PoV Ayu
Raut wajah Bunda seketika berubah tegang setelah mendengar pertanyaan Abang. Sejujurnya aku sangat takut terjadi pertengkaran antara Abang dan Bunda. Bagaimana pun sikap Bunda padaku, sama sekali tidak mengurangi rasa sayang padanya. Bunda adalah wanita yang telah menolong, merawat dan membesarakanku dengan penuh kasih sayang. Andai dahulu Bunda mengabaikan bayi di dalam kardus itu atau malah menyerahkannya kepada pihak berwajib, entah bagaimana nasibku kini. Meski setelah aku menikah dengan Abang sikap Bunda berubah, tapi tidak ada sedikitpun kebencian dalam hati.
“Kenapa bawa-bawa Papa Bram? Bunda Cuma mau kamu lebih perhatian sama Bunda! Misalnya kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.”
“Bisa Bunda. Abang bisa memberi perhatian lebih sama Bunda.” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara. Tidak mau hubungan Abang dengan Bunda semakin memburuk. Aku harus dapat memperbaiki semuanya.
&
PoV BundaAkhirnya aku bisa bernapas lega. Dendi, Ayu, Dion dan istrinya sudah enyah dari Villa ini. Setidaknya untuk sementara waktu, rahasiaku aman. Meski aku yakin, Dendi tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan selalu mencari tahu tentang apa yang aku sembunyikan. Untung saja, semalam dibantu oleh Mang Asep, beberapa foto dan buku harian sudah dipindahkan ke dalam gudang. Tidak lagi kusimpan di kamar itu.Lebih baik sekarang aku bergegas mandi, dan kembali pulang. Semalam Mas Bram menelepon, mencari keberadaanku tapi sengaja tidak aku beritahu. Biarkan saja, dia mengalami kesepian yang aku alami beberapa hari ini.Masuk kamar, handphoneku berdering. Pasti dari Mas Bram. Kuraih ponsel tersebut, ternyata nomor baru. Tidak penting! Meletakan benda canggih itu ke tempat semula. Aku paling malas mengangkat telepon dari nomor baru.Usai membersihkan diri, bersiap untuk pulang. Sambil mengenakan kerudung
PoV AbangAku melirik Ayu, sudah tertidur pulas. Untungnya, kram yang ia rasakan tidak berlangsung lama. Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi, aku beringsut keluar kamar.Di dapur, kulihat Dion sedang menyeduh kopi.“Gue kira lo tidur.” Cetusku, duduk di kursi meja makan. Dion menoleh, tangannya mengaduk kopi.“Kagak. Silvi doang. Lo mau kopi?”“Bolehlah.”Dion membuka sachet kopi, menuangkan pada secangkir gelas, lalu membawa pada dispenser bagian hot, menekannya.“Sebenarnya lo ada masalah apa sama Bunda?” Dion bertanya, meletakkan secangkir kopi di hadapanku.“Bunda ngerahasiain sesuatu lagi,” kataku mengaduk-aduk kopi buatan Dion. Sahabatku itu menunggu kelanjutan cerita tentang Bunda. Meniup kepulan asap kopi, menyesapnya perlahan.“Jadi semalam, pas
PoV AbangKami keluar lewat jendela yang menggunakan kode. Merapat pada dinding seebelum melanjutkan langkah, memastikan keadaan aman. Lalu berlari menuju gudang.Masuk lewat jendela, menutup kembali agar tidak meninggalkan jejak. Aku dan Dion seperti terkejar oleh waktu. Waktu yang dapat mendatangkan Mang Asep ke Villa ini dan memeriksa keadaan.“Gerak cepat, On!” titahku, Dion mengangguk. Mencari tahu apa yang seharusnya aku ketahui. Mataku tertuju pada sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Dengan gerak cepat membuka kotak tersebut, tapi hasilnya nihil. Tidak ada apa-apa. Dion memeriksa lemari usang di sudut ruangan. Aku tak yakin kalau Bunda menyimpannya di sana. Terlalu mudah ditebak. Mendongak, melihat ke plafon. Mungkin gak ya simpan di atas sana? Saat hendak naik ke atas kotak, ternyata benda itu tidak seimbang, seolah ada sesuatu yang mengganjal di bawahnya.“On, sini! Bantu
PoV AbangBukan Cuma Dion yang kepikiran, aku pun sama. Apalagi seingatku, Ayah jarang sekali menceritakan Ibu. Menceritakan tentang persahabatannya dengan Ayah Dion saja bisa dihitung jari. Bagaimana mungkin Ayah melukis objek jika tidak ada alasannya? Andai saja Ayah masih ada, aku bisa menanyakan perihal ini secara langsung.Tiba di rumah, Dion turun lebih dahulu dari mobil menenteng tiga benda tersebut. Menekan bel berkali-kali, keluar Silvi dengan wajah berseri. Ia mencium punggung tangan suaminya. Aku pun turun mobil, setelah mematikan mesin dan mengunci mobil.Masuk ke dalam Villa, tidak kutemui Ayu di ruang keluarga. Sementara Dion sedang berbincang dengan istrinya.“Silvi, Ayu mana?”“Tadi ke toilet.”Aku duduk di atas karpet bulu bersama pasangan suami istri itu. Mengambil album foto usang yang Dion letakkan di depannya.
PoV AbangJantungku seketika berdetak lebih kencang. Sangat terkejut mengetahui kenyataan ini. Aku sudah tau alasan Bunda menyembunyikan semuanya, apalagi kalau bukan karena rasa gengsi??Lantas siapa Kakak kandung atau kembaran Bunda?Memandangi buku kusam itu. Masih banyak halaman per halaman cerita hidup Bunda. Aku membuka lembaran terakhir, curhatan tanggal 21 Desember 2020.Memejamkan kedua mata, belum siap membaca tulisan Bunda yang tampak lebih rapi. Aku mengulum senyum, mengingat usia buku ini lebih tua dari pada usiaku. Bunda ternyata orang yang sangat apik. Pantas saja, buku ini disimpan sangat baik dan rapi. Aku pikir, Ayah dan keluarga besar pasti tidak tahu menahu asal usul Bunda sebenarnya.Menarik napas, membaca kelanjutan halaman berikutnya.*Sekarang aku masuk sekolah baru. Teman-temannya sangat baik. Tidak ada yang mengejekku seperti di sekolah sebelumnya. Tentu saja t
PoV AbangUsai makan siang, aku hendak kembali lagi ke kamar, membaca buku harian Bunda dan Ayah.“Den, lo baik-baik aja?” Dion bertanya setelah menyelesaikan suapan terakhir. Aku mengangguk lemah.“Bang, buku harian itu Cuma masa lalu. Tolong jangan terlalu dipikiran ya, Bang?” ujar Ayu, menyentuh lenganku.“Iya. Abang ke kamar dulu. Ayu mau ikut?”“Nanti Ayu nyusul. Mau beresin ini dulu.”Melangkahkan kaki meninggalkan mereka, masuk kamar, duduk di tepi ranjang, lalu meraih buku harian Bunda. Kuamati buku tersebut, ada sedikit ketakutan dalam diri. Takut kalau isi curhatan Bunda membuatku sakit hati, sedih dan kecewa. Akan tetapi, jika tidak aku lanjutkan membaca, selamanya sikap Bunda tidak akan berubah. Menarik napas panjang, melanjutkan halaman berikutnya.*Harusnya, malam pertama penuh rasa cinta. Tidak bagiku da
PoV Abang Ternyata benar dugaanku, wanita yang dicuntai Ayah adalah Ibu Eva, mertuaku sendiri. Mendesah panjang, memijat pangkal hidung, lalu menyandarkan kepala. Aku dapat merasakan apa yang Ayah alami ketika itu. Dilanda rasa cemburu. Antara marah dan sedih. Mungkinkah rasa kesal dan cemburu Ayah dilampiaskan dalam lukisan? Selama ini, aku tidak pernah melihat Ayah marah. Aku mengubah posisi duduk. Membuka halaman berikutnya. Menceritakan Papa sudah diwisuda. Melewati tulisan itu, lanjut ke halaman berikutnya. *Aku tak menyangka, percintaan Pras ditentang oleh orang tua kekasihnya, hanya karena persaingan bisnis. Terkadang orang tua lebih mementingkan ego dan rasa gengsi, tanpa peduli rasa cinta yang bersemayam di hati. Pras sangat frustasi. Ia jadi lebih sering mabuk-mabukan. Sejak saat itu, hubunganku dengan Pras agak renggang. Pras yang menjauh. Dia seolah sakit hati karena aku tidak pernah mau diajak ke diskotik. Maaf Pras, aku punya prinsip dan keyakinan. Kabar gembira, t
PoV Abang“Bang? Abang kenapa nangis?” Istriku terbangun, susah payah ia duduk bersandar, memegang bahuku. Aku menoleh, memandangnya lekat.“Ayah, salah satu keturunan wanita yang Ayah cintai, sekarang telah menjadi istri Dendi. Dendi janji, hingga akhir hayat, akan menjaga dan mencintainya dengan sepenuh hati,” ucapku dalam hati.Pandangan Ayu tertuju pada buku harian yang berada di atas kasur, Lalu tangannya terulur menyeka air mataku.“Abang nangis karena baca buku itu?” Aku mengangguk, menyeka air mata, menarik napas panjang.“Abang ... kangen Ayah, Yu. Kangeeen ....” Kataku tersedu, air mata sudah tak malu-malu membanjiri kedua pipi. Ayu menangkup wajahku, menyandarkan pada dadanya.“Ssssstt ... sabar, Sayang ... kita doakan Ayah, semoga Ayah bahagia di sana.” Ayu mengeratkan pelukannya.