Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa ada di sini? Siapa yang memberitahumu?” tanya Melody yang menatap David dengan sorot tak percaya. Melody merasa tak pernah memberitahu lokasinya pada David. Sebab, Khaysan pasti semakin kesal jika ia sampai berani memberitahu David di mana lokasi mereka. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba mengetahui di mana keberadaannya. “Melody, bisakah kamu membantuku agar boleh masuk? Anak buah suamimu ini sangat menyebalkan!” gerutu David yang sedang berusaha melepaskan diri dari kedua anak buah suaminya yang menghadangnya. “Nathan yang memberitahuku tempatnya berada. Kebetulan aku ada waktu luang, jadi aku menyempatkan datang.”Melody semakin terkejut dan panik. Setelah memberikan ponselnya pada Nathan, ia tidak terlalu mendengarkan apa saja obrolan putranya dengan David. Dirinya tidak menyadari kapan Nathan memberitahu lokasi mereka dan kapan David menjanjikan akan datang kemari. Kemarin Melody membiarkan Nathan yang mematikan telepon tersebut. Seanda
“Kamu yakin janin itu milikku?” tanya Khaysan Hutomo dengan sebelah alis terangkat. Senyum lebar yang semula menghiasi wajah Melody perlahan meredup hingga akhirnya lenyap tak bersisa. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, seakan tak percaya pada pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut suaminya sendiri. Melody masih bergeming, menunggu sang suami meralat pertanyaan sadis itu. Tetapi, Khaysan hanya diam dengan tatapan yang menyorot sinis ke arahnya. Menatapnya bagaikan seorang tersangka yang baru saja melakukan perbuatan tercela. Melody semakin mencelos ketika Khaysan melempar alat tes kehamilan yang baru saja dirinya berikan di atas meja tepat di sampingnya. Seakan-akan benda itu hanyalah seonggok sampah yang tidak berguna. Ketika lelaki itu hendak beranjak pergi, buru-buru Melody mengejar. “Khaysan, Tunggu dulu! Kenapa kamu tega menanyakan hal seperti itu? Kamu meragukan aku? Apa aku sehina itu di matamu?!” sembur Melody yang tanpa sadar meninggikan suaranya.
“Tidak perlu memasang ekspresi sedih seperti itu. Aku tahu sebenarnya kamu senang. Setelah kita resmi berpisah, kamu bisa melakukan apa pun dengan selingkuhanmu.” Setelah mengatakan itu, Khaysan benar-benar pergi dari sana tanpa menoleh lagi. Melody berusaha lebih keras untuk kembali bangkit, tetapi dirinya malah terduduk lagi. Beberapa pelayan yang sedari tadi hanya berani mengintip akhirnya mulai bergerak dan membantu sang nyonya berdiri. Tanpa menanggapi pertanyaan para pelayan yang menanyakan bagaimana keadaannya, Melody langsung mengejar Khaysan dengan langkah tertatih-tatih. Wanita itu menggedor jendela mobil sang suami, berharap suaminya bersedia keluar. Namun, lelaki itu malah menyalakan mesin mobil dan pergi tanpa memedulikan dirinya. Melody terduduk di tanah dengan tangis yang kembali pecah. Angin malam yang menusuk tulangnya tak sebanding dengan nyeri yang berdenyut-denyut di dadanya. Lama-kelamaan tangis Melody berhenti dengan sendirinya. Namun, ia masih bergeming di
Surat perceraian. Itu kalimat pertama yang terpampang di posisi paling atas ketika Melody membuka map tersebut. Manik matanya menatap nanar ke arah tandatangan sang suami yang sudah ada di sana. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya perceraian kalian sudah diurus sejak beberapa minggu lalu. Aku yang membantu mengurus perceraian ini atas permintaan suamimu sendiri. Sekaligus mencari bukti perselingkuhan yang kamu lakukan,” beber Emily yang masih belum menghilang senyum penuh kemenangan di wajahnya. Pernyataan itu membuat Melody sontak mengangkat kepala dengan tatapan semakin tajam. “Jadi, kamu yang memberikan foto-foto itu pada suamiku?! Apa saja yang sudah kamu katakan sampai membuatnya salah paham?!”“Aku hanya mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Lagipula, meski tanpa foto-foto itu, Khaysan akan tetap menceraikan dirimu. Dia sendiri yang mengatakan sudah muak dengan sikapmu.” Lagi, Emily sengaja semakin menggores hati Melody dengan kalimat pedasnya. “Apa kamu tidak bisa menc
“Apa?! Leukemia?” lirih Melody yang spontan melirik nanar ke arah Nathan—putra kecilnya yang sedang terlelap di atas ranjang rumah sakit. Melody tak menyangka jika sakit yang diderita oleh putranya akan separah ini. Rasa bersalah yang amat pekat menyelubungi dadanya. Jika saja dirinya tidak sibuk bekerja, mungkin saja kesehatan Nathan dapat terkontrol dengan baik. Nathaniel, putranya yang baru berusia 5 tahun harus mengalami cobaan yang begitu berat. Bocah itu mengidap penyakit yang sama dengan yang diderita oleh ibu Melody dulu. Penyakit yang akhirnya merenggut sang ibu dari sisinya. “Betul, Bu. Sayangnya, peralatan di rumah sakit ini kurang memadai dan khawatirnya akan menghambat pengobatan Nathan. Saya menyarankan agar Nathan diobati di Jakarta, agar bisa mendapatkan perawatan maksimal. Semua keputusan ada di tangan Ibu,” sahut dokter spesialis anak itu. “Kalau Bu Melody setuju, saya akan membuatkan surat rujukan secepatnya. Saya juga memiliki beberapa rekomendasi yang bisa
“Kamu pasti mengenal Khaysan Hutomo, ‘kan? Sebulan yang lalu kami bertunangan dan rencananya 3 bulan lagi kami akan menikah. Aku harap kamu akan datang.” Rosetta kembali membuka suara tanpa menyadari perubahan yang signifikan dari ekspresi Melody dan Khaysan. Setelah keterkejutannya berkurang, Melody berusaha kembali memasang senyum di wajahnya. “Tentu saja, saya akan datang, Bu. Selamat atas pertunangannya dan semoga persiapan pernikahan kalian berjalan lancar.”Tentu saja Melody tidak akan sudi mendatangi acara pernikahan itu. Bukan karena dirinya belum bisa melupakan masa lalu. Namun, ia tidak mau membuang waktunya yang berharga hanya untuk mendatangi pesta pernikahan mantan suaminya sendiri. Sejak Melody memutuskan pergi waktu itu, ia tidak pernah lagi mengetahui bagaimana kabar Khaysan. Lebih tepatnya memang sengaja menutup akses dari informasi apa pun yang berkaitan dengan lelaki itu. Nyatanya, Khaysan memang baik-baik saja selama ini. Bahkan, sebentar lagi akan melangsun
Kata-kata terakhir yang Khaysan lontarkan membuat Melody spontan menoleh ke belakang. Air mukanya tampak menegang sempurna. Dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya, wanita itu kembali bergerak mendekati mantan suaminya. “Apa? Mengembalikan anakmu?” “Sepertinya ada yang salah dengan ingatanmu, ya? Apa kamu lupa kalau kamu sangat yakin aku selingkuh dan mengandung anak David, ‘kan? Anak yang mana lagi yang kamu maksud?” imbuh wanita itu dengan senyum sinis. “Mungkin yang kamu maksud adalah anakmu dengan tunanganmu yang sekarang? Bukankah beberapa bulan lagi kalian akan menikah?” Tanpa memberi kesempatan bagi Khaysan untuk menyahut, Melody kembali bersuara. Setelah apa yang Khaysan lakukan 6 tahun silam, Melody tidak akan pernah menyerahkan putra semata wayangnya pada lelaki itu. Bahkan, mempertemukan keduanya pun tak akan pernah ia lakukan. Bertahun-tahun telah berlalu dan sekarang tiba-tiba Khaysan seenaknya menginginkan Nathan. Hati Melody terlanjur sakit dan hancur atas perl
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa ada di sini? Siapa yang memberitahumu?” tanya Melody yang menatap David dengan sorot tak percaya. Melody merasa tak pernah memberitahu lokasinya pada David. Sebab, Khaysan pasti semakin kesal jika ia sampai berani memberitahu David di mana lokasi mereka. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba mengetahui di mana keberadaannya. “Melody, bisakah kamu membantuku agar boleh masuk? Anak buah suamimu ini sangat menyebalkan!” gerutu David yang sedang berusaha melepaskan diri dari kedua anak buah suaminya yang menghadangnya. “Nathan yang memberitahuku tempatnya berada. Kebetulan aku ada waktu luang, jadi aku menyempatkan datang.”Melody semakin terkejut dan panik. Setelah memberikan ponselnya pada Nathan, ia tidak terlalu mendengarkan apa saja obrolan putranya dengan David. Dirinya tidak menyadari kapan Nathan memberitahu lokasi mereka dan kapan David menjanjikan akan datang kemari. Kemarin Melody membiarkan Nathan yang mematikan telepon tersebut. Seanda
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
“Eh, bagaimana, Sayang?” Melody berbalik bertanya, takut salah dengar. Sebenarnya Melody sudah mendengar dengan jelas tentang permintaan Nathan barusan. Akan tetapi, ia tidak bisa serta merta mengikuti keinginan sang putra. Jika Nathan meminta seperti ini di tahun-tahun sebelumnya, ia pasti langsung menuruti. Sedangkan sekarang ada Khaysan yang terang-terangan tidak menyukai apa pun yang berhubungan dengan David. Sudah lama sekali Nathan tidak menanyakan tentang David. Apalagi berkomunikasi secara langsung. Namun, hanya berselang beberapa jam setelah bocah itu sadarkan diri dari tidur panjangnya, permintaan pertamanya malah seperti ini. Sepertinya Nathan sangat merindukan David karena biasanya anaknya selalu bergantung pada lelaki itu. “Nathan boleh video call sama Uncle Dave sebentar saja? Biasanya Uncle Dave yang video call duluan, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi. Apa Uncle Dave sangat sibuk?” Nathan kembali mengulang permintaannya dengan ekspresi agak cemberut seolah kesal
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi se
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya.Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu.Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari.Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, jadi