PoV Ayu
Alhamdulillah, Abang hanya satu kali mengucapkan ijab qabul. Oleh penghulu dan para saksi langsung di sah-kan.Terharu bercampur bahagia, Saat Abang menyematkan cincin di jemari manis, menyalami punggung tangannya, kemudian ia mengecup keningku. Untuk pertama kalinya merasakan kecupan dari seorang laki-laki. Bulir air mata jatuh perlahan. Abang menatap seraya menyeka air mataku dengan lembut.Setelah menyalami orang-orang terdekat, aku dan Abang berdiri di atas pelaminan. Para tamu undangan menyalami. Berbagai ucapan selamat, bingkisan kado, dan untaian doa kami dapatkan. Tak henti hatiku mengucap rasa syukur tak terhingga karena dapat berkumpul dengan orang-orang yang amat menyayangiku dan aku sayangi.Acara selesai jam tiga sore. Sesuai kesepakatan Bunda, dalam seminggu ke depan aku dan Abang tinggal di rumah Ibu. Pakaian kami sudah dibawa terlebih dahulu oleh Bang Dion dan Silvi dua hari lalu. 
PoV Abang“Aaww!!”“Kenapa, Sayang?” tanyaku khawatir, melihat dia duduk meringis kesakitan. Bangun dari tiduran, lalu duduk sambil merengkuh pinggangnya“Perih ....”“Masih perih?” wanita yang telah resmi menjadi istriku mengangguk.“Kok masih perih, padahal udah tiga kali y?”“Gak tau ....” Wajahnya bersemu merah. Aku terkekeh. Suka banget kalau lihat Ayu malu-malu gitu. Jadi pengen nerkam lagi. Apalagi lihat dia pake kaos oblong aku yang kebesaran tanpa memakai daleman. Tambah seksi.“Mau kemana emang?”“Ke toilet.” Aku melirik jam dinding.“Baru jam tiga pagi, Sayang. Masih jauh ke Subuh,” ucapku mengelus rambut panjangnya.“Pada lengket, Aban
POV AyuAku menggeliat, menguap, membuka mata perlahan, sekujur badan rasanya pegal semua. Mengumpulkan segenap kesadaran, mengingat yang terjadi semalam sampai dini hari. Aku tersenyum sambil memejamkan mata. Tak menyangka, lelaki yang pertama menyentuhku tiada lain adalah Abang angkatku sendiri. Membalikkan badan, Abang sedang memainkan gadgetnya dengan tubuh bersandar pada kepala ranjang. “Bang ....” Lirih aku memanggil, sembari merangkul pinggangnya. “Udah bangun, Sayang?” Handphone disimpan, tangannya membelai rambutku. “Huum. Sekarang jam berapa?” Kepala Abang mendongak, melihat jam dinding. “Jam delapan lewat sepuluh menit.” Memaksakan tubuh untuk duduk. Namun lagi-lagi, masih terasa perih di area sensitif. Meringis. “Masih perih?” “Oh, enggak-gak, udah gak kok.” Bisa gawat kalau bilang perih. Nanti malah ‘diajakin’ lagi. Duh malah berbohong jadinya. Ya habis gimana, keadaanku lagi lemas banget. Kulihat ada sepiring roti tawar panggang dan dua gelas susu. “Abang udah s
PoV SilviAlhamdulillah, pernikahan sahabatku berjalan dengan lancar dan khidmat. Aku juga bersyukur, Bang Dion dan keluarganya masih mau menerimaku meski mereka sudah mengetahui asal usul kehadiranku di dunia. Seorang anak yang tidak diinginkan karena hasil benih dari si pemerkosa.Sedih bercampur kecewa ketika mengetahui kebenaran tentang siapa diriku. laki-laki yang selama ini kuanggap sebagai Bapak kandung sendiri ternyata hanyalah Bapak tiri.Mama dinikahi Papa Boris setelah tiga bulan mengandungku. Menurut Bi Tumi, awalnya Papa Boris tidak mengetahui perihal kehamilan Mama tapi saat malam pertama, Papa Boris tidak mendapati Mama sudah tidak perawan, mau tak mau akhirnya Mama berkata jujur. Papa Boris kecewa. Dia tak mau melakukan hubungan suami istri kalau Mama belum melahirkan.Papa Boris yang dulu sangat penyayang, perangainya berubah kasar pada Mama saat hadirnya aku di dunia.
PoV Dion BUGH!! Satu bogeman mentah langsung mendarat ke pipi si Banci tanpa bisa ia mengelak. Tidak kusangka akan bertemu kembali dengan anaknya Herlina. “Kakak! Dia ini siapa? Kenapa tiba-tiba pukul Mas Firman?!” Silvi menahan dadaku agar tak menghajar si Banci lagi. “V*ngke! Gak ada akhlak! Berani lo buntingin cewek di bawah umur! Saraf!!” Geram, aku memaki lelaki yang meringis kesakitan, bersembunyi di balik tubuh adiknya Silvi. “Bang! Abang kenapa sih? Kenapa pukul dia?” tanya Silvi heran. Dia memang belum pernah bertemu sama Firman. Aku mengatur napas. “Ibunya dia yang ngebunuh Ayah Abang! Ibu dia yang udah nyulik Ayu waktu bayi! Dia anaknya Herlina!!” suaraku meninggi. Silvi menutup mulut dengan kedua tangan, tubuhnya mundur selangkah, menggelengkan kepala. “Kenapa harus Mas Firman yang kamu pukul? Ibunya sudah di penjara!!” Adik Silvi mulai membela. “Sorry ya, Put. Dia ini laki b*jingan! Banci! Kalian tau gak? Ayu hampir diperkosa sama dia!!!” Kembali suaraku menin
PoV Dion “Ooh ... Kakak juga mau nikah? Kapan?” Putri terkejut mendengar ucapan Neng Cipi. Ya maklum, mereka kan emang udah kepisah lama. “Iya. Nanti akan Kakak kabari kalau waktunya sudah dekat. Doakan saja, semoga pernikahan Kakak sama Bang Dion berjalan dengan lancar.” Hem, Neng Cipi ngomongnya pake malu-malu. Bikin gemes banget dah! “Pasti, Kak. Kak, Bang, kalau begitu kami pamit pulang dulu. Kasihan Mas Firman, tangannya sampe keringatan begini. Kayaknya Mas Firman bener-bener takut sama Bang Dion.” Iyalah, dia emang harus takut sama gue! Heuh, kalau bukan calon bapak dari anak yang dikandung Putri, udah gue gorok itu lehernya. Jadi laki kayak banci tapi bisa bikin anak orang bunting. Aneh bener dah! Gimana bikinnya, ya? Bingung gue. “Ya udah, kamu hati-hati. Nomor hape kakak jangan dihapus lagi. Kalau ada apa-apa, hubungi kakak.” Calon bini gue emang kakak yang baik. The best banget! Beruntung dong gue, punya bini kayak Silvi. Cantik, bohay, sefrekwensi sama gue. Kan mant
PoV AyuHari ketiga di rumah Ibu, aku dan abang memutuskan untuk pulang ke rumah Bunda, membicarakan rencana tempat tinggal dan menanyakan siapa sosok lelaki yang sering Bunda temui.“Kok cepet sih, Nak? Bukannya seminggu?” Wajah Ibu terlihat sedih. Aku mengulas senyum, menggenggam telapak tangannya.“Ada hal penting yang harus dibicarain sama Bunda, Bu,” sahutku memandang wajah Ibu penuh cinta.Di ujung sofa, ada Bang Dion yang duduk bersebelahan.“Zheyeng kok buru-buru sih?” Bang Dion mulai aksi konyolnya. Menjawil dagu Abang sambil merebahkan kepala di pundak suamiku.“Apaan sih lo ah? Geli gue! Sono-sono jauhan.” Bang Dion bergeming, tetap memeluk pinggang Abang. Aku dan Ibu geleng-geleng kepala.“Ini lagi tangan! Lepasin kagak?” Abang kandungku itu tetap diam.&
PoV Bunda TariSetelah memastikan Ayu dan suaminya tidur terlelap. Bergegas, aku masuk ke kamar Dendi.“Gimana, Sayang? Mereka sudah tidur?” tanya laki-laki yang sedari tadi bersembunyi di samping lemari pakaian.“Sudah. Cepetan Mas keluar. Biar besok aku yang ke rumah.”“Katamu, mereka di rumah Eva seminggu. Ini belum seminggu udah pulang?”Aduh, malah banyak tanya lagi.“Besok aja ceritanya. Sekarang mendingan Mas pulang. Cepetan!”Baru saja hendak membuka gagang pintu, terdengar langkah kaki. Aku mengunci pintu kembali.“Mas cepetan sembunyi.”“Kenapa lagi? Tadi suruh cepat-cepat pulang, sekarang malah suruh cepat-cepat sembunyi?”Kudorong-dorong tubuh Mas Bram agar secepatnya bersembunyi di tempat semula.Setelah memastikan Mas Bram tak