"Aku nggak punya pilihan, Dan. Aku ingin mereka tahu. Aku serius sama kamu. Persetan dengan semua gosip murahan itu. Aku nggak peduli!"Ucapan Salma di telepon membuat Danu sakit kepala. Sekarang, bukan hanya menghadapi gosip-gosip murahan meski itu adalah kebenaran. Hal yang paling mengerikan adalah menghadapi keluarga besar Gina. Mereka tidak akan pernah tinggal diam.Danu duduk di karpet ruang tamu dengan napas berat. Lampu di rumahnya yang berwarna kuning redup semakin menambah kesan sunyi dan mencekam di tengah malam itu. Sepeda motor matic milik Salma terparkir di sudut ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding. Ponsel Danu masih digenggam erat di tangan kanannya, sementara layar ponsel menampilkan pesan terakhir dari Gina.Gina : "Kalau memang kamu lebih memilih Salma, kita bercerai saja. Aku sudah lelah, Mas Danu."Sudah sejak tiga setengah jam yang lalu pesan itu masuk. Danu baru saja membukanya. Ia terlalu sibuk melamun di atas motor Salma. Danu memikirkan bagaimana s
"Gina nggak akan pergi kalo dia benar mencintai kamu, Danu. Rumah tangga itu wajar jika diuji dalam banyak hal. Ekonomi, anak, dan masih banyak lagi. Tapi, dia memilih untuk pergi. Apa itu pantas untuk dipertahankan?" Salma masih mengoceh saat Gina sudah pergi dari rumah kontrakan. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Danu saat ini. Danu tidak butuh ocehan yang tidak bermutu. Pikiran laki-laki itu mendadak menjadi lebih kacau. Danu duduk di ruang tamu rumah kontrakan yang sederhana, wajahnya terlihat gelap. Tangan kanan ayah Putri menggenggam segelas kopi yang sudah mulai dingin, sementara pikirannya terombang-ambing oleh kata-kata Salma yang terus terngiang. Ucapan wanita itu tadi siang masih menekan dadanya, membuat emosi yang selama ini ia coba tahan mulai mendidih perlahan. Bukan hanya memprovokasi, tetapi janda Guntara itu sengaja membuat kesalahpahaman Danu dan Gina semakin meruncing.“Kalau Gina benar-benar seorang istri yang baik, mana mungkin dia tega meninggalkan Putri?” Sal
"Aku sebenarnya tidak sudi untuk datang ke sini. Apa lagi, Gina sudah pulang ke rumah kami," kata Reza dengan nada dingin. Rumah kontrakan Gina dan Danu sore itu terasa begitu hening, tetapi udara di dalamnya seakan penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat. Reza, kakak pertama Gina, duduk dengan posisi tegap di karpet ruang tamu. Wajahnya memancarkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. Di meja di depannya, tergeletak selembar kertas kontrak kerja yang sudah ditandatangani Gina, menunggu persetujuan Danu. Gina tahu, jika meminta tanda tangan sang suami pasti akan dipersulit."Bang, tapi ini terlalu sulit untukku." Danu mencoba berkompromi dengan sang kakak ipar."Terlalu sulit? Kau yang sudah menyulitkan keadaan dan adikku," kata Reza dengan nada dingin dan rahang yang sudah mengeras. Danu duduk di hadapan Reza, tubuhnya bersandar lemas di dinding setengah permanen. Matanya terus terpaku pada kertas itu, tetapi pikirannya melayang. Ia merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan
"Ibu kenapa hanya diam? Dulu, aku patuh ketika harus ikut melakukan hal buruk pada Mbak Salma. Sekarang, aku hanya minta, Ibu membantu bicara pada Mas Guntara tentang Mbak Salma. Mbak Salma tidak sebaik yang dikira oleh Mas Guntara, Bu. Ibu bisa melihat semua foto itu." Ucapan Aliyah jelas sangat mempengaruhi Yulianti saat itu.Malam itu, rumah Yulianti yang biasanya hangat kini terasa dingin. Lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang gelisah di dinding. Yulianti duduk di sofa, menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Sesekali, matanya menatap pintu depan seolah menunggu seseorang masuk. Napasnya terdengar berat, dan tangannya sedikit gemetar.Di lantai atas, Aliyah mengurung diri di kamar. Ia sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Foto yang tadi siang ditemukan masih tergenggam erat di tangannya, sementara pikirannya dipenuhi prasangka buruk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah benar Yulianti akan menasehati Guntara seperti yang dijanjikan? Namun, instin
Sejak kejadian itu, Salma lebih sering menghabiskan waktu di kafe. Ada agenda tersendiri untuk pergi ke kafe. Jika hari kerja, maka sepulang kerja akan mendatangi kafe langganannya. Salma merasa tenang saat berada di tempat itu. Senja sudah menutup hari sejak lama ketika Salma melangkah keluar dari sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi masih melekat di udara, bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan. Langit berwarna oranye keemasan, dan angin sepoi-sepoi membuat rambut Salma sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang sejak tadi berputar-putar tentang langkah selanjutnya dalam rencananya.Namun, langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya. “Salma?”Salma menoleh perlahan. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas abu-abu rapi, wajahnya tak asing. Arif. Mata mereka bertemu sejenak, membawa kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Salma mengerutkan kening, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba diliputi rasa tak nyaman.“A
Pagi itu, Gina berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya menerawang ke luar, memandang dedaunan yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, hatinya tidak tenang. Di tangannya, sebuah cangkir kopi yang sudah dingin digenggam tanpa minat. Pikiran Gina terus melayang pada sosok Danu. Sudah berhari-hari Danu tidak memberi kabar apa pun. Meski kadang pesan atau panggilan dari Danu diabaikan, tetapi Gina saat ini merasa sangat sakit. Apa yang dilakukan oleh Danu seolah membenarkan jika kabar kedekatan mereka benar. Ya, Salma sudah mengatakan semua beberapa waktu yang lalu. Gina meraba dada, sakit sekali rasanya.Gina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia bisa tenang? Di luar sana, desas-desus tentang kedekatan Danu dengan Salma terus menghantui pikirannya. Apakah gosip itu benar? Gina merasa hatinya seperti diremas. Ia mencoba percaya, mencoba berpikir bahwa semua itu hanya kebohongan. Namun, sikap Danu yang dingin dan menghindar membuat harapan
"Maksud, Bang Reza bagaimana?" Gina mengusap air mata dengan cepat."Ya, aku paham. Kamu tidak bisa seperti ini. Kalian harus bicara. Status pernikahan kalian menggantung. Tidak ada ketegasan sama sekali."Wajah Gina seketika menegang mendengar ucapan kakak pertamanya itu. Ia tahu, sang kakak sudah memikirkan banyak hal. Akan tetapi, dari dalam hati yang terdalam, Gina belum siap jika ada perceraian. Ia masih ingin bertahan demi Putri."Aku sudah menghubungi Danu. Sebentar lagi, dia akan datang." Ucapan Reza membuat bulu kuduk Gina meremang seketika. Pagi itu, suasana rumah keluarga Gina terasa tegang. Matahari sudah meninggi, tetapi hawa dingin dari angin pagi terasa menusuk tulang. Di ruang tamu yang sederhana namun bersih, Reza duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya mengeras, rahangnya tegang. Di depannya, Danu berdiri dengan sikap defensif, wajahnya penuh amarah yang sulit ditutupi.“Jadi ini rencanamu? Membiarkan Gina pergi ke luar negeri hanya karena kau tak mam
Rumor kepergian Gina ke luar negeri sebagai TKW terus menjadi buah bibir di lingkungan kontrakan Danu. Di pagi yang dingin, suara burung gereja bercampur dengan bisik-bisik para tetangga yang berkumpul di depan warung kecil milik Bu Siti. Para ibu-ibu membicarakan nasib rumah tangga Gina dan Danu dengan nada sinis, seolah mereka tahu segalanya.“Laki-laki itu benar-benar tidak tahu diri,” kata Bu Siti sambil memotong tempe untuk dijual. “Istrinya banting tulang ke luar negeri, dia malah ongkang-ongkang kaki.”“Memangnya kamu nggak lihat? Salma hampir setiap hari ke kontrakannya. Kalau sudah begitu, siapa yang salah?” timpal salah satu tetangga, suaranya penuh curiga.Apa yang mereka katakan memang benar adanya. Dua orang itu memang tidak tahu diri. Salma sudah menebalkan telinga. Ia tidak akan peduli apa pun yang dikatakan orang-orang.Danu, yang kebetulan melewati warung itu, mendengar semua perkataan mereka. Namun, seperti biasa, ia memilih diam. Tatapannya kosong, kakinya melangkah
Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir
Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb
"Ck! Udah nggak ada uang lagi. Sepuluh ribu saja sisa uang celengan milik Gina!" Danu melempar celengan dari bahan kaleng yang dulu dibeli oleh sang istri.Gina memang punya kebiasaan memasukkan uang sisa belanja atau sengaja menyisihkan uang dalam celengan yang bisa dibuka. Celengan itu tidak dibawa oleh Gina, entah lupa atau sengaja. Uang dalam celengan itu digunakan Danu untuk bertahan hidup. Namun, perlahan, tetapi pasti uang itu habis. Sementara itu, sudah lebih dari satu bulan, tetapi Danu masih belum memberikan jawaban pasti. Salma mulai kehilangan kesabaran. Setiap kali mereka bertemu, tatapan matanya penuh harap, tetapi Danu hanya terdiam atau mengalihkan pembicaraan. Danu memang sengaja mengulur waktu hingga Gina mengirimkan uang. Namun, harapannya itu sia-sia, Gina tidak mengirim uang itu.Di dalam rumah kontrakan minimalisnya, Salma duduk di tepi jendela, memandangi langit malam yang pekat. Lampu-lampu kota berpendar di kejauhan, tetapi pikirannya berkecamuk. Ia sudah mer
Sudah hampir sebulan Gina berada di Jerman. Kota Berlin yang dingin dengan langit kelabu menjadi saksi bisu perjuangannya untuk memulai hidup baru. Meski pekerjaannya sebagai pelayan restoran terbilang berat, Gina tetap menjalani hari-harinya dengan tabah. Waktu senggangnya sering ia habiskan di kamar kecil apartemennya untuk video call dengan Putri, anak semata wayangnya yang kini diasuh oleh Reza dan istrinya. Gina sering kali harus menahan tangis karena menahan kerinduan pada buah hati."Bunda, aku di sini baik-baik saja. Aku juga sering diajak Om Reza ke taman kalo sore. Kami sambil makan."Kata-kata yang keluar dari mulut Putri dengan logat cadelnya membuat Gina harus menahan tangis. Ia merindukan sang anak. Hal terberat bagi Gina adalah meninggalkan Putri. Ada rasa bersalah yang luar biasa saat meninggalkan sang anak. Namun, itu harus dilakukan demi masa depan mereka berdua.Saat video call berlangsung, Putri tampak ceria seperti biasa. Anak kecil itu bercerita tentang mainan ba
Langit sore yang suram menambah kelam suasana di salah satu ruangan rumah sakit. Di dalam ruang tunggu VIP, kedua orang tua Aliyah duduk dengan wajah tegang dan penuh amarah. Pak Ridwan, ayah Aliyah, melipat tangan di depan dada, matanya menatap tajam ke arah Yulianti yang duduk di seberang mereka. Sementara itu, Bu Rina, ibu Aliyah, menahan napas dengan dada yang berdegup kencang, mencoba mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak.Suasana sangat mencekam, horor. Sebagai seorang ayah, Ridwan jelas tidak bisa menerima apa yang menimpa sang putri. Aliyah adalah anak semata wayang mereka. Mereka menyesal baru tahu jika kehidupan rumah tangga anak mereka tidak baik-baik saja. "Bu Yulianti," suara Pak Ridwan terdengar dingin. "Saya rasa percuma kita terus menunggu. Guntara sudah jelas tidak akan datang. Anda tahu sendiri dia sedang sibuk mengejar perempuan lain, bukan?"Yulianti terdiam. Wajahnya pucat, dan matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Tangannya meremas tisu yang h
Malam semakin larut ketika Guntara akhirnya tiba di parkiran rumah sakit. Ia mematikan mesin mobilnya dan duduk diam sejenak di balik kemudi. Di luar, lampu-lampu jalanan menerangi aspal yang basah akibat hujan ringan sebelumnya. Udara di dalam mobil terasa pengap, seolah menekan dadanya, namun bukan karena kurangnya ventilasi—melainkan karena beban pikiran yang menghantui."Pada akhirnya semua akan terbongkar dengan sendirinya. Aku muak dengan mereka semua. Mereka diam-diam jahat!" Guntara berbicara seorang diri sambil meremas rambut dengan kasar. Guntara sudah terlalu kecewa dengang sang ibu, Yulianti. Sangat kejam karena telah jahat pada Salma. Mereka sebenarnya tidak ada masalah. Kali ini Guntara merasa sangat menyesal dan perasaan bersalah pada Salma sangat menghantui hidupnya.Guntara menarik napas panjang. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk datang ke rumah sakit malam ini. Rasanya ada yang harus ia selesaikan, sesuatu yang tidak bisa menunggu. Aliyah pasti masih ada di
Suasana senja mulai merayap saat Guntara memarkir mobilnya di depan rumah. Wajahnya terlihat tegang, dengan rahang yang sesekali mengatup erat, menahan kemarahan yang masih membara. Pertemuannya dengan Salma di rumah itu tadi menjadi pemicu. Kata-kata Salma terus terngiang di kepalanya, menambah sesak di dadanya.Guntara bahkan tidak bisa menjawab ucapan Salma. Sang mantan istri sangat menolak ide gila. Menceraikan Aliyah akan ditempuh Guntara agar Salma mau rujuk. Namun, kenyataan berkata lain, Salma menolak mentah-mentah ide itu.'Apa dia juga nggak mikir kalo Danu masih sah secara hukum dan agama sebagai istri Gina? Bahkan Gina rela menjadi tulang punggung.' Danu hanya bisa berbicara dalam hati saja dengan penuh emosi. Namun, pemandangan yang menyambutnya di depan rumah membuat langkahnya terhenti. Yulianti, sang ibu, berdiri di dekat pagar dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya terlihat kesal, tetapi sorot matanya sangatlah tajam, seperti sedang mempersiapkan konfrontasi.
Pagi itu, Salma duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Sebuah jendela kecil di sisi ruangan memancarkan cahaya matahari yang hangat, tetapi tak cukup mengusir rasa dingin yang merayapi hatinya. Ia menatap cangkir teh di depannya yang sudah dingin sejak tadi. Pikirannya kalut, terutama setelah mendengar dari Danu bahwa Guntara mengetahui rencana mereka menikah secara agama. Salma tahu ini akan menjadi awal dari kekacauan yang baru.'Dia itu nggak bosan-bosannya bikin aku susah. Nggak mikir apa, udah punya istri. Dan parahnya istrinya lagi dirawat di rumah sakit!' Salma marah di dalam hati karena ulah sang mantan suami. Danu belum datang pagi itu, seperti biasa akan terlambat lagi. Salma menghela napas panjang, mencoba meredam rasa frustrasinya. Ia tahu Danu bukan sosok sempurna—pengangguran yang hanya mengandalkan kiriman dari Gina, istrinya yang bekerja di luar negeri. Entah kapan Gina akan mengiriminya uang, belum bisa dipastikan. Namun, Salma tetap bertahan. Bukan karena cin