Melody mengerang kesakitan sembari memegang perutnya. Perutnya terasa kaku dan seakan dicengkram oleh sesuatu. Wanita itu spontan berpegangan pada sebuah meja yang kebetulan ada di dekatnya. Namun, hal itu tak banyak membantu karena lantai yang sangat licin. Khaysan yang hendak memasuki dapur langsung menahan Melody yang nyaris menghantam lantai. Kekhawatiran tampak sangat jelas dari wajahnya. Lelaki itu sudah bersiap mengangkat tubuh Melody, namun sang empunya langsung mencegah. “A-aku baik-baik saja,” ucap Melody yang masih berpegangan pada lengan sang suami sedangkan satu tangan lagi mencengkeram meja. Nyeri di perutnya perlahan berkurang dan akhirnya menghilang. Setelah tak terasa lagi, ia langsung kembali menegakkan tubuhnya. “Kamu yakin? Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang. Atau kamu mau dokternya aku panggil ke sini saja?” Khaysan masih terlihat tak percaya jika Melody sudah baik-baik saja. Apalagi istrinya masih sesekali meringis. Melody mengusap sudut matanya yang sedi
Melody meraba sisi ranjang di sampingnya yang ternyata kosong. Netra kecokelatannya spontan terbuka dan menyipit menatap sekitarnya. Suaminya tak terlihat di mana pun dan toilet yang tersedia di kamar mereka pun terbuka. Artinya lelaki itu tak ada di sana. Walaupun masih setengah mengantuk, Melody memilih bangkit dari ranjang dan beranjak keluar kamar. Ia penasaran di mana suaminya berada saat ini. Atau lelaki itu pergi tiba-tiba setelah dirinya tertidur? Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Feelingnya menuntun Melody melangkah ke arah dapur. Seluruh tempat yang dilewatinya sangat sepi, tetapi tak membuatnya mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah. Ia tidak tahu jam berapa saat ini, namun sepertinya sudah memasuki waktu dini hari. “Kenapa tiba-tiba Mommy lapar ya, Sayang? Apa kamu juga lapar?” gumam Melody sembari mengelus perutnya. “Ayo kita cari makanan di dapur, siapa tahu ada yang bisa langsung dimakan tanpa harus dimasak dulu.” Prang! Melody berjingkat kaget ketika men
“Kita duduk di sana supaya lebih enak ngobrolnya,” ucap Melisa seraya menunjuk bangku taman yang tersedia di bawah pohon rindang. Wanita paruh baya itu langsung melanjutkan langkah dengan tangan yang masih menggandeng lengan Melody. “Ini tentang guru les Nathan. Sebenarnya Mama tidak mau ikut campur, tapi ini lumayan mengganjal dan Mama ingin bertanya langsung sama kamu. Kenapa kamu memilih perempuan seperti itu menjadi guru les Nathan?” tanya Melisa dengan suara pelan. “Mama memang baru beberapa kali bertemu dengannya. Tapi, Mama merasa ada yang aneh dari sikapnya selama Mama berada di sini. Entah ini hanya perasaan Mama saja atau bagaimana,” imbuh wanita paruh baya itu lagi. “Bukan aku yang memilihnya, Ma. Waktu itu Khaysan tiba-tiba datang bersama Lidya dan mengatakan kalau Lidya akan menjadi guru les Nathan. Aku tidak mau banyak protes karena belum tahu bagaimana kinerjanya,” jawab Melody dengan senyum tipis. Melody tak menyangka Melisa akan membahas mengenai Lidya. Ibu mertuan
[“Melody, kamu sudah menemukan mapnya?”] Sekali lagi Khaysan melontarkan pertanyaan yang sama karena Melody hanya diam dan tak menjawab pertanyaan sebelumnya. Suara Khaysan seakan tak dapat menembus indra pendengaran Melody. Wanita itu masih mematung melihat sesuatu yang tak sengaja ia temukan di laci meja kerja suaminya. Tanpa sadar ia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengeluarkan setumpuk kertas yang sedari tadi mencuri perhatiannya. Foto pernikahan pertamanya dengan Khaysan berada di tangan Melody sekarang. Bukan hanya itu saja, yang lebih mengejutkan adalah ketika ia menemukan foto tempat tinggalnya ketika melarikan diri ke Singapura selama beberapa bulan. Lalu, berlanjut dengan kediamannya ketika berada di Surabaya selama beberapa tahun terakhir. Manik matanya semakin melebar sempurna saat mendapati foto-foto Nathan ketika baru lahir. Benar-benar baru lahir dan masih berada di rumah sakit. Bahkan, Melody pun tak memiliki foto-foto itu. Di gambar-gambar itu juga tertera ala
“Kamu pernah melihatnya di mana? Apa dia orang yang pernah mengikutimu waktu itu?” tanya Khaysan sembari menoleh ke samping. Melody menggeleng samar. “Aku tidak ingat pernah bertemu di mana dengannya. Tapi, wajahnya seperti familiar. Entah mungkin hanya mirip saja atau kami pernah berpapasan di restoran itu. Aku sering ke sana sebelumnya, jadi mungkin kami pernah bertemu.” Melody berusaha mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan orang yang berbaring di brankar rumah sakit itu. Namun, ingatannya tak bisa diajak berkompromi. Ia hanya merasa pernah bertemu orang itu, tetapi entah benar atau tidak. Khaysan mengangguk samar. “Ya, mungkin kalian pernah bertemu di restoran itu sebelumnya. Tapi, kalau kamu mengingat sesuatu, langsung katakan padaku. Mungkin saja itu bisa mempermudah mencari dalang yang menggerakkannya.” “Bisa saja ada orang yang sudah lama mengincarmu. Kejadian di restoran kemarin mempermudah rencananya. Ketika menemukan dalangnya nanti, aku pastikan hidupnya tidak
“Kenapa telunjukmu? Tergores sesuatu? Kapan kamu terluka? Sudah diobati atau belum?” cerca Khaysan yang langsung meraih tangan Melody yang sedang memasang dasi di lehernya dan menelitinya dari jarak dekat. Melody yang tadinya hendak menarik tangannya mendadak mengurungkan niat. Ia mengernyit heran dan berpura-pura mengecek telunjuknya juga. “Benarkah? Aku tidak tahu. Sepertinya tak sengaja tergores sesuatu. Tidak sakit juga. Aku malah baru sadar kalau jariku terluka.”Untung saja Melody tidak membungkus luka di jarinya menggunakan plester. Jadi, setidaknya ia masih bisa beralibi. Melody hanya menggunakan obat merah untuk mengobati jemarinya yang terluka. Obatnya pun sudah menghilang karena dirinya hanya memakai sekali kemarin. Khaysan tidak mengetahui kekacauan kecil yang Melody lakukan di dapur kemarin. Jika lelaki itu tahu, pasti akan banyak aturan yang Khaysan ciptakan. Lagipula itu hanya luka kecil yang diakibatkan oleh kecerobohannya sendiri. Khaysan menatap sang istri dengan k
‘Kamu akan mati jika kamu bertahan di sana' Melody spontan meremas kertas yang ada di tangannya dengan ekspresi syok bukan main dan wajah pucat pasi. Debar jantungnya semakin menggila sampai terasa menyakitkan. Ia gemetar ketakutan dengan manik mata yang tak berhenti bergulir, khawatir ada ancaman yang kembali datang. Entah siapa yang melempar batu beserta tulisan mengerikan itu. Bukan hanya isinya, tulisan itu juga diberi warna semerah darah, seolah sengaja membuatnya semakin tampak menakutkan. Melody benar-benar merasa tak memiliki musuh, tetapi entah kenapa belakangan ini banyak teror yang berdatangan padanya. TOK! TOK! TOK! “Melody! Apa kamu masih di dalam? Keluarlah! Buka pintunya!” seru Melisa yang menggedor pintu kamar Melody sekuat tenaga. Ia hendak membuka pintu, namun pintu itu terkunci dari dalam. “Tidak ada jawaban, bagaimana ini?” “Nyonya, bagaimana kalau kami dobrak saja? Sepertinya Nyonya Melody memang masih berada di dalam.” “Kalau begitu cepat dobrak! Menantu say
“Darimana kamu mendapat kertas ini?” tanya Khaysan dengan nada tak sabaran. Ancaman yang tertera pada kertas tersebut kontan menyulut emosinya. Tanpa sadar Khaysan pun meremas selembar kertas yang baru saja diberikan oleh Melody. “Kertas itu membungkus batu yang dilempar ke kamar kita. Aku yakin penyerangan ini ada hubungannya denganku.” Tadinya Melody tak ingin langsung memberitahu suaminya. Tetapi, setelah dipikirkan lagi, lebih baik lelaki itu tahu secepatnya. Melody khawatir teror itu semakin berkelanjutan. Apalagi jika seperti tadi, siapa saja bisa menjadi korban walaupun sebenarnya yang mereka incar adalah dirinya. Melody tak mau membuat banyak orang dalam bahaya karena dirinya. Melody yakin orang yang menerornya tidak akan berhenti sampai di sini saja. Pasti ada rencana-rencana busuk lainnya yang akan orang itu lakukan. Entah hanya menyerang dirinya saja atau menyerang semua orang seperti ini. “Kenapa kamu mengambilnya? Bagaimana ada serangan lagi setelah itu?! Kamu bisa cel
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa ada di sini? Siapa yang memberitahumu?” tanya Melody yang menatap David dengan sorot tak percaya. Melody merasa tak pernah memberitahu lokasinya pada David. Sebab, Khaysan pasti semakin kesal jika ia sampai berani memberitahu David di mana lokasi mereka. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba mengetahui di mana keberadaannya. “Melody, bisakah kamu membantuku agar boleh masuk? Anak buah suamimu ini sangat menyebalkan!” gerutu David yang sedang berusaha melepaskan diri dari kedua anak buah suaminya yang menghadangnya. “Nathan yang memberitahuku tempatnya berada. Kebetulan aku ada waktu luang, jadi aku menyempatkan datang.”Melody semakin terkejut dan panik. Setelah memberikan ponselnya pada Nathan, ia tidak terlalu mendengarkan apa saja obrolan putranya dengan David. Dirinya tidak menyadari kapan Nathan memberitahu lokasi mereka dan kapan David menjanjikan akan datang kemari. Kemarin Melody membiarkan Nathan yang mematikan telepon tersebut. Seanda
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
“Eh, bagaimana, Sayang?” Melody berbalik bertanya, takut salah dengar. Sebenarnya Melody sudah mendengar dengan jelas tentang permintaan Nathan barusan. Akan tetapi, ia tidak bisa serta merta mengikuti keinginan sang putra. Jika Nathan meminta seperti ini di tahun-tahun sebelumnya, ia pasti langsung menuruti. Sedangkan sekarang ada Khaysan yang terang-terangan tidak menyukai apa pun yang berhubungan dengan David. Sudah lama sekali Nathan tidak menanyakan tentang David. Apalagi berkomunikasi secara langsung. Namun, hanya berselang beberapa jam setelah bocah itu sadarkan diri dari tidur panjangnya, permintaan pertamanya malah seperti ini. Sepertinya Nathan sangat merindukan David karena biasanya anaknya selalu bergantung pada lelaki itu. “Nathan boleh video call sama Uncle Dave sebentar saja? Biasanya Uncle Dave yang video call duluan, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi. Apa Uncle Dave sangat sibuk?” Nathan kembali mengulang permintaannya dengan ekspresi agak cemberut seolah kesal
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi se
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya.Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu.Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari.Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, jadi