PoV Bunda Tari Riana
Sudah dua hari, Dendy dan Ayu pergi dari rumah. Sepi, itu yang kurasakan. Semua ini memang salahku. Telah menyuruh Ayu menemani Firman hingga kehormatannya hampir terenggut.
Sama sekali tak menduga kalau anak Jeng Ratih tega melakukan hal serendah itu.
Melihat handphone, tak ada pesan atau telepon dari Dendy mau pun Ayu. Aku sendiri, tidak berani menghubungi mereka terlebih dahulu. Apakah mereka masih saja marah padaku?
Dari kemarin, aku sangat mencemaskan keadaan Ayu. Anak itu tinggal di mana. Awalnya aku berpikir, kalau dia tinggal di apartemen Dendy tapi setelah aku tanyakan pada bagian keamanan, katanya hanya ada Dendy tidak ada seorang perempuan. Lantas Ayu tinggal di mana? Silvi sahabat karibnya pun tidak tahu menahu keberadaan Ayu.
Ya Allah, Naaak ... Bunda kangen. Kangen kalian.
Handphone berdering. Jeng Ratih menelepon. Ada apa lagi dia?
<Setibanya di rumah, sudah ada mobil Bang Dion.“Ibu, Ayu, saya langsung ke kantor ya?” Calon suami pamitan. Eaaakk ....“Iya, Bang,” sahutku sambil mengulas senyum.“Iya, Nak. Makasih ya udah mau Ibu repotin,” ucap Ibu sungkan.“Gak apa-apa, Bu. Dendy senang kok bisa jalan bareng Ibu sama Ayu,” ujar Abang mengakhiri ucapannya dengan melipat bibir. Melirik padaku dari kaca spion. Aku dan Ibu pun keluar mobil.Tak lama, Bang Dion keluar dari dalam rumah menenteng beberapa map.“Udah pada pulang nih?” Tanya Bang Dion menghampiri kami.“Lo ngapain ada di rumah? Gue suruh jagain kantor malah balik??” Abang tampak tak suka melihat kehadiran Bang Dion di sini.“Ya elah, balik bentar doang. Nih ada berkas ketinggalan. Lo mau ke kantor kan? Sekalian bawa!” Lelaki berkepala pelontos itu menyerahkan berkas ke depan dada Abang.“Kampret!! Gak a
PoV Ayu Aku tertawa melihat kekompakan Bang Dion dan Silvi menjawab. Wajah sahabatku langsung bersemu merah. Sementara Bang Dion senyum malu-malu kucing. “Hmm ... Abang pulang dulu ya, Neng?” “Neng yang mana nih?” Kataku tak henti menggoda. Silvi menyenggol lenganku. “Itu, Neng Cipi ....” Bang Dion mendongakkan kepalanya pada gadis berkaca mata yang berdiri di sampingku. “Hwhahahaha ... cieee ... Neng Cipi .... eh, Neng Cipi, Abang Ionnya mau pulang tuh.” Silvi merunduk, bibirnya mengerucut tapi matanya melirik Bang Dion. “Iya, Bang,” sahut Silvi dengan senyum malu-malu. “Asiiiikkk ....” Aku menimpali. Senang rasanya melihat sahabatku kayak gini. Hidup Silvi penuh kesedihan terutama jika mengingat perlakuan kedua orang tuanya yang seolah tak menyayanginya. Tapi kesedihan itu selalu berusaha Silvi sembunyikan dengan sikap riangnya. Akhirnya Bang Dion berjala ke arah mobil, kepala Bang Dion berkali-
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah Ibu, aku bercerita tentang kelakuan Bang Dion dan Silvi pada Abang. Laki-laki di sampingku tertawa lepas.“Lebay si Oon! Bilangin Silvi, panggilnya Bang Oon bukan Bang Ion! Kayak pelajaran Kimia ion-ionan.” Abang tertawa memamerkan barisan giginya yang rapi. Sementara matanya tetap fokus melihat ke depan.“Nanti Ayu bilangin. Pasti Silvi ngambek. Orang tadi Ayu Cuma ngetawain Bang Dion aja ngambek!” kataku menahan gelak tawa. Kejadian beberapa jam lalu melintas. Pertemuan lucu antara Bang Ion dan Neng Cipi.“Benjol gak pala si Oon?”“Gak tau. Ayu gak lihat jelas.” Tadi sore pasti Bang Dion malu banget. Sakitnya sih mungkin gak seberapa, malunya itu lho!“Syukurlah kalo si Dion udah move on.”Aku menoleh, menunggu kelanjutan ceritanya.“Kenapa emang, Bang? Move on dari siapa?&rdqu
"Dendy, belum pulang?” Ibu tiba-tiba sudah berdiri di balik pintu. Melangkah, mendekati aku dan Abang. Lalu duduk di bangku satunya.“Belum, Bu. Berat banget mau pulang juga," sahut Abang, memutar pinggang ke kanan dan ke kiri.“Berat kenapa, Bang?” Aku memiringkan kepala, menatap Abang lekat. Takutnya laki-laki kelahiran bulan Juni itu punggungnya berat karena sering lihat laptop. Biasanya kalau kayak gitu suka minta dipijat pundaknya.“Berat ninggalin calon bini,” jawabnya dengan suara pelan. Idih sempat-sempatnya nge-gombal. Di depan Ibu pula.Ya ampun, pake mengerlingkan sebelah mata lagi!Asem!! Gak malu banget sih, godain aku di depan Ibu. Ibu tergelak, tertawa renyah. Sumpah malu banget.“Udah gih ah, pulang!” Kusuruh Abang pulang. Tidak enak juga suasana sudah malam. Khawatir jadi bahan gunjingan tetangga Ibu.“Emang udah selesai bicaranya?” tanya Ibu, mem
Aku menghentak-hentakkan kaki, kesal sama Abang. Masa Cuma becanda aja ngambek? Sampe gak mau balas pesan? Ish!“Napa lo?” Tiba-tiba Silvi menyembul di balik pintu kamar.“Masuk aja sih. Malah berdiri di situ!” Sahabatku berjalan santai menghampiri.“Lo tidur di kamar ini?” Pertanyaan Silvi hanya kujawab dengan anggukkan.“Biar gue tebak, ini pasti harusnya kamar buat anak cewek Ibu yang hilang, yang kemungkinan anaknya itu lo, ya kan?” Aku mengangguk lagi.“Bagus ih! Betah deh gue tinggal di sini. Apalagi Ibu ramah banget, baik lagi. Beruntung banget, kalau bener lo anak kandungnya Ibu. Ya kan?” Aku mengangguk lagi, tatapan ke arah depan.“Ehh!!!" Silvi menyenggol lenganku.“Napa sih? Bete amat?” Lanjutnya. Aku mendengus kesal.“Itu, Abang! Ngeselin banget. Masa Cuma gue bilang Om-Om dia marah sampe sekarang ....o"Kedua mata sahabatku m
Sudah pukul sembilan pagi, aku menunggu Abang di depan teras rumah Ibu. Tapi hingga sekarang, belum juga datang. Apa dia lupa kalau hari ini mau mengantarku jemput Silvi?Dari tadi, pesan juga belum dibaca, belum dibalas. Ditelepon gak diangkat-angkat. Jangan-jangan Abang beneran marah karena semalam dibilang om-om?“Lho, kirain Ibu udah berangkat?” Ibu menghampiri, duduk di kursi samping kiriku.“Belum, Bu. Ini Ayu mau pesan taksi," sahutku memesan taksi online. Aku rasa, Abang tidak akan mau menjemput. Mungkin dia masih marah semalam aku panggil Om-Om.“Kenapa gak minta dianter Abang atau Bang Dion?” Ibu memberi usul. Aku mendongak, memaksakan bibir untuk tersenyum.“Takut mereka lagi sibuk. Ayu gak enak,” ucapku berbohong. Padahal ngarep banget Abang datang.“Udah dipesan taksinya?”“Udah, Bu," sahutku memasukkan handphone ke dalam tas."Menurut Ayu, Silvi suk
Sehabis nonton, kami berempat mampir di salah satu cafe. Aku yang sedari kesal oleh omongan mesum Abang memasang wajah bete.“Yu, lo kenapa? Dari tadi gue lihatin tuh bibir manyuuun ... aja.” Silvi mendekatkan kursi. Pandanganku tertuju pada dua laki-laki di hadapan. Mereka tengah asyik membahas film yang baru saja kami tonton.“Tuh!”Mendongakkan kepala ke arah Abang.“Kenapa Abang lo?” bisik Silvi pada telingaku.“Au, ah!” Menyeruput Jus Alpukat, lalu berdiri.“Yu, lo mau kemana?”“Pulang!!” jawabku ketus sambil terus berlalu.“Bang Dendy, itu Ayu!” Samar kudengar Silvi memberitahu Abang. Aku berjalan cepat.“Ayu! Yu, tungguin Abang!!” teriak Abang. Aku tak menoleh sedikit pun.Bodo amat! Aku terus melangkah, berjalan cepat ke pinggir jalan. Berharap secepatnya taksi melintas.Secepat kilat Abang menarik lengan
Rasa kesal terhadap Abang, hilang sudah karena kabar baik yang Bunda sampaikan. Akhirnya Allah mengabulkan apa yang aku harapkan. Semoga kedepannya hubunganku dengan Abang berjalan mulus, tidak ada halangan apapun."Jadi, kapan kalian mau cetak undangan dan fitting baju buat pernikahan?” Kedua mata Bunda menatap kami bergantian. Sejujurnya aku tak tahu. Aku memilih diam, membiarkan Abang yang menjawab.“Besok, Bun! Besok Dendy sama Ayu mau fitiing baju.” Penuh semangat Abang menjawab.“Cetak undangannya?”“Besok juga!” tandas Abang. Bola matanya berbinar, wajahnya sumringah.“Bunda, emang tanggal pernikahannya udah ditentuin?” tanyaku mengalihkan perhatian Abang.“Ya terserah kalian. Kalau rencana Bunda sih, malam Minggu dua hari setelah pengajian, kalian tunangan. Sebulan kemudian langsung akad sekaligus resepsi. Gimana, setuju gak?” Usulan Bunda tak kutanggapi. Apa tidak ter
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be