“Ya! Kamu tidak peduli karena akhirnya nanti aku masuk penjara, kemudian kamu senang-senang dengan mantan suamimu itu! Tidak akan aku lakukan hal seperti itu, Desi!”Desi memutar bola matanya dengan pelan. Kedua pasangan ini sudah habis ide untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.Desi yang ingin kembali pada Kevin, dan Gemma ingin memiliki rumah tersebut. Sebab, jika dijual rumah itu, dia bisa mendapatkan banyak uang.Tinggal di sebuah rumah kecil, sambil menjalankan bisnis haramnya. Itu yang diinginkan oleh suami dari Desi.Bukan tanpa sebab mereka masih bertahan hingga kini. Karena, misi mereka belum juga selesai untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.**Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Semua tim IT masih berkutat dengan laptop serta alat pembantu lainnya. Bekerja sama mencari data asli yang sudah dihapus oleh pemilik akun tersebut.Semakin menyulitkan mereka untuk mengunggah kembali proses backup data tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Jantung sudah berdebar tak k
Kevin menghela napasnya dengan pelan. Kemudian menganggukkan kepalanya sembari menepuk bahu Justin. “Sorry. Gue tahu, ini keterlaluan. Tapi, sikap elo mencurigakan. Makanya gue nuduh elo duluan.” Kevin meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Justin lantas memutar bola matany dengan pelan. “Siapa lagi, orang yang elo curigai? Desi? Gemma? Atau siapa?” Kevin menoleh dengan cepat ke arah Justin. “Kita harus segera menyeret Gemma ke sini. Andrian! Bawa Gemma dan Desi ke sini! “Jangan sampai mereka kabur. Kita harus segera memeriksa sidik jari si Gemma. Satu-satunya yang orang dicurigai setelah Justin.” Kevin memerintah Andrian agar menjemput Gemma dan Desi. Gemma yang akan dites sidik jari, dan Desi akan dimarahi habis-habisan oleh Kevin. Andrian segera berlalu pergi, membawa keempat bodyguard milik Kevin untuk menjemput paksa Gemma dan Desi. Sementara Justin dan Kevin, serta ketiga tim IT masih berada di ruang meeting. Dua belas staff sudah dibolehkan pulang. “Di mana Jasmine? Ken
Gemma terlihat meragu. Membuat Kevin semakin yakin, jika pria itulah yang sudah mencuri identitas Jasmine.“Gemma! Lakukan apa yang aku perintahkan. Segera tempelkan jarimu di sana. Jangan mengulur waktu. Aku harus melepaskan Jasmine.“Kamu sudah tertangkap basah. Tidak bisa kabur ke mana-mana. Pihak kepolisian pun sudah menunggu di luar. Juga, aktivitas ini tengah direkam. Segera tempelkan jarimu, Gemma!”Kevin sudah tak sabar ingin segera mendapatkan hasilnya. Hingga akhirnya pun memerintahkan Rizal untuk menempelkan dengan paksa jari Gemma yang sedari tadi tidak mau ia tempelkan di sana.“Jika Anda bersikap seperti ini, maka pelakunya adalah Anda. Silakan, tempelkan jarinya, Pak Gemma!” titah Rizal kemudian.Gemma menghela napasnya. Kemudian menuruti perintah semua orang yang ada di sana. Menempelkan jarinya di atas alat pendeteksi sidik jari.Situs pun terbuka. Terpampang wajah Jasmine di dalam sana. Namun, pelaku sebenarnya sudah ditemukan. Gemma lah yang sudah merubah identitas
Kevin mengendikan bahunya. "Kita akan tahu, setelah sidang nanti. Sekarang, kita pulang dulu. Saya harus menandatangani dokumen penangkapan Gemma. Setelah itu pulang."Esok harinya. Desi mengunjungi Gemma di dalam sel tahanan. Belum dijadwalkan kapan akan sidang. Karena harus mengumpulkan dokumen-dokumen serta bukti yang kuat untuk masuk ke pengadilan."Waktu kunjungan maksimal satu kali dua puluh empat jam. Dimulai dari sekarang," ucap penjaga sel tersebut.Desi menghela napasnya dengan panjang. Menatap datar raut wajah Gemma yang tengah menundukkan wajahnya. Karena malas menatap Desi.“Kenapa kamu melakukan itu, Mas?” tanya Desi dengan nada datarnya.Gemma menghela napas pelan. “Untuk kamu.”“Bukan itu maksudku, Mas. Kenapa kamu melakukan itu tanpa sepengetahuan aku? Kenapa diam-diam menyebarkan itu semua? Dari mana kamu tahu, soal penyakitnya Mas Kevin?”Desi yang memang tidak tahu menau soal Gemma yang sudah menyebarkan berita itu lantas ingin tahu. Tanpa sepengetahuan dirinya kal
"Jangan sungkan untuk mengatakan apa pun tentang suami kamu itu, Jasmine. Patuh boleh, ketakutan jangan. Aku akan mendengarkan semua keluh kesahmu. Seperti biasa yang pernah kamu sampaikan."Kurasa, kamu sudah tidak pernah mengeluh lagi. Kenapa? Karena takut Kevin tahu? Tenang aja. Kevin nggak akan tinggalin kamu, hanya karena kamu curhat padaku."Jasmine mengatup bibirnya. Sementara Kevin mengepalkan tangannya lantaran geram karena ucapan Justin tadi."Elo tahu, kenapa Jasmine sudah tidak pernah menyampaikan keluhan lagi sama elo? Karena dia udah gue bahagiakan! Jangan pernah ikut campur lagi urusan rumah tangga gue lagi ya, bangsat! Besok ... baku hantam kita."Kevin geram. Siapa pun pasti akan geram kala mendengar istrinya digoda dengan ucapan yang amat sangat manis.Ponsel itu dibuang ke tempat tidur. Sementara Jasmine hanya menatap Kevin yang tengah memperlihatkan kekesalannya terhadap Justin. Karena sudah berani menggoda istrinya itu."Kenapa masih saja panggilan dari Justin? Se
Dering ponsel Kevin berhasil membuat Kevin mengumpat sejadi-jadinya. Namun ia hiraukan. Lantaran puncaknya sudah berada di ujung tanduk. Bisa ditelepon balik orang yang sudah menghubunginya itu. Jika puncak itu, tidak bisa ditunda. Akan membuat kepalanya pusing tujuh keliling jika batal dikeluarkan.Akhirnya, Kevin mengakhiri permainan itu. Setelah berhasil mengeluarkan peluh nikmat itu dengan sempurna di bawah sana. Setelahnya, mengambil ponselnya di atas nakas. Melihat siapa yang sudah menghubunginya tadi."Panggilan dari siapa, Mas?" tanya Jasmine sembari mengusapi perutnya.Kevin mengerutkan keningnya saat melihat Jasmine yang mengusapi perutnya. "Kamu kenapa, Jasmine? Perutmu terasa sakit?" tanya Kevin tampak khawatir.Jasmine menggeleng pelan. "Lapar, Mas. Pengen dibikinin spaghetti sama suaminya."Kevin terkekeh pelan. "Baiklah. Akan saya buatkan setelah menghubungi Andrian. Dia yang sudah menghubungi saya."Jasmine mengangguk. Mempersilakan Kevin menghubungi Andrian."Kenapa,
“Semua manusia pasti punya nafsu. Bukan hanya aku saja. Aku yakin, lama-lama Jasmine juga akan jenuh setelah bertahun-tahun menikah denganmu! Aku yakin itu.”Kevin kembali mengulas senyum miris. “Seperti itu? Kamu tahu, ucapan Justin di ruang meeting itu? Bahkan, aku tidak mau mendengarnya lagi, Desi.“Tapi, harus aku katakan padamu. Dua bulan setelah kita menikah, kamu jalan dengan pria lain. Makan siang bersama, sambil bercanda gurau. Dan Justin baru memberi tahu aku setelah kita bercerai.“Apakah itu tidak bisa disebut murahan? Murahan, Desi. Kamu murahan! Apa aku harus membongkar semua aib kamu sekarang juga? Agar kamu mau bercermin, jika kamu lebih dari kata murahan.“Gonta-ganti pria. Main sana-sini. Bahkan, aku sempat meragukan Arshi, jika dia bukanlah anakku. Hingga akhirnya aku melakukan tes DNA dengannya.“Hanya saja, benih yang aku tanam itu rupanya yang berhasil tumbuh di rahim kamu. Kamu tahu, kenapa aku mengidap penyakit PTSD? Karena jijik, jika mengingat perlakuan gila
Diandra terdiam. Tak ada respon darinya."Kata Mas Kevin, saya tidak boleh memberi tahu kalau Pak Justin lah yang Mbak Diandra cinta. Juga ... jangan langsung menerima cintanya jika dia mengatakannya. Harus ada perjuangan dulu, sampai Mbak Diandra bisa melihat jika Pak Justin benar-benar mencintai Mbak Diandra."Jasmine menjelaskan kepada Diandra perihal ucapan yang disampaikan oleh Kevin padanya."Oh, i see. Baiklah. Jika memang benar itu, yang kamu dan Pak Kevin pikirkan. Jika bukan, saya tidak perlu melakukan apa pun, bukan?"Jasmine mengangguk. "Baik, Mbak. Ya sudah kalau begitu. Saya tunggu kabar dari Mbak Diandra.""Iya, Jasmine."Jasmine menutup panggilan itu. Hatinya tiba-tiba tidak tenang. Ia pun membaca pesan yang belum ia buka dari Justin.Justin: [Jasmine. Aku minta maaf karena terlalu ikut campur di rumah tangga kamu. Aku hanya tidak ingin kamu terus tersakiti karena masa lalu Kevin. Aku tahu, aku memang lancang. Hanya saja, karena perasaanku terus berpihak padamu, kebodo
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa