Mas, kamu tahu nggak, semua harga kebutuhan kita naik semua. Beras, minyak, gas, token, bahkan tahu dan tempe juga ikan asin ikutan naik. Kamu usaha dong kerja lebih keras lagi! Kalo misal hanya jualan buah keliling saja nggak akan cukup. Lihat, mangga yang kamu bawa ke sana ke mari itu bahkan mau busuk!" Omelan Gina membuat Danu hanya bisa mengelus dada setiap pulang bekerja.Suara Gina menggelegar memenuhi rumah petak yang sengaja mereka sewa itu. Pertengkaran mereka sudah menjadi langganan. Tetangga hanya bisa diam karena tidak bisa memberikan solusi apa pun. Gina hanya ingin semua kebutuhan terpenuhi."Ya, kamu sabar dulu. Aku juga udah usaha maksimal." Danu berusaha tenang menanggapi omelan sang istri.Danu kini berusaha mengambil alih Putri semata wayangnya dari gendongan Gina. Anak mereka berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Gina dulu bekerja di pabrik, tetapi akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka. Orang tua Gina merasa keberatan jika
Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat."Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin."Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange."Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam."Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya."Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu.Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan teri
Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina."Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas."Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat."Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu
Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga. "Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bek
"Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l
Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh."Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar."Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang."Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana
Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Pagi itu, Gina berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya menerawang ke luar, memandang dedaunan yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, hatinya tidak tenang. Di tangannya, sebuah cangkir kopi yang sudah dingin digenggam tanpa minat. Pikiran Gina terus melayang pada sosok Danu. Sudah berhari-hari Danu tidak memberi kabar apa pun. Meski kadang pesan atau panggilan dari Danu diabaikan, tetapi Gina saat ini merasa sangat sakit. Apa yang dilakukan oleh Danu seolah membenarkan jika kabar kedekatan mereka benar. Ya, Salma sudah mengatakan semua beberapa waktu yang lalu. Gina meraba dada, sakit sekali rasanya.Gina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia bisa tenang? Di luar sana, desas-desus tentang kedekatan Danu dengan Salma terus menghantui pikirannya. Apakah gosip itu benar? Gina merasa hatinya seperti diremas. Ia mencoba percaya, mencoba berpikir bahwa semua itu hanya kebohongan. Namun, sikap Danu yang dingin dan menghindar membuat harapan
Sejak kejadian itu, Salma lebih sering menghabiskan waktu di kafe. Ada agenda tersendiri untuk pergi ke kafe. Jika hari kerja, maka sepulang kerja akan mendatangi kafe langganannya. Salma merasa tenang saat berada di tempat itu. Senja sudah menutup hari sejak lama ketika Salma melangkah keluar dari sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi masih melekat di udara, bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan. Langit berwarna oranye keemasan, dan angin sepoi-sepoi membuat rambut Salma sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang sejak tadi berputar-putar tentang langkah selanjutnya dalam rencananya.Namun, langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya. “Salma?”Salma menoleh perlahan. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas abu-abu rapi, wajahnya tak asing. Arif. Mata mereka bertemu sejenak, membawa kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Salma mengerutkan kening, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba diliputi rasa tak nyaman.“A
"Ibu kenapa hanya diam? Dulu, aku patuh ketika harus ikut melakukan hal buruk pada Mbak Salma. Sekarang, aku hanya minta, Ibu membantu bicara pada Mas Guntara tentang Mbak Salma. Mbak Salma tidak sebaik yang dikira oleh Mas Guntara, Bu. Ibu bisa melihat semua foto itu." Ucapan Aliyah jelas sangat mempengaruhi Yulianti saat itu.Malam itu, rumah Yulianti yang biasanya hangat kini terasa dingin. Lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang gelisah di dinding. Yulianti duduk di sofa, menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Sesekali, matanya menatap pintu depan seolah menunggu seseorang masuk. Napasnya terdengar berat, dan tangannya sedikit gemetar.Di lantai atas, Aliyah mengurung diri di kamar. Ia sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Foto yang tadi siang ditemukan masih tergenggam erat di tangannya, sementara pikirannya dipenuhi prasangka buruk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah benar Yulianti akan menasehati Guntara seperti yang dijanjikan? Namun, instin
"Aku sebenarnya tidak sudi untuk datang ke sini. Apa lagi, Gina sudah pulang ke rumah kami," kata Reza dengan nada dingin. Rumah kontrakan Gina dan Danu sore itu terasa begitu hening, tetapi udara di dalamnya seakan penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat. Reza, kakak pertama Gina, duduk dengan posisi tegap di karpet ruang tamu. Wajahnya memancarkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. Di meja di depannya, tergeletak selembar kertas kontrak kerja yang sudah ditandatangani Gina, menunggu persetujuan Danu. Gina tahu, jika meminta tanda tangan sang suami pasti akan dipersulit."Bang, tapi ini terlalu sulit untukku." Danu mencoba berkompromi dengan sang kakak ipar."Terlalu sulit? Kau yang sudah menyulitkan keadaan dan adikku," kata Reza dengan nada dingin dan rahang yang sudah mengeras. Danu duduk di hadapan Reza, tubuhnya bersandar lemas di dinding setengah permanen. Matanya terus terpaku pada kertas itu, tetapi pikirannya melayang. Ia merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan
"Gina nggak akan pergi kalo dia benar mencintai kamu, Danu. Rumah tangga itu wajar jika diuji dalam banyak hal. Ekonomi, anak, dan masih banyak lagi. Tapi, dia memilih untuk pergi. Apa itu pantas untuk dipertahankan?" Salma masih mengoceh saat Gina sudah pergi dari rumah kontrakan. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Danu saat ini. Danu tidak butuh ocehan yang tidak bermutu. Pikiran laki-laki itu mendadak menjadi lebih kacau. Danu duduk di ruang tamu rumah kontrakan yang sederhana, wajahnya terlihat gelap. Tangan kanan ayah Putri menggenggam segelas kopi yang sudah mulai dingin, sementara pikirannya terombang-ambing oleh kata-kata Salma yang terus terngiang. Ucapan wanita itu tadi siang masih menekan dadanya, membuat emosi yang selama ini ia coba tahan mulai mendidih perlahan. Bukan hanya memprovokasi, tetapi janda Guntara itu sengaja membuat kesalahpahaman Danu dan Gina semakin meruncing.“Kalau Gina benar-benar seorang istri yang baik, mana mungkin dia tega meninggalkan Putri?” Sal
"Aku nggak punya pilihan, Dan. Aku ingin mereka tahu. Aku serius sama kamu. Persetan dengan semua gosip murahan itu. Aku nggak peduli!"Ucapan Salma di telepon membuat Danu sakit kepala. Sekarang, bukan hanya menghadapi gosip-gosip murahan meski itu adalah kebenaran. Hal yang paling mengerikan adalah menghadapi keluarga besar Gina. Mereka tidak akan pernah tinggal diam.Danu duduk di karpet ruang tamu dengan napas berat. Lampu di rumahnya yang berwarna kuning redup semakin menambah kesan sunyi dan mencekam di tengah malam itu. Sepeda motor matic milik Salma terparkir di sudut ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding. Ponsel Danu masih digenggam erat di tangan kanannya, sementara layar ponsel menampilkan pesan terakhir dari Gina.Gina : "Kalau memang kamu lebih memilih Salma, kita bercerai saja. Aku sudah lelah, Mas Danu."Sudah sejak tiga setengah jam yang lalu pesan itu masuk. Danu baru saja membukanya. Ia terlalu sibuk melamun di atas motor Salma. Danu memikirkan bagaimana s
Langit mendung menggantung di atas rumah besar keluarga Guntara. Angin sepoi-sepoi bertiup membawa aroma hujan yang semakin mendekat. Di ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan mewah, Aliyah duduk di sofa dengan posisi tubuh tegap. Ia memandang lurus ke depan, wajahnya penuh ketenangan yang berlapis dengan kekecewaan mendalam. Sepasang suami dan istri itu tampak bersikap dingin satu dengan lainnya. Tangan Aliyah memegang sebuah ponsel dengan erat. Sebuah video yang dikirimkan oleh salah seorang kenalan keluarga menunjukkan Salma dan Danu yang sedang berbincang akrab di rumah orang tua Gina. Adegan itu terlalu jelas untuk dianggap sebagai upaya “membantu.” Bahkan, Salma tak segan meraih lengan Danu, sementara pria itu tak menolak.'Menyelesaikan masalah seperti apa yang dia maksud?' Aliyah tersenyum sinis setelah melihat video itu.Aliyah mendengar langkah kaki mendekat. Guntara baru saja pulang, masih mengenakan jas abu-abu gelap yang rapi. Wajahnya lelah, tetapi sorot matany
"Danu... aku hanya ingin jelaskan pada mereka. Aku nggak ingin ada yang menuduh kita. Meski apa yang kita lakukan itu salah. Ya, tapi percayalah, aku hanya ingin membantu agar kamu dan Gina tidak lagi seperti ini."Salma berhasil meyakinkan Danu malam itu. Nada bicara Salma sangat serius dan sangat meyakinkan. Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Danu pun setuju. Pagi harinya, Salma sudah siap dan berada di depan rumah kontrakan Danu.Pagi itu, suasana di rumah keluarga Gina terasa mencekam. Setelah peristiwa kedatangan Danu bersama Salma, keheningan yang semula menenangkan berubah menjadi penuh ketegangan. Gina duduk di ruang tengah dengan mata yang sembab, tangannya gemetar memegang cangkir teh yang sudah dingin. Ia belum bisa memercayai apa yang baru saja terjadi. Danu, pria yang dulu ia percayai sepenuh hati, benar-benar menghancurkan sisa-sisa kepercayaan yang masih ia coba pertahankan.Di sudut ruangan, Reza berdiri dengan kedua tangannya terlipat di dada, sorot matanya penuh
Langit sore di sekitar kontrakan Danul itu berwarna keemasan, tetapi suasana hatinya tak seindah pemandangan yang terbentang. Danu duduk di teras rumahnya, kedua tangan bersilang di dada, napasnya tersengal karena emosi yang masih membara. Ia baru saja selesai menghadapi beberapa tetangga yang gemar menguliti masalah orang lain. Danu tidak suka jika banyak orang yang 'sok' tahu perihal masalah rumah tangganya bersama Gina. "Kamu itu laki-laki, Danu! Harus tegas! Kalau istrimu pergi, cari dan bawa pulang, bukannya diam saja!" ujar salah satu tetangga dengan nada menghakimi beberapa menit yang lalu."Kalian itu tidak punya hak untuk mengaturku. Cukup kalian tahu, urus saja masalah kalian!" Danu mengatakan dengan nada tinggi dan tidak bersahabat sama sekali. Ucapan itu membuat Danu hilang kesabaran. Mata gelapnya menyapu wajah orang-orang yang berkerumun di dekat pagar rumahnya. Ia berdiri dengan gerakan kasar, menjatuhkan kursi plastik di belakangnya. Amukan Danu membuat orang-orang d