PoV Dion
Usai Shalat Subuh, aku bergegas keluar kamar, hendak sarapan. Silvi yang melihatku buru-buru keluar kamar, tampak kebingungan. Ia berjalan cepat di belakangnku.
“Abang mau kemana?”
“Mau sarapan.”
“Tumben.” Aku tak menghiraukan keheranan Silvi, mengambil sepotong roti tawar, mengolesi selai, lalu melahapnya.
“Mau susu hangat gak?” Istriku menawarkan. Tanpa berkata, aku mengangguk. Silvi langsung mengerjakan apa yang dia tawarkan.
“Lho, tumben sekali jam segini sudah sarapan, Nak?” Ibu tiba-tiba datang. Duduk di kursi sebelahku.
“Lagi pengen cepet-cepet ke kantor, banyak kerjaan, Bu. Pengen cepet kelar.”
“Biasanya gak gini walaupun banyak kerjaan. Ayok bilang ke ibu, ada apa?” Ibu memerhatikanku lekat. Naluri ibu memang gitu ya?
PoV Ayu“Bang Dion sepagi ini udah di kantor, Bang?” tanyaku memastikan setelah mendengar perbincangan antara suamiku dan Bang Dion melalui sambungan telepon. Abang mengelus rambutku, mengecup puncak kepala.“Iya. Katanya kejebak di dalam lift, mati lampu.” Kedua mataku memicing, tak percaya kalau perusahaan Abang mengalami mati lampu apalagi masih pagi begini.“Masa mati lampu?”“Gak tau. Abang juga heran. Mau mandi bareng apa abang duluan?”“Abang duluan aja. Ayu mau beresin ini dulu.”“Gara-gara si Dion telepon, semuanya jadi gerak cepet.” Tersenyum geli melihat ekspresi bibir Abang yang manyun. Kukecup pipinya.“Yang penting kan klimaks. Dah sana mandi dulu!”“Iya, Sayang.” Abang beranjak ke toilet. Sementara aku merapikan sprey dan
PoV Silvi Astaghfirullah, gak nyangka kalau Cindy menjadi simpanan Om-Om. Setahuku, dia anak orang kaya raya. Bokapnya seorang pejabat. Walaupun menurut Om itu terjerat korupsi. Tapi Masa iya sampe rela jadi sugar baby? Setelah kepergian Cindy dengan Om-Om, aku menghampiri Ayu. Ayu juga tampak shock melihat kejadian tadi. “Yu, Ayu!” kusenggol bahunya. Ayu menoleh. “Gak nyangka ya?” Ayu hanya mengangguk. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Lo kenapa? Kaget? Atau ada yang lo pikirin?” Sahabatku itu duduk di kursi kasir, menghela napas. “Gue baru inget cerita Ibu.” “Cerita Ibu?” menarik kursi yang tak jauh dariku, lalu duduk. Menyimak pembicaraan Ayu selanjutnya. Aku menengok sekeliling, hanya ada dua pembeli. Biarlah, ada Mira. Dia bisa melayani kalau Cuma dua pembeli. Aku lagi penasaran sama cerita Ayu. “Iya. Ibu pernah c
PoV AbangBaru saja masuk ruangan kantor, Dion menyembul dari balik pintu.“Done!!! Finally, kerjaan gue kelaarr!!!”Lelaki berkepala botak itu setengah berteriak, duduk di bangku yang bersebrangan denganku. Kedua tangannya di rentangkan. Memutar badan ke kanan ke kirim“Lo datang jam berapa ke kantor?” tanyaku melihat kedua bola mata Dion yang berkantung hitam. Seperti kurang tidur.“Kayak biasa, jam 6 pagi,” sahutnya menaikkan kaki kiri ke atas paha kanan.“Gak digangguin lagi?”“Ama siapa?”“Mbak Kunkun.”“Kagak! Udah akrab ama gue. Maren-maren itu perkenalan doang. Macam diospek. Hahahha.”Menggeleng-gelengkan kepala menanggapi guyonan sahabatku dari SMP itu. Aku membuka laptop, memeriksa beberapa email yang masuk.&nb
PoV AbangMasih dengan emosi meluap, aku keluar ruangan Herlina. Kubiarkan ia tercenung mendengar ucapanku.Dasar wanita iblis! Kapan berubah ke arah lebih baiknya?“Den, gue udah bilang ke Pak Heru. Herlina cabut aja dari rumah sakit. Suruh rawat di sel aja,” ucap Dion. Giginya gemeletuk menahan rasa kesal. Aku mendesah, menepuk pundak sahabatku itu.“Gak usah. Biarin aja dia dirawat di sini sampai dokter mengijinkan pulang.”“Elah, Den! Buang-buang duit! Tuh orang gak punya otak! Gak ada hati! Udah ditolongin bukannya insyaf, malah makin jahat! Bisa-bisanya dia mikir mau balas dendam ke kita! Udahlah, biar dia mati membusuk di penjara!” Dion sangat emosi, wajahnya memerah karena amarah.“Pak Dendi, Pak Dion, kami serahkan keputusan perawatan Ratih Herlina pada Bapak-bapak sekalian. Semisal, mau dirawat di tahanan, tidak apa
PoV AyuMalam ini, Abang berkemas pakaian untuk hari esok ke puncak. Ia tak mengijinkan aku untuk membantunya. Jadilah, selonjoran di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang, sambil memerhatikan Abang yang tampak sibuk memilah-milih pakaian yang akan kami bawa.“Lingerie ini dibawa ya, Sayang?” Abang mengangkat linegrie hitam berenda.“Buat paan?”“Buat dipake di sana.”“Ih, Abang. Malu tau. Perut Ayu kan buncit. Jelek dilihatnya.” Aku mengelak tidak percaya diri. Kalau pakai itu, bukannya seksi malah kayak badut. Nanti yang ada bukan bikin suamiku bergairah, malah bikin dia lemah.Abang menghampiri, duduk di sebelahku. Tangannya masih memegang pakaian tipis itu.“Siapa bilang jelek? Kalau menurut Abang ya, kalau Ayu pakai ini, bakal terlihat tambah seksi. Suer deh!”&ld
PoV AbangAlhamdulillah, kami tiba di Villa dengan selamat. Perjalanan pun tidak terjebak macet terlalu lama. Kulihat Ayu memegang belakang pinggang, dia kelihatan lelah sekali. Berbeda dengan Silvi, istri sahabatku itu selama perjalanan mulutnya tidak berhenti mengunyah. Makan terus tiada henti. Aku menghampiri Ayu, menunggu Silvi dan Dion mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil.“Sayang, langsung ke kamar aja ya?” tanyaku pada Ayu. Ia menoleh, kedua matanya sayu.“Gak apa-apa emang mereka Ayu tinggal?”“Gak apa-apa. Yuk Abang anter. On, barang-barang gue, biar gue aja nanti yang bawa. Lo berdua langsung istirahat aja.” Dion mengacungkan Ibu jari.Aku memapah Ayu berjalan masuk ke dalam Villa. Kamar kami berada di dekar ruang keluarga. Sementara Dion dan Silvi dekat ruang tamu. Kamar depan. Biasa ditempati oleh Ayah dan Bunda. Aku sengaja tidak memilih
PoV AyuAku dan Silvi menonton televisi sambil menunggu kedatangan Abang dan Bang Dion. Aku berjalan ke arah gorden ruang tamu, memastikan kedatangan Mang Asep, tapi sudah satu jam lamanya lelaki itu tidak kunjung datang.“Belum pada pulang ya, Yu?” tanya Silvi saat aku kembali ke ruang keluarga. Aku duduk di sampingnya.“Belum. Gue bukan lihat kedatangan Abang, tapi lihat Mang Asep udah dateng apa belum. Tadi kan kata Abang Mang Asep mau ke sini. Tapi sampe sekarang belum juga muncul.” Silvi mengambil biskuit, melahapnya.“Masih di jalan kali, atau gak jadi. Coba lo telepon Abang.”“Udah. Gak diangkat. Kayaknya Abang lagi dijalan.”Tak berlangsung lama, handphoneku berdering. Mungkin panggilan dari Abang.Keningku mengkerut saat mengetahui nama kontak si pemanggil.“Siapa?” Silvi melon
PoV BundaKenapa Dendi kepikiran berlibur ke Villa itu? Bukankah selama ini dia paling enggan pergi ke sana karena selalu ingat almarhum Ayahnya? Villa di puncak salah satu kenangan yang paling berkesan antara Dendi dan Ayahnya. Dulu aku ingat betul, sewaktu Dendi menyuruhku agar menjual Villa, saking tidak mau mengingat kenangan Ayahnya. Tapi sekarang justru sedang di sana.Aku pikir, Dendi tidak pernah ke Villa lagi. Makanya segala sesuatu yang berhubungan tentang masa laluku, aku simpan di salah satu kamar Villa. Bagaimana kalau mereka sampai tahu salah satu kamar yang kujadikan tempat rahasia tentang masa laluku?Masa lalu yang kusembunyikan rapat-rapat. Tidak ada seorang pun yang tahu akan kebenaran ini kecuali Pak Darmoko dan Ibu Rukmini. Orang tua angkatku.Menghempaskan tubuh pada sofa, bersandar sembari memijat pelipis.Belum selesai masalah Mas Bram, sudah muncul masala
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be