PoV Ayu
“Bang Dion sepagi ini udah di kantor, Bang?” tanyaku memastikan setelah mendengar perbincangan antara suamiku dan Bang Dion melalui sambungan telepon. Abang mengelus rambutku, mengecup puncak kepala.
“Iya. Katanya kejebak di dalam lift, mati lampu.” Kedua mataku memicing, tak percaya kalau perusahaan Abang mengalami mati lampu apalagi masih pagi begini.
“Masa mati lampu?”
“Gak tau. Abang juga heran. Mau mandi bareng apa abang duluan?”
“Abang duluan aja. Ayu mau beresin ini dulu.”
“Gara-gara si Dion telepon, semuanya jadi gerak cepet.” Tersenyum geli melihat ekspresi bibir Abang yang manyun. Kukecup pipinya.
“Yang penting kan klimaks. Dah sana mandi dulu!”
“Iya, Sayang.” Abang beranjak ke toilet. Sementara aku merapikan sprey dan
PoV Silvi Astaghfirullah, gak nyangka kalau Cindy menjadi simpanan Om-Om. Setahuku, dia anak orang kaya raya. Bokapnya seorang pejabat. Walaupun menurut Om itu terjerat korupsi. Tapi Masa iya sampe rela jadi sugar baby? Setelah kepergian Cindy dengan Om-Om, aku menghampiri Ayu. Ayu juga tampak shock melihat kejadian tadi. “Yu, Ayu!” kusenggol bahunya. Ayu menoleh. “Gak nyangka ya?” Ayu hanya mengangguk. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Lo kenapa? Kaget? Atau ada yang lo pikirin?” Sahabatku itu duduk di kursi kasir, menghela napas. “Gue baru inget cerita Ibu.” “Cerita Ibu?” menarik kursi yang tak jauh dariku, lalu duduk. Menyimak pembicaraan Ayu selanjutnya. Aku menengok sekeliling, hanya ada dua pembeli. Biarlah, ada Mira. Dia bisa melayani kalau Cuma dua pembeli. Aku lagi penasaran sama cerita Ayu. “Iya. Ibu pernah c
PoV AbangBaru saja masuk ruangan kantor, Dion menyembul dari balik pintu.“Done!!! Finally, kerjaan gue kelaarr!!!”Lelaki berkepala botak itu setengah berteriak, duduk di bangku yang bersebrangan denganku. Kedua tangannya di rentangkan. Memutar badan ke kanan ke kirim“Lo datang jam berapa ke kantor?” tanyaku melihat kedua bola mata Dion yang berkantung hitam. Seperti kurang tidur.“Kayak biasa, jam 6 pagi,” sahutnya menaikkan kaki kiri ke atas paha kanan.“Gak digangguin lagi?”“Ama siapa?”“Mbak Kunkun.”“Kagak! Udah akrab ama gue. Maren-maren itu perkenalan doang. Macam diospek. Hahahha.”Menggeleng-gelengkan kepala menanggapi guyonan sahabatku dari SMP itu. Aku membuka laptop, memeriksa beberapa email yang masuk.&nb
PoV AbangMasih dengan emosi meluap, aku keluar ruangan Herlina. Kubiarkan ia tercenung mendengar ucapanku.Dasar wanita iblis! Kapan berubah ke arah lebih baiknya?“Den, gue udah bilang ke Pak Heru. Herlina cabut aja dari rumah sakit. Suruh rawat di sel aja,” ucap Dion. Giginya gemeletuk menahan rasa kesal. Aku mendesah, menepuk pundak sahabatku itu.“Gak usah. Biarin aja dia dirawat di sini sampai dokter mengijinkan pulang.”“Elah, Den! Buang-buang duit! Tuh orang gak punya otak! Gak ada hati! Udah ditolongin bukannya insyaf, malah makin jahat! Bisa-bisanya dia mikir mau balas dendam ke kita! Udahlah, biar dia mati membusuk di penjara!” Dion sangat emosi, wajahnya memerah karena amarah.“Pak Dendi, Pak Dion, kami serahkan keputusan perawatan Ratih Herlina pada Bapak-bapak sekalian. Semisal, mau dirawat di tahanan, tidak apa
PoV AyuMalam ini, Abang berkemas pakaian untuk hari esok ke puncak. Ia tak mengijinkan aku untuk membantunya. Jadilah, selonjoran di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang, sambil memerhatikan Abang yang tampak sibuk memilah-milih pakaian yang akan kami bawa.“Lingerie ini dibawa ya, Sayang?” Abang mengangkat linegrie hitam berenda.“Buat paan?”“Buat dipake di sana.”“Ih, Abang. Malu tau. Perut Ayu kan buncit. Jelek dilihatnya.” Aku mengelak tidak percaya diri. Kalau pakai itu, bukannya seksi malah kayak badut. Nanti yang ada bukan bikin suamiku bergairah, malah bikin dia lemah.Abang menghampiri, duduk di sebelahku. Tangannya masih memegang pakaian tipis itu.“Siapa bilang jelek? Kalau menurut Abang ya, kalau Ayu pakai ini, bakal terlihat tambah seksi. Suer deh!”&ld
PoV AbangAlhamdulillah, kami tiba di Villa dengan selamat. Perjalanan pun tidak terjebak macet terlalu lama. Kulihat Ayu memegang belakang pinggang, dia kelihatan lelah sekali. Berbeda dengan Silvi, istri sahabatku itu selama perjalanan mulutnya tidak berhenti mengunyah. Makan terus tiada henti. Aku menghampiri Ayu, menunggu Silvi dan Dion mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil.“Sayang, langsung ke kamar aja ya?” tanyaku pada Ayu. Ia menoleh, kedua matanya sayu.“Gak apa-apa emang mereka Ayu tinggal?”“Gak apa-apa. Yuk Abang anter. On, barang-barang gue, biar gue aja nanti yang bawa. Lo berdua langsung istirahat aja.” Dion mengacungkan Ibu jari.Aku memapah Ayu berjalan masuk ke dalam Villa. Kamar kami berada di dekar ruang keluarga. Sementara Dion dan Silvi dekat ruang tamu. Kamar depan. Biasa ditempati oleh Ayah dan Bunda. Aku sengaja tidak memilih
PoV AyuAku dan Silvi menonton televisi sambil menunggu kedatangan Abang dan Bang Dion. Aku berjalan ke arah gorden ruang tamu, memastikan kedatangan Mang Asep, tapi sudah satu jam lamanya lelaki itu tidak kunjung datang.“Belum pada pulang ya, Yu?” tanya Silvi saat aku kembali ke ruang keluarga. Aku duduk di sampingnya.“Belum. Gue bukan lihat kedatangan Abang, tapi lihat Mang Asep udah dateng apa belum. Tadi kan kata Abang Mang Asep mau ke sini. Tapi sampe sekarang belum juga muncul.” Silvi mengambil biskuit, melahapnya.“Masih di jalan kali, atau gak jadi. Coba lo telepon Abang.”“Udah. Gak diangkat. Kayaknya Abang lagi dijalan.”Tak berlangsung lama, handphoneku berdering. Mungkin panggilan dari Abang.Keningku mengkerut saat mengetahui nama kontak si pemanggil.“Siapa?” Silvi melon
PoV BundaKenapa Dendi kepikiran berlibur ke Villa itu? Bukankah selama ini dia paling enggan pergi ke sana karena selalu ingat almarhum Ayahnya? Villa di puncak salah satu kenangan yang paling berkesan antara Dendi dan Ayahnya. Dulu aku ingat betul, sewaktu Dendi menyuruhku agar menjual Villa, saking tidak mau mengingat kenangan Ayahnya. Tapi sekarang justru sedang di sana.Aku pikir, Dendi tidak pernah ke Villa lagi. Makanya segala sesuatu yang berhubungan tentang masa laluku, aku simpan di salah satu kamar Villa. Bagaimana kalau mereka sampai tahu salah satu kamar yang kujadikan tempat rahasia tentang masa laluku?Masa lalu yang kusembunyikan rapat-rapat. Tidak ada seorang pun yang tahu akan kebenaran ini kecuali Pak Darmoko dan Ibu Rukmini. Orang tua angkatku.Menghempaskan tubuh pada sofa, bersandar sembari memijat pelipis.Belum selesai masalah Mas Bram, sudah muncul masala
PoV AbangKuembuskan napas panjang saat Bunda memutuskan sambungan telepon. Aku yakin sekali, penyebab Ayu menangis adalah Bunda. Tidak habis pikir, kenapa Bunda sekarang seolah membenci Ayu? Padahal dulu sangat menyayanginya.“Bro, lo baik-baik aja?” Dion menepuk pundakku. Ia sudah duduk di bangku teras. Aku merunduk, memainkan kunci mobil.“Bunda yang telepon lo?” Aku mengangguk. Menatap ayunan yang dahulu sering aku mainkan bersama Ayah.“Gue ... gak habis pikir sama Bunda. Kenapa jadi kayak gak suka gitu sama Ayu?” Dion mengembuskan napas. Menaikkan sebelah kaki kiri ke atas paha kanan.“Gue gak tau. Apa mungkin karena Bunda udah tau keluarga kandung Ayu? Mungkin Bunda gak suka sama gue atau Ibu, pelampiasannya jadi ke Ayu.”“Kayaknya bukan karena itu. Bunda dari awal tahu gue punya perasaan khusus ke