Nah looh Gemma, hahaha. Terima kasih sudah mampir dan membaca :)
Gemma terlihat meragu. Membuat Kevin semakin yakin, jika pria itulah yang sudah mencuri identitas Jasmine.“Gemma! Lakukan apa yang aku perintahkan. Segera tempelkan jarimu di sana. Jangan mengulur waktu. Aku harus melepaskan Jasmine.“Kamu sudah tertangkap basah. Tidak bisa kabur ke mana-mana. Pihak kepolisian pun sudah menunggu di luar. Juga, aktivitas ini tengah direkam. Segera tempelkan jarimu, Gemma!”Kevin sudah tak sabar ingin segera mendapatkan hasilnya. Hingga akhirnya pun memerintahkan Rizal untuk menempelkan dengan paksa jari Gemma yang sedari tadi tidak mau ia tempelkan di sana.“Jika Anda bersikap seperti ini, maka pelakunya adalah Anda. Silakan, tempelkan jarinya, Pak Gemma!” titah Rizal kemudian.Gemma menghela napasnya. Kemudian menuruti perintah semua orang yang ada di sana. Menempelkan jarinya di atas alat pendeteksi sidik jari.Situs pun terbuka. Terpampang wajah Jasmine di dalam sana. Namun, pelaku sebenarnya sudah ditemukan. Gemma lah yang sudah merubah identitas
Kevin mengendikan bahunya. "Kita akan tahu, setelah sidang nanti. Sekarang, kita pulang dulu. Saya harus menandatangani dokumen penangkapan Gemma. Setelah itu pulang."Esok harinya. Desi mengunjungi Gemma di dalam sel tahanan. Belum dijadwalkan kapan akan sidang. Karena harus mengumpulkan dokumen-dokumen serta bukti yang kuat untuk masuk ke pengadilan."Waktu kunjungan maksimal satu kali dua puluh empat jam. Dimulai dari sekarang," ucap penjaga sel tersebut.Desi menghela napasnya dengan panjang. Menatap datar raut wajah Gemma yang tengah menundukkan wajahnya. Karena malas menatap Desi.“Kenapa kamu melakukan itu, Mas?” tanya Desi dengan nada datarnya.Gemma menghela napas pelan. “Untuk kamu.”“Bukan itu maksudku, Mas. Kenapa kamu melakukan itu tanpa sepengetahuan aku? Kenapa diam-diam menyebarkan itu semua? Dari mana kamu tahu, soal penyakitnya Mas Kevin?”Desi yang memang tidak tahu menau soal Gemma yang sudah menyebarkan berita itu lantas ingin tahu. Tanpa sepengetahuan dirinya kal
"Jangan sungkan untuk mengatakan apa pun tentang suami kamu itu, Jasmine. Patuh boleh, ketakutan jangan. Aku akan mendengarkan semua keluh kesahmu. Seperti biasa yang pernah kamu sampaikan."Kurasa, kamu sudah tidak pernah mengeluh lagi. Kenapa? Karena takut Kevin tahu? Tenang aja. Kevin nggak akan tinggalin kamu, hanya karena kamu curhat padaku."Jasmine mengatup bibirnya. Sementara Kevin mengepalkan tangannya lantaran geram karena ucapan Justin tadi."Elo tahu, kenapa Jasmine sudah tidak pernah menyampaikan keluhan lagi sama elo? Karena dia udah gue bahagiakan! Jangan pernah ikut campur lagi urusan rumah tangga gue lagi ya, bangsat! Besok ... baku hantam kita."Kevin geram. Siapa pun pasti akan geram kala mendengar istrinya digoda dengan ucapan yang amat sangat manis.Ponsel itu dibuang ke tempat tidur. Sementara Jasmine hanya menatap Kevin yang tengah memperlihatkan kekesalannya terhadap Justin. Karena sudah berani menggoda istrinya itu."Kenapa masih saja panggilan dari Justin? Se
Dering ponsel Kevin berhasil membuat Kevin mengumpat sejadi-jadinya. Namun ia hiraukan. Lantaran puncaknya sudah berada di ujung tanduk. Bisa ditelepon balik orang yang sudah menghubunginya itu. Jika puncak itu, tidak bisa ditunda. Akan membuat kepalanya pusing tujuh keliling jika batal dikeluarkan.Akhirnya, Kevin mengakhiri permainan itu. Setelah berhasil mengeluarkan peluh nikmat itu dengan sempurna di bawah sana. Setelahnya, mengambil ponselnya di atas nakas. Melihat siapa yang sudah menghubunginya tadi."Panggilan dari siapa, Mas?" tanya Jasmine sembari mengusapi perutnya.Kevin mengerutkan keningnya saat melihat Jasmine yang mengusapi perutnya. "Kamu kenapa, Jasmine? Perutmu terasa sakit?" tanya Kevin tampak khawatir.Jasmine menggeleng pelan. "Lapar, Mas. Pengen dibikinin spaghetti sama suaminya."Kevin terkekeh pelan. "Baiklah. Akan saya buatkan setelah menghubungi Andrian. Dia yang sudah menghubungi saya."Jasmine mengangguk. Mempersilakan Kevin menghubungi Andrian."Kenapa,
“Semua manusia pasti punya nafsu. Bukan hanya aku saja. Aku yakin, lama-lama Jasmine juga akan jenuh setelah bertahun-tahun menikah denganmu! Aku yakin itu.”Kevin kembali mengulas senyum miris. “Seperti itu? Kamu tahu, ucapan Justin di ruang meeting itu? Bahkan, aku tidak mau mendengarnya lagi, Desi.“Tapi, harus aku katakan padamu. Dua bulan setelah kita menikah, kamu jalan dengan pria lain. Makan siang bersama, sambil bercanda gurau. Dan Justin baru memberi tahu aku setelah kita bercerai.“Apakah itu tidak bisa disebut murahan? Murahan, Desi. Kamu murahan! Apa aku harus membongkar semua aib kamu sekarang juga? Agar kamu mau bercermin, jika kamu lebih dari kata murahan.“Gonta-ganti pria. Main sana-sini. Bahkan, aku sempat meragukan Arshi, jika dia bukanlah anakku. Hingga akhirnya aku melakukan tes DNA dengannya.“Hanya saja, benih yang aku tanam itu rupanya yang berhasil tumbuh di rahim kamu. Kamu tahu, kenapa aku mengidap penyakit PTSD? Karena jijik, jika mengingat perlakuan gila
Diandra terdiam. Tak ada respon darinya."Kata Mas Kevin, saya tidak boleh memberi tahu kalau Pak Justin lah yang Mbak Diandra cinta. Juga ... jangan langsung menerima cintanya jika dia mengatakannya. Harus ada perjuangan dulu, sampai Mbak Diandra bisa melihat jika Pak Justin benar-benar mencintai Mbak Diandra."Jasmine menjelaskan kepada Diandra perihal ucapan yang disampaikan oleh Kevin padanya."Oh, i see. Baiklah. Jika memang benar itu, yang kamu dan Pak Kevin pikirkan. Jika bukan, saya tidak perlu melakukan apa pun, bukan?"Jasmine mengangguk. "Baik, Mbak. Ya sudah kalau begitu. Saya tunggu kabar dari Mbak Diandra.""Iya, Jasmine."Jasmine menutup panggilan itu. Hatinya tiba-tiba tidak tenang. Ia pun membaca pesan yang belum ia buka dari Justin.Justin: [Jasmine. Aku minta maaf karena terlalu ikut campur di rumah tangga kamu. Aku hanya tidak ingin kamu terus tersakiti karena masa lalu Kevin. Aku tahu, aku memang lancang. Hanya saja, karena perasaanku terus berpihak padamu, kebodo
Jasmine menolehkan wajahnya pada Diandra. “Heuh?” Kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Mbak. Saya lagi nunggu kabar dari Mas Kevin saja. Soalnya belum bilang sama Mas Kevin.”“Kenapa tidak bilang dulu, Jasmine? Kalau Pak Kevin marah pada kamu, bagaimana?” tanya Diandra mengkhawatirkan Jasmine.“Nomornya nggak aktif, Mbak. Orangnya lagi meeting. Saya hubungi lagi kalau begitu.”Jasmine mengambil ponselnya di tasnya. Kemudian menghubungi Kevin kembali. Berharap ponselnya sudah aktif kembali."Halo, Jasmine. Saya sedang makan. Ada apa, Sayang?" Kevin akhirnya menerima panggilannya."Eeeuh ... Mas. Saya lagi di rumah sakit.""Apa? Kamu sakit apa, Jasmine? Saya pulang sekarang juga, yaa." Suara Kevin terdengar panik kala mendengar Jasmine sedang berada di rumah sakit."Bu-bukan saya yang sakit, Mas. Tapi, Pak Justin. Dia kecelekaan, Mas. Nabrak mobil truk.""Apa? Kenapa bisa terjadi? Justin tidak pernah ugal-ugalan. Bahkan sedang mabuk pun masih hafal jalan.""Kurang tahu, Mas
Rosita menganggukkan kepalanya. "Ya. Sebelum kamu masuk dan melamar kerja menjadi sekretarisnya. Karena saat itu, Justin akan melamarnya di hari ulang tahun mantan kekasihnya itu. Tapi, perempuan itu malah kepincut oleh clien Justin saat pertemuan pertama mereka."Rosita menjelaskan masa lalu Justin yang pernah menjalin hubungan dengan sekretarisnya. Sampai akhirnya, Justin menutup hatinya untuk semua karyawan perempuan yang bekerja di kantornya.Diandra manggut-manggut. Baru saja dia mau bicara, Jasmine dan Kevin masuk ke dalam ruangan itu. Membawa sekotak donnut untuk Diandra.Oleh Jasmine, perempuan itu memberikan donnut itu pada Diandra. "Untuk menemani Mbak Diandra menunggu Pak Justin," ucap Jasmine dengan pelan."Terima kasih, Jasmine," ucapnya sembari mengambil donnut itu di tangan Jasmine. "Sudah malam. Kenapa ke sini?"Jasmine menunjuk Kevin. "Dia yang ajak. Baru jam sembilan juga, Mbak.""Iya sih. Khawatir pulang kemalaman saja. Nggak akan nginep di sini, kan?"Jasmine mengg