Melody meraba sisi ranjang di sampingnya yang ternyata kosong. Netra kecokelatannya spontan terbuka dan menyipit menatap sekitarnya. Suaminya tak terlihat di mana pun dan toilet yang tersedia di kamar mereka pun terbuka. Artinya lelaki itu tak ada di sana. Walaupun masih setengah mengantuk, Melody memilih bangkit dari ranjang dan beranjak keluar kamar. Ia penasaran di mana suaminya berada saat ini. Atau lelaki itu pergi tiba-tiba setelah dirinya tertidur? Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Feelingnya menuntun Melody melangkah ke arah dapur. Seluruh tempat yang dilewatinya sangat sepi, tetapi tak membuatnya mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah. Ia tidak tahu jam berapa saat ini, namun sepertinya sudah memasuki waktu dini hari. “Kenapa tiba-tiba Mommy lapar ya, Sayang? Apa kamu juga lapar?” gumam Melody sembari mengelus perutnya. “Ayo kita cari makanan di dapur, siapa tahu ada yang bisa langsung dimakan tanpa harus dimasak dulu.” Prang! Melody berjingkat kaget ketika men
“Kita duduk di sana supaya lebih enak ngobrolnya,” ucap Melisa seraya menunjuk bangku taman yang tersedia di bawah pohon rindang. Wanita paruh baya itu langsung melanjutkan langkah dengan tangan yang masih menggandeng lengan Melody. “Ini tentang guru les Nathan. Sebenarnya Mama tidak mau ikut campur, tapi ini lumayan mengganjal dan Mama ingin bertanya langsung sama kamu. Kenapa kamu memilih perempuan seperti itu menjadi guru les Nathan?” tanya Melisa dengan suara pelan. “Mama memang baru beberapa kali bertemu dengannya. Tapi, Mama merasa ada yang aneh dari sikapnya selama Mama berada di sini. Entah ini hanya perasaan Mama saja atau bagaimana,” imbuh wanita paruh baya itu lagi. “Bukan aku yang memilihnya, Ma. Waktu itu Khaysan tiba-tiba datang bersama Lidya dan mengatakan kalau Lidya akan menjadi guru les Nathan. Aku tidak mau banyak protes karena belum tahu bagaimana kinerjanya,” jawab Melody dengan senyum tipis. Melody tak menyangka Melisa akan membahas mengenai Lidya. Ibu mertuan
[“Melody, kamu sudah menemukan mapnya?”] Sekali lagi Khaysan melontarkan pertanyaan yang sama karena Melody hanya diam dan tak menjawab pertanyaan sebelumnya. Suara Khaysan seakan tak dapat menembus indra pendengaran Melody. Wanita itu masih mematung melihat sesuatu yang tak sengaja ia temukan di laci meja kerja suaminya. Tanpa sadar ia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengeluarkan setumpuk kertas yang sedari tadi mencuri perhatiannya. Foto pernikahan pertamanya dengan Khaysan berada di tangan Melody sekarang. Bukan hanya itu saja, yang lebih mengejutkan adalah ketika ia menemukan foto tempat tinggalnya ketika melarikan diri ke Singapura selama beberapa bulan. Lalu, berlanjut dengan kediamannya ketika berada di Surabaya selama beberapa tahun terakhir. Manik matanya semakin melebar sempurna saat mendapati foto-foto Nathan ketika baru lahir. Benar-benar baru lahir dan masih berada di rumah sakit. Bahkan, Melody pun tak memiliki foto-foto itu. Di gambar-gambar itu juga tertera ala
“Kamu pernah melihatnya di mana? Apa dia orang yang pernah mengikutimu waktu itu?” tanya Khaysan sembari menoleh ke samping. Melody menggeleng samar. “Aku tidak ingat pernah bertemu di mana dengannya. Tapi, wajahnya seperti familiar. Entah mungkin hanya mirip saja atau kami pernah berpapasan di restoran itu. Aku sering ke sana sebelumnya, jadi mungkin kami pernah bertemu.” Melody berusaha mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan orang yang berbaring di brankar rumah sakit itu. Namun, ingatannya tak bisa diajak berkompromi. Ia hanya merasa pernah bertemu orang itu, tetapi entah benar atau tidak. Khaysan mengangguk samar. “Ya, mungkin kalian pernah bertemu di restoran itu sebelumnya. Tapi, kalau kamu mengingat sesuatu, langsung katakan padaku. Mungkin saja itu bisa mempermudah mencari dalang yang menggerakkannya.” “Bisa saja ada orang yang sudah lama mengincarmu. Kejadian di restoran kemarin mempermudah rencananya. Ketika menemukan dalangnya nanti, aku pastikan hidupnya tidak
“Kenapa telunjukmu? Tergores sesuatu? Kapan kamu terluka? Sudah diobati atau belum?” cerca Khaysan yang langsung meraih tangan Melody yang sedang memasang dasi di lehernya dan menelitinya dari jarak dekat. Melody yang tadinya hendak menarik tangannya mendadak mengurungkan niat. Ia mengernyit heran dan berpura-pura mengecek telunjuknya juga. “Benarkah? Aku tidak tahu. Sepertinya tak sengaja tergores sesuatu. Tidak sakit juga. Aku malah baru sadar kalau jariku terluka.”Untung saja Melody tidak membungkus luka di jarinya menggunakan plester. Jadi, setidaknya ia masih bisa beralibi. Melody hanya menggunakan obat merah untuk mengobati jemarinya yang terluka. Obatnya pun sudah menghilang karena dirinya hanya memakai sekali kemarin. Khaysan tidak mengetahui kekacauan kecil yang Melody lakukan di dapur kemarin. Jika lelaki itu tahu, pasti akan banyak aturan yang Khaysan ciptakan. Lagipula itu hanya luka kecil yang diakibatkan oleh kecerobohannya sendiri. Khaysan menatap sang istri dengan k
‘Kamu akan mati jika kamu bertahan di sana' Melody spontan meremas kertas yang ada di tangannya dengan ekspresi syok bukan main dan wajah pucat pasi. Debar jantungnya semakin menggila sampai terasa menyakitkan. Ia gemetar ketakutan dengan manik mata yang tak berhenti bergulir, khawatir ada ancaman yang kembali datang. Entah siapa yang melempar batu beserta tulisan mengerikan itu. Bukan hanya isinya, tulisan itu juga diberi warna semerah darah, seolah sengaja membuatnya semakin tampak menakutkan. Melody benar-benar merasa tak memiliki musuh, tetapi entah kenapa belakangan ini banyak teror yang berdatangan padanya. TOK! TOK! TOK! “Melody! Apa kamu masih di dalam? Keluarlah! Buka pintunya!” seru Melisa yang menggedor pintu kamar Melody sekuat tenaga. Ia hendak membuka pintu, namun pintu itu terkunci dari dalam. “Tidak ada jawaban, bagaimana ini?” “Nyonya, bagaimana kalau kami dobrak saja? Sepertinya Nyonya Melody memang masih berada di dalam.” “Kalau begitu cepat dobrak! Menantu say
“Darimana kamu mendapat kertas ini?” tanya Khaysan dengan nada tak sabaran. Ancaman yang tertera pada kertas tersebut kontan menyulut emosinya. Tanpa sadar Khaysan pun meremas selembar kertas yang baru saja diberikan oleh Melody. “Kertas itu membungkus batu yang dilempar ke kamar kita. Aku yakin penyerangan ini ada hubungannya denganku.” Tadinya Melody tak ingin langsung memberitahu suaminya. Tetapi, setelah dipikirkan lagi, lebih baik lelaki itu tahu secepatnya. Melody khawatir teror itu semakin berkelanjutan. Apalagi jika seperti tadi, siapa saja bisa menjadi korban walaupun sebenarnya yang mereka incar adalah dirinya. Melody tak mau membuat banyak orang dalam bahaya karena dirinya. Melody yakin orang yang menerornya tidak akan berhenti sampai di sini saja. Pasti ada rencana-rencana busuk lainnya yang akan orang itu lakukan. Entah hanya menyerang dirinya saja atau menyerang semua orang seperti ini. “Kenapa kamu mengambilnya? Bagaimana ada serangan lagi setelah itu?! Kamu bisa cel
Setelah menerima kabar mengejutkan itu, Melody dan Khaysan langsung bertolak ke rumah sakit. Sebenarnya Khaysan tak mengizinkan Melody ikut, namun Melody memaksa ingin ikut dan akhirnya lelaki itu menurutinya. Ketika mereka tiba di rumah sakit, sang tersangka sudah dipindahkan ke ruangan lain. Orang itu benar-benar sudah tidak bernyawa. Meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Sebab, sejak awal tak ada yang sempat bertanya apa pun. Orang-orang Khaysan tak sempat mencari tahu siapa yang menggerakkan orang itu karena tempat tinggal bahkan isi ponselnya bersih dari bukti yang diperlukan. Entah karena sang tersangka memang serapih itu atau karena ada orang lain yang membereskan semuanya. “Kenapa semuanya malah semakin rumit? Kalau begini, bagaimana caranya kita tahu dalang dari kekacauan ini?” gumam Melody dengan helaan napas kasar. Ia memijat kepalanya yang pening. Teka-teki ini benar-benar sulit terpecahkan. “Dia tidak mungkin tiba-tiba terkena serangan jantung