PoV Ayu
Hari ketiga di rumah Ibu, aku dan abang memutuskan untuk pulang ke rumah Bunda, membicarakan rencana tempat tinggal dan menanyakan siapa sosok lelaki yang sering Bunda temui.
“Kok cepet sih, Nak? Bukannya seminggu?” Wajah Ibu terlihat sedih. Aku mengulas senyum, menggenggam telapak tangannya.
“Ada hal penting yang harus dibicarain sama Bunda, Bu,” sahutku memandang wajah Ibu penuh cinta.
Di ujung sofa, ada Bang Dion yang duduk bersebelahan.
“Zheyeng kok buru-buru sih?” Bang Dion mulai aksi konyolnya. Menjawil dagu Abang sambil merebahkan kepala di pundak suamiku.
“Apaan sih lo ah? Geli gue! Sono-sono jauhan.” Bang Dion bergeming, tetap memeluk pinggang Abang. Aku dan Ibu geleng-geleng kepala.
“Ini lagi tangan! Lepasin kagak?” Abang kandungku itu tetap diam.
&
PoV Bunda TariSetelah memastikan Ayu dan suaminya tidur terlelap. Bergegas, aku masuk ke kamar Dendi.“Gimana, Sayang? Mereka sudah tidur?” tanya laki-laki yang sedari tadi bersembunyi di samping lemari pakaian.“Sudah. Cepetan Mas keluar. Biar besok aku yang ke rumah.”“Katamu, mereka di rumah Eva seminggu. Ini belum seminggu udah pulang?”Aduh, malah banyak tanya lagi.“Besok aja ceritanya. Sekarang mendingan Mas pulang. Cepetan!”Baru saja hendak membuka gagang pintu, terdengar langkah kaki. Aku mengunci pintu kembali.“Mas cepetan sembunyi.”“Kenapa lagi? Tadi suruh cepat-cepat pulang, sekarang malah suruh cepat-cepat sembunyi?”Kudorong-dorong tubuh Mas Bram agar secepatnya bersembunyi di tempat semula.Setelah memastikan Mas Bram tak
PoV BundaBagaimana kami bisa menyembunyikan pernikahan selama sepuluh tahun? Tentu saja bisa. Ratih Angelica menyembunyikan kejahatannya lebih dari sepuluh tahun pun bisa.Pertemuan aku dan Mas Bram setelah menjadi suam istri, sering kali dilakukan, saat anak-anak tidak di rumah. Makanya, sangat kutekankan, kalau Ayu atau Dendi akan pergi, mereka harus ijin dan memberitahuku, jam berapa akan pulang. Salah satu alasannya agar aku dan Mas Bram tidak kepergok sama mereka. Pun melarang Ayu atau Dendi masuk ke kamarku tanpa ijin.Sebenarnya Dendi pernah hampir memergoki kami yang sedang berhubungan badan di rumah. Ketika itu, anak semata wayangku masih awal-awal kerja di perusahaan, dia pulang mendadak karena ingin aku menandatangani beberapa berkas. Astaga ... aku sampai lupa tidak memakai jilbab.“Bunda tumben gak pake jilbab?”Tanyanya tempo lalu.“O
PoV AbangSetelah salat Subuh, Bunda sudah pergi. Katanya, ingin menemui sekaligus membicarakan rencana pernikahannya dengan lelaki yang bernama Bramantyo. Kini, Tinggallah aku dan Ayu menikmati sarapan nasi goreng buatan istriku tercinta.“Semalam Abang mimpiin Bunda sama laki-laki itu, Yu.”Wanita di sampingku menghentikkan suapannya. Ia memiringkan kepala, lebih menyimak.“Mimpi gimana?”Meletakkan sendok di atas piring, meneguk air putih, lalu mendesah panjang.“Mimpi Bunda dan seorang lelaki sedang menikah. Anehnya, wajah laki-laki yang dalam mimpi berbeda dengan laki-laki yang Bunda temui.”“Mungkin Cuma bunga tidur, Sayang.” Ayu menggenggam tanganku seraya mengukir senyum manis.“Entah. Mimpi itu kayak nyata. Suasananya juga kayak zaman dulu.” Aku membuang pandangan
PoV AbangSetibanya di rumah, langsung menekan bel berkali-kali. Tidak berlangsung lama, muncullah bidadari pujaan hati.Kudorong tubuh Ayu perlahan, menutup dan mengunci pintu kembali, lalu mencium bibir tipisnya dengan liar. Kedua mata Ayu melebar, mungkin terkejut mendapat serangan mendadak. Kemudian, perlahan ia membalas aksiku. Menyeimbangi permainan yang aku sajikan.Aku dan Ayu menghapus Jarak, entah menit yang keberapa kami saling melepaskan dengan napas terengah.Kedua tanganku menangkup pipi Ayu. Menempelkan kening pada keningnya.“Love you, love you, love you, more.” ucapku seraya mengatur napas yang memburu.“Love you too.”Tidak menunggu waktu lama, membopong tubuh Ayu dengan bridal style. Wanita yang telah menjadi istriku mengalungkan kedua tangan pada leherku, membawanya ke dalam kamar. Hin
PoV Silvi Alhamdulillah keadaanku sudah lebih membaik, pikiranku pun jauh lebih tenang. Setidaknya sekarang telah mengetahui keberadaan Putri tinggal di mana. Sedang berberes, handphone berdering. Kuambil benda canggih itu dari atas kasur. Melihat nama penelepon, rupanya Putri. “Hallo, Put?” sapaku, begitu sambungan telepon terhubung. “Kak, hari pernikahan kami dipercepat jadi lusa.” Suaranya terdengar riang gembira. Aku masih tidak menyangka, Putri seorang anak yang kukenal pendiam ternyata, ya Allah .... Mengembuskan napas yang terasa sesak. “Oh gitu? Selamat ya?” “Kakak harus datang ya? Sekalian ajak Bang Dion. Putri senang kalau Kakak mau datang.” “Iya, kakak usahakan dateng. Put?” “Iya, Kak?” “Kamu serius, Mama dan Papa Boris jangan dikasih tahu?” “Jangan, jangan, Kak. Putri gak butuh kehadiran mereka! Kalau Mama Papa datang, nanti acara Putri bakalan kacau. Pasti nanti mereka akan saling menyalahkan. Dahlah, Kak! Cukup Kakak aja yang dateng!” Aku menarik napas panjan
PoV DahliaKehidupanku semakin memburuk dari tahun ke tahun. Tidak ada lagi cinta setelah Supriyatna merenggut kesucianku.Dulu Supriyatna adalah seorang lelaki yang membuat aku jatuh cinta. Meskipun ia suka main judi dan mabuk-mabukkan, tetapi perlakuannya kepadaku sangat lembut. Tutur katanya pun halus.Suatu waktu ia datang melamar tanpa memberitahu terlebih dahulu. Sempat terkejut dengan kedatangannya. Aku pikir, ia hanya datang bertamu, tidak serta merta mengungkapkan niat ingin melamar. Andai saja, sebelumnya tahu bahwa ia datang melamar, tentu akan kusuruh ia mengurangi bermain judi dan mabuk-mabukkannya agar orang Bapak dan Ibu setuju, bersedia menerima lamaran Kang Supri.Nasi sudah menjadi bubur. Dia datang, di mana banyak orang melihat Supriyatna sehabis memenangkan permainan judi besar-besaran. Apalagi, ketika datang melamar, Supriyatna habis pesta minum-minuman. Bau alkohol d
PoV DiraSetelah menjadi saksi atas kejahatan Ratih, tak berselang lama aku langsung menjatuhkan talak padanya. Meskipun pernikahan kami legal, tapi tidak aku ceraikan melalui jalur hukum, hanya terucap dari lisan.Bukti-bukti pernikahan kami, aku ambil di kediaman Ratih. Pun rekaman video yang pernah menjadi alat untuk mengancamku. Setelah ditemui, semuanya dibakar hingga menjadi abu.Usai menjadi saksi pula, Bang Dendi langsung mengajak bergabung dalam perusahaannya. Untung saja, sudah mempunyai pengalaman sewaktu membantu perusahaan Ratih, oleh karena itu, selama bekerja di kantor Abang, tidak mengalami kesulitan yang berarti, apalagi Bang Dion selalu siap membantu tiap kali mengalami kesulitan.Tiga hari lalu, Abang telah melangsungkan pernikahan dengan Ayu. Perih, kecewa, cemburu, sakit hati melebur menjadi satu. Tapi sisi lain, aku sadar diri. Bahwa suami dari gadis yang kutaksir itu sudah sang
Setelah dari rumah Silvi, aku mengajak Abang ke pusat perbelanjaan.“Katanya mau ke salon? Gak jadi?” tanya Abang saat dalam perjalanan.“Gak ah! Nanti Abang genit-genit lagi!” sahutku mengerucutkan bibir.“Genit-genit gimana?”“Di salon kan banyak cewek cantik. Nanti pas Abang nungguin Ayu, lirik-lirik lagi!”Aku bersedekap, memandang luar jendela. Abang tertawa renyah.“Ngapain genit ke cewek lain, mending genit sama istri sendiri, bisa sambil grepe-grepe. Hahaha.”“Huuuhh ... maunya!”“Maulah .... kenyal sih!”Kenyal? Menoleh pada Abang.“Kenyal apanya?”Abang tersenyum mesum. Hem, pasti omes nih. Abang melirik dadaku sekilas. Spontan menutupi dengan kedua tangan.“Ngapain ditutupi
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be