen gendong. Pengen main bareng-bareng."Jasmine tersenyum tipis mendengarnya. Begitu terharu dirinya mendengar uc
Di kediaman Desi.Perempuan itu tengah duduk sambil menjambak rambutnya. Tengah memikirkan strategi untuk menghancurkan rumah tangga mantan suaminya itu.Kemudian, perempuan itu menghubungi Justin. Memberi tahu, jika Jasmine dan Kevin tidak berpisah.“Di mana, lo?” tanya Desi kemudian.“Di rumah. Napa?”“Elo tahu, rencana kita gagal! Mas Kevin dan Jasmine tidak pisah, tidak cerai!”“Apa?! Kenapa begitu? Harusnya mereka udah pisah, Desi. Jasmine pernah bilang sama gue, kalau dia nggak akan pernah maafin Kevin kalau si Kevin main serong di belakang dia.”Justin tampak panik mendengar ucapan Desi, yang mengatakan jika Jasmine dan Kevin tidak berpisah. Walaupun sebenarnya Jasmine sudah keluar dari rumah Kevin.“Mana gue tahu, Justin. Elo punya cara lain, nggak? Biar mereka benar-benar pisah.”Terdengar helaan napas Justin di seberang sana. “Ada! Gue culik si Jasmine.”Desi memutar bola matanya dengan malas. “Kalau elo culik Jasmine, yang ada elo masuk penjara, begok!”“Haiiss! Tahu lah, g
Arshi merengek. Ingin Jasmine kembali pulang ke rumah itu. Arshi yang tak tahu apa pun itu jelas tak paham kenapa Jasmine tinggal di rumah mertuanya.Kevin akhirnya memiliki ide cemerlang. Ia akan menjadikan Arshi sebagai senjata untuk membawa Jasmine pulang. Pria itu lantas mengulas senyumnya.“Hari ini kita ke rumah Omma, yaa. Tapi, pulang sekolah Arshi. Sekarang, Arshi berangkat sekolah dulu. Papa antar Arshi ke sekolah. Papa mau mandi dulu.”Arshi mengangguk antusias. “Oke, Papa. Arshi tunggu di meja makan ya, Pa.”“Iya, Sayang.”Anak kecil itu keluar dari kamar Kevin. Sementara Kevin pergi ke kamar mandi. Semangatnya menggebu untuk menjemput Jasmine pulang. Karena jika Arshi yang memintanya, Jasmine tidak akan bisa menolaknya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Jasmine sedang berjalan sendirian di sekitar taman kota dekat rumah mertuanya.Menunggu jajanan lewat. Apa pun akan ia beli. Mulai dari pentol, cilok, hingga ketoprak. Jasmine yang doyan makan semakin menjadi setelah
Oleh Justin, pria itu semakin menggila. Tangannya semakin menggenggam dengan erat tangan Jasmine. Menatap Jasmine dengan amat sangat lekat. Membuat perempuan itu semakin ketakutan."Apa kamu bilang? Coba bilang sekali lagi. Aku tidak mendengarnya," bisik Justin tepat di telinga Jasmine.Perempuan itu masih berusaha untuk tenang. Ia yang tidak membawa ponsel pun bingung harus menghubungi siapa. Seperti sedang dalam penjara, bersama orang yang amat ingin Jasmine hindari."Lepaskan tangan saya, Pak. Sakit!" lirih Jasmine kemudian.Namun, pria itu menghiraukannya. Matanya semakin menatap tajam wajah Jasmine yang sudah menampakkan ketakutan. Kemudian tersenyum menyeringai.Lalu, pria itu meraup bibir Jasmine dengan ganas. Membuat perempuan itu memekik sambil melepaskan tangan Justin. Dengan semua tenaga yang ia miliki, Jasmine berhasil mendorong tubuh Justin.Plak!Tamparan keras meluncur sempurna pada pipi Justin. "Keterlaluan kamu, Justin!" pekik Jasmine kemudian berlari menghindari Just