Ponsel Khaysan berdering bersamaan dengan meetingnya yang telah berakhir. Nama Melody tertera di sana dan ia pun langsung menekan ikon hijau sembari membereskan barang-barangnya di ruang meeting. “Bagaimana jalan-jalannya? Kalian pergi ke—” Suara tangis Nathan yang berbaur dengan sayup-sayup suara banyak orang langsung tertangkap oleh indra pendengaran Khaysan. Ia yang telah keluar dari ruang meeting spontan menghentikan langkah. “Apa yang terjadi di sana, Nak? Kenapa kamu menangis?” Firasat buruk langsung menyerang Khaysan. Sedari tadi ia memang telah merasakan keanehan. Apalagi ketika tak sengaja menjatuhkan gelas di ruang kerjanya. “Nathan, kenapa kamu menangis? Di mana Mommy?” Khaysan bersuara lebih keras karena sang putra tak kunjung menjawab. [“Daddy, Mommy pingsan dan berdarah! Nathan sudah membangunkan Mommy tapi Mommy tidak bangun! Nathan takut.”] “Apa? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?” Ekspresi Khaysan kontan berubah drastis. Kecemasan terlihat sangat jelas dari wajahny
“Jangan asal menuduh kalau kamu tidak punya bukti! Aku belum datang, bagaimana caranya aku mencelakai Melody?” balas David yang tak terima Khaysan langsung menghakiminya begitu saja. Lelaki itu kembali menegakkan tubuhnya dengan tatapan berkobar. “Kamu tidak perlu datang, kamu bisa memerintah siapa pun melakukannya!” sahut Khaysan tak mau kalah. Kedua tangan lelaki itu masih terkepal di sisi tubuhnya. Bersiap kembali memberi bogem mentah pada David. “Kalau aku memang ingin melenyapkan anakmu, aku sudah melakukannya sejak dulu! Kamu tidak akan bisa melihat anakmu, apalagi kembali bersama Melody! Kamu yang membuang mereka, jangan berlagak seperti tak pernah berbuat dosa!” balas David lantang. Tak peduli suaranya mungkin didengar oleh orang tak berpentingan. Melody yang sedari tadi berusaha menggerakkan tubuhnya untuk melerai perkelahian Khaysan dan David, tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk digerakkan. Ditambah lagi perutnya juga masih berdenyut-denyut. Ada an
Kedatangan Argani menyebabkan suasana yang tadinya hangat langsung berubah dingin dan senyap. Khaysan sudah turun dari brankar yang Melody tempati dan memilih berdiri di samping ranjang. Tadinya ingin mempersilakan sang ayah mertua duduk, namun pria paruh baya itu masih bergeming di tengah-tengah ruangan. “Aku yang memberitahunya kalau kamu masuk rumah sakit,” bisik Khaysan sebelum turun dari ranjang Melody tadi. Walaupun sudah mendapat kabar tentang Melody yang masuk rumah sakit, kedatangan Argani sangat tidak disangka-sangka. Sebab, selama ini pria paruh baya itu tampak sangat cuek terhadap apa pun yang berhubungan dengan Melody. Jika hubungan mereka baik, Melody pasti menyambut kedatangan ayahnya dengan suka cita. Tak ragu menyapa dan membicarakan apa pun. Sayangnya, semuanya tak semudah itu karena selama ini sang ayah lebih banyak menyalahkannya dalam segala hal. Bahkan ketika menghadiri pernikahan keduanya dengan Khaysan, Argani tampak agak keberatan dan lebih banyak bertelepo
“Jadi, kamu lebih membutuhkan dia daripada aku?” tutur Khaysan dengan senyum miring. “Pantas saja kamu tidak bisa lepas darinya. Dia memang pahlawanmu, bukan seperti diriku yang sangat jahat dan kejam.” “Kamu ini bicara apa? Aku minta maaf kalau itu menyinggungmu. Aku hanya mengatakan yang sebenar—” Melody berjingkat kaget bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup. Pintunya sampai bergetar karena bantingan Khaysan tadi. Sebelah sudut bibir Melody terangkat, ia belum selesai bicara dan Khaysan malah langsung meninggalkannya begitu saja. Padahal masih banyak hal yang ingin Melody bicarakan. Namun, baru separuh dari ceritanya yang tersampaikan, Khaysan sudah marah besar. Hal-hal yang bersangkutan dengan Lidya sepertinya sangat tidak penting bagi lelaki itu. “Untuk apa bertanya kalau akhirnya marah-marah sendiri? Dia benar-benar menyebalkan!” gumam Melody yang masih mencuri-curi pandang ke arah pintu. Tampaknya Khaysan benar-benar pergi jauh dan tidak akan kembali dalam beberapa me
“Bagaimana bisa dia lolos semudah itu?! Kalian benar-benar tidak becus! Hanya mencari tempat tinggalnya saja terlambat, bagaimana kalian bisa menangkapnya?!” sembur Khaysan meluapkan emosinya. Atmosfer yang melingkupi ruangan itu berubah tegang dalam sekejap. Kedua tangan Khaysan terkepal di sisi tubuhnya dengan aura gelap yang semakin menguar ke mana-mana. Melody pun tak kalah terkejut mendengar informasi tersebut. “Khay.” Melody bergumam lirih dari tempatnya berada. “Aku yakin semuanya sudah bekerja keras, jangan menghakimi mereka. Tapi, orang itu juga pintar mencari celah. Kita harus sedikit bersabar untuk menangkapnya.” Melody menatap satu per satu anak buah Khaysan yang semuanya menundukkan pandangan. Termasuk Dimas yang berdiri paling depan. Ia tahu mereka sudah berusaha, namun terkadang ada beberapa hal yang menjadi kendala. Sebenarnya Melody juga menyayangkan alamat orang itu yang terlambat ditemukan dan sekarang penghuninya malah sudah pindah. Dan ini juga semakin menunjuk
“Berikan aku alamat rumah sakitnya. Aku akan ke sana sekarang!” perintah Khaysan sebelum mematikan panggilan tersebut. “Siapa yang kecelakaan?” Melody yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan Khaysan langsung melontarkan pertanyaan ketika suaminya hendak beranjak pergi. “Pelaku yang mencelakaimu. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Aku harus melihatnya secara langsung. Aku tidak mau dia lolos lagi dan semakin menyusahkan!” jawab Khaysan seraya mengantongi ponselnya. “Orang itu kecelakaan? Bagaimana bisa?” tanya Melody dengan mata melebar sempurna. Baru beberapa hari yang lalu Melody dan Khaysan mendapat kabar jika tersangka yang meracuni Melody melarikan diri. Setelah berhasil tertangkap, sekarang orang itu malah mengalami kecelakaan. Tetapi, setidaknya sekarang orang itu sudah tidak bisa melarikan diri ke mana-mana lagi. “Orangku hampir berhasil menangkapnya. Tapi, dia malah melarikan diri dan tertabrak mobil yang melaju kencang. Sekarang dia sedang kritis di rumah sakit. Aku h
Melody mengerang kesakitan sembari memegang perutnya. Perutnya terasa kaku dan seakan dicengkram oleh sesuatu. Wanita itu spontan berpegangan pada sebuah meja yang kebetulan ada di dekatnya. Namun, hal itu tak banyak membantu karena lantai yang sangat licin. Khaysan yang hendak memasuki dapur langsung menahan Melody yang nyaris menghantam lantai. Kekhawatiran tampak sangat jelas dari wajahnya. Lelaki itu sudah bersiap mengangkat tubuh Melody, namun sang empunya langsung mencegah. “A-aku baik-baik saja,” ucap Melody yang masih berpegangan pada lengan sang suami sedangkan satu tangan lagi mencengkeram meja. Nyeri di perutnya perlahan berkurang dan akhirnya menghilang. Setelah tak terasa lagi, ia langsung kembali menegakkan tubuhnya. “Kamu yakin? Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang. Atau kamu mau dokternya aku panggil ke sini saja?” Khaysan masih terlihat tak percaya jika Melody sudah baik-baik saja. Apalagi istrinya masih sesekali meringis. Melody mengusap sudut matanya yang sedi
Melody meraba sisi ranjang di sampingnya yang ternyata kosong. Netra kecokelatannya spontan terbuka dan menyipit menatap sekitarnya. Suaminya tak terlihat di mana pun dan toilet yang tersedia di kamar mereka pun terbuka. Artinya lelaki itu tak ada di sana. Walaupun masih setengah mengantuk, Melody memilih bangkit dari ranjang dan beranjak keluar kamar. Ia penasaran di mana suaminya berada saat ini. Atau lelaki itu pergi tiba-tiba setelah dirinya tertidur? Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Feelingnya menuntun Melody melangkah ke arah dapur. Seluruh tempat yang dilewatinya sangat sepi, tetapi tak membuatnya mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah. Ia tidak tahu jam berapa saat ini, namun sepertinya sudah memasuki waktu dini hari. “Kenapa tiba-tiba Mommy lapar ya, Sayang? Apa kamu juga lapar?” gumam Melody sembari mengelus perutnya. “Ayo kita cari makanan di dapur, siapa tahu ada yang bisa langsung dimakan tanpa harus dimasak dulu.” Prang! Melody berjingkat kaget ketika men
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa ada di sini? Siapa yang memberitahumu?” tanya Melody yang menatap David dengan sorot tak percaya. Melody merasa tak pernah memberitahu lokasinya pada David. Sebab, Khaysan pasti semakin kesal jika ia sampai berani memberitahu David di mana lokasi mereka. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba mengetahui di mana keberadaannya. “Melody, bisakah kamu membantuku agar boleh masuk? Anak buah suamimu ini sangat menyebalkan!” gerutu David yang sedang berusaha melepaskan diri dari kedua anak buah suaminya yang menghadangnya. “Nathan yang memberitahuku tempatnya berada. Kebetulan aku ada waktu luang, jadi aku menyempatkan datang.”Melody semakin terkejut dan panik. Setelah memberikan ponselnya pada Nathan, ia tidak terlalu mendengarkan apa saja obrolan putranya dengan David. Dirinya tidak menyadari kapan Nathan memberitahu lokasi mereka dan kapan David menjanjikan akan datang kemari. Kemarin Melody membiarkan Nathan yang mematikan telepon tersebut. Seanda
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
“Eh, bagaimana, Sayang?” Melody berbalik bertanya, takut salah dengar. Sebenarnya Melody sudah mendengar dengan jelas tentang permintaan Nathan barusan. Akan tetapi, ia tidak bisa serta merta mengikuti keinginan sang putra. Jika Nathan meminta seperti ini di tahun-tahun sebelumnya, ia pasti langsung menuruti. Sedangkan sekarang ada Khaysan yang terang-terangan tidak menyukai apa pun yang berhubungan dengan David. Sudah lama sekali Nathan tidak menanyakan tentang David. Apalagi berkomunikasi secara langsung. Namun, hanya berselang beberapa jam setelah bocah itu sadarkan diri dari tidur panjangnya, permintaan pertamanya malah seperti ini. Sepertinya Nathan sangat merindukan David karena biasanya anaknya selalu bergantung pada lelaki itu. “Nathan boleh video call sama Uncle Dave sebentar saja? Biasanya Uncle Dave yang video call duluan, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi. Apa Uncle Dave sangat sibuk?” Nathan kembali mengulang permintaannya dengan ekspresi agak cemberut seolah kesal
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya. Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu. Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari. Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, ja
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Meja makan yang tadinya dilingkupi oleh suasana hangat itu berubah menjadi penuh dengan kepanikan. Apalagi ketika Nathan nyaris terjatuh dari kursi karena pingsan. Untung saja Khaysan yang juga duduk bersebelahan dengan sang putra dengan sigap mengangkat bocah itu ke gendongannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” seru Melody panik. Mereka bergegas keluar rumah dan langsung kembali memasuki mobil yang tadi mereka tumpangi saat pulang dari rumah sakit. Kali ini Bagas lah yang mengemudi sementara Melody dan Khaysan duduk di belakang menemani Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Melody dan Khaysan terus berusaha membangunkan sang putra. Akan tetapi, tak ada respon sama sekali dari bocah itu. Semuanya semakin panik, apalagi mulut Nathan juga tidak berhenti mengeluarkan darah. Khaysan juga terus meminta papanya mengendarai mobil lebih cepat. Begitu sampai di rumah sakit, Khaysan langsung turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki area rumah sakit dan berseru meminta tolong pada pet
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi
Melody memilih menebalkan wajah dengan kembali ke rumah sakit menemui suaminya. Tanpa memedulikan segala risiko yang mungkin terjadi. Meskipun ada kemungkinan dirinya akan kembali diusir, baik itu secara halus maupun secara kasar. Ia sudah tidak memedulikan itu lagi. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tadi, Melody tak berhenti menyakinkan dirinya sendiri. Sekalipun Khaysan mengusirnya atau meminta anak buah lelaki itu yang mengusirnya secara paksa, ia tidak akan pergi. Ia akan tetap berada di sini hingga dirinya sendiri lah yang ingin pergi. Keputusan ini membuatnya nyaris tak bisa tidur semalaman. Sebab nyatanya, meski sebelumnya Khaysan telah melontarkan kalimat pedas yang menyakiti hatinya, ia malah terus kepikiran pada lelaki di hadapannya ini. Dirinya merasa lebih tenang jika berada tepat di hadapan Khaysan walaupun risikonya akan dibuat semakin sakit hati. “Silakan kalau kamu ingin mengusirku atau memerintah siapa pun untuk mengusirku. Tapi, aku tidak akan pergi se
Mata Melody terasa panas melihat pemandangan yang tersaji tepat di depan matanya. Kejadian beberapa bulan lalu kembali terulang. Di mana Lusy dengan begitu percaya dirinya langsung memeluk Khaysan tanpa basa-basi di depannya.Saat itu mungkin Lusy memang belum mengetahui jika dirinya adalah istri Khaysan. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jelas-jelas wanita itu tahu dan baru saja melewati Melody yang membukakan pintu. Menyebabkan Melody agak meneysak telah membukakan pintu. Padahal seharusnya tidak perlu.Melody berdeham agak keras, sengaja ingin mengalihkan atensi Lusy yang masih menempeli suaminya. Ia tahu suaminya juga risih dengan pelukan mendadak itu, tetapi Lusy tak akan mengerti jika tidak diberi ultimatum secara langsung. Melody tak akan bertindak bodoh dengan meninggalkan mereka berduaan seperti tempo hari.Tungkai jenjang Melody bergerak mendekati ranjang suaminya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik paksa Lusy dari sisi suaminya. “Maaf sekali, tapi suamiku sedang sakit, jadi