PoV Abang
Usai makan siang, aku hendak kembali lagi ke kamar, membaca buku harian Bunda dan Ayah.
“Den, lo baik-baik aja?” Dion bertanya setelah menyelesaikan suapan terakhir. Aku mengangguk lemah.
“Bang, buku harian itu Cuma masa lalu. Tolong jangan terlalu dipikiran ya, Bang?” ujar Ayu, menyentuh lenganku.
“Iya. Abang ke kamar dulu. Ayu mau ikut?”
“Nanti Ayu nyusul. Mau beresin ini dulu.”
Melangkahkan kaki meninggalkan mereka, masuk kamar, duduk di tepi ranjang, lalu meraih buku harian Bunda. Kuamati buku tersebut, ada sedikit ketakutan dalam diri. Takut kalau isi curhatan Bunda membuatku sakit hati, sedih dan kecewa. Akan tetapi, jika tidak aku lanjutkan membaca, selamanya sikap Bunda tidak akan berubah. Menarik napas panjang, melanjutkan halaman berikutnya.
*Harusnya, malam pertama penuh rasa cinta. Tidak bagiku da
PoV Abang Ternyata benar dugaanku, wanita yang dicuntai Ayah adalah Ibu Eva, mertuaku sendiri. Mendesah panjang, memijat pangkal hidung, lalu menyandarkan kepala. Aku dapat merasakan apa yang Ayah alami ketika itu. Dilanda rasa cemburu. Antara marah dan sedih. Mungkinkah rasa kesal dan cemburu Ayah dilampiaskan dalam lukisan? Selama ini, aku tidak pernah melihat Ayah marah. Aku mengubah posisi duduk. Membuka halaman berikutnya. Menceritakan Papa sudah diwisuda. Melewati tulisan itu, lanjut ke halaman berikutnya. *Aku tak menyangka, percintaan Pras ditentang oleh orang tua kekasihnya, hanya karena persaingan bisnis. Terkadang orang tua lebih mementingkan ego dan rasa gengsi, tanpa peduli rasa cinta yang bersemayam di hati. Pras sangat frustasi. Ia jadi lebih sering mabuk-mabukan. Sejak saat itu, hubunganku dengan Pras agak renggang. Pras yang menjauh. Dia seolah sakit hati karena aku tidak pernah mau diajak ke diskotik. Maaf Pras, aku punya prinsip dan keyakinan. Kabar gembira, t
PoV Abang“Bang? Abang kenapa nangis?” Istriku terbangun, susah payah ia duduk bersandar, memegang bahuku. Aku menoleh, memandangnya lekat.“Ayah, salah satu keturunan wanita yang Ayah cintai, sekarang telah menjadi istri Dendi. Dendi janji, hingga akhir hayat, akan menjaga dan mencintainya dengan sepenuh hati,” ucapku dalam hati.Pandangan Ayu tertuju pada buku harian yang berada di atas kasur, Lalu tangannya terulur menyeka air mataku.“Abang nangis karena baca buku itu?” Aku mengangguk, menyeka air mata, menarik napas panjang.“Abang ... kangen Ayah, Yu. Kangeeen ....” Kataku tersedu, air mata sudah tak malu-malu membanjiri kedua pipi. Ayu menangkup wajahku, menyandarkan pada dadanya.“Ssssstt ... sabar, Sayang ... kita doakan Ayah, semoga Ayah bahagia di sana.” Ayu mengeratkan pelukannya.
PoV AbangIbu sudah membaca buku harian Ayah. Tidak ada kata yang terucap darinya. Hanya terlihat kedua mata dan hidung yang memerah. Seperti habis menangis.Setelahnya, masih dengan empat mata aku bercerita tentang buku harian Bunda. Tentang masa lalu dan asal usul Bunda. Ibu menyarankan agar aku menelusuri panti asuhan Muara Bunda. Memang benar ada atau hanya fiktif belaka.“Kalau memang panti asuhannya ada, kamu cari wanita pemilik panti. Cari keterangan tentangnya. Semoga urusanmu dipermudah, Nak.” Doa Ibu diakhir pembicaraan kami.Sore hari aku dan Ayu pamit pulang. Ibu melepas kami dengan pelukan.***Keesokan harinya, usai menyantap sarapan bersama istri tercinta, aku bercerita tentang garis besarnya saja.“Sekarang Abang mau cari panti asuhan. Doain Sayang, semoga ketemu.”“Aamiin. Abang carinya sendiri atau sama Bang Dio
PoV AbangKedua bola mataku membulat sempurna, senyum mengembang lebar. Setidaknya dengan bertemu bapak ini, pencarian tentang siapa sosok Bunda sebenarnya akan segera terungkap.“Alhamdulillah ... kalau boleh tahu, nama Bapak siapa ya? Maaf, saya hanya tahu nama Ibu Khadijah.” Kataku mengulurkan telapak tangan.“Ahmad. Panggil saja saya Pak Ahmad,” sahutnya menyambut uluran tanganku.“Saya Dendi. Dan ini ... Bang Parto.” Giliran Bang Parto yang menyalami Pak Ahmad.“Kalau begitu, mari bicara di rumah saya. Sebentar, saya tutup warung dulu.” Aku dan Bang Parto tetap duduk di bangku panjang, sementara Pak Ahmad menutup warung, dan mengunci pintunya.“Mari ikut saya,” ujar Pak Ahmad, memasukkan kunci warung ke dalam saku pakaian koko, lalu berjalan lebih dulu.“Maaf, Pak, rum
PoV Abang Setelah bertamu di rumah Pak Ahmad dan Ibu Khadijah, meluncur ke panti jompo yang terletak di dekat alun-alun kota. Dalam perjalanan, aku membayangkan bagaimana sosok asli Nenek. Seorang wanita yang telah melahirkan Bunda. Ternyata tempat panti jompo tidak terlalu jauh dari kediaman Pak Ahmad. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit kami telah tiba di halaman panti. Bang Parto memarkirkan kendaraan beroda empat di halaman yang luas. Ada beberapa mobil mewah yang terparkir di sini. Yang aku tahu, kebanyakan dari orang-orang yang kaya raya, menitipkan orang tuanya yang sudah sepuh di panti jompo. Dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan, demi kebaikan orang tua karena sibuk dengan pekerjaan si anak. Ada pula yang beralasan tidak mau direpotkan oleh orang tua yang sudah sepuh. Memang, jika orang tua telah sepuh, mereka akan kembali lagi seperti anak kecil. Aku dan Bang Parto turun dari dalam mobil. Di depan teras, menghubungi Tiara kembali. “Iya, Mas Dendi?”
PoV AbangAku terus memohon agar Nenek bersedia ikut pulang ke rumah, tinggal bersamaku dan Ayu.“Berdiri, Nak. Jangan seperti ini. Duduklah.” Nenek menepuk sebelah kanan tempat tidur. Aku menuruti. Wanita yang telah melahirkan Bunda menatapku lekat.“Dengar, Nenek sudah tua. Tidak mau merepotkan kalian.” Lirih Nenek berkata. Aku membalas tatapannya dengan sorot mata memohon.“Nek, tidak ada yang direpotkan. Apakah Nenek tidak ingin, di masa tua Nenek tinggal bersama darah daging Nenek sendiri? Apa Nenek tidak ingin melihat buah hati Dendi?” Sesaat Nenek terdiam. Ia menelisik wajahku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku menunggu jawaban ‘iya, atau bersedia ikut.’ Namun, hanya helaan napas dan kebisuan yang menyelimuti. Tidak ada jawaban pasti.Tiga Nenek jompo yang sedari tadi duduk di luar, masuk ruangan. Dua di antara mereka merebahkan dir
PoV AbangBunda mau nginap? Apa aku tak salah dengar?“Papa Bram emangnya kemana, Bun?”“Keluar kota. Ayu mana? Dia gak tau Bunda datang?”Aku menengok ruang televisi, khawatir kalau Nenek keluar lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.“A-ada, Bun. Bunda duduk dulu. Biar Dendi panggilin.” Bunda duduk di ruang tamu, disusul kedatangan Bi Sumi dengan membawa secangkir teh manis.Di ruang keluarga, Ayu sedang mendengarkan Nenek bercerita.“Sayang, ada Bunda,” ucapku pelan. Nenek mendongak. Raut wajahnya berubah gusar. Aku menggenggam telapak tangannya. Menenangkan Nenek.“Bunda ke sini? Ada apa, Bang?”“Gak tahu. Temuin dulu.” Ayu mengangguk, berdiri, berjalan lebih dahulu ke ruang tamu. Aku duduk di samping Nenek.“Nak, bagai
PoV BramAda perasaan bahagia yang kudapatkan dari seorang wanita bernama lengkap Sari Wulandari. Walaupun pertemuan kami baru beberapa jam lalu, tapi aku merasa seperti sudah sejak lama mengenalnya. Apa karena wajah Jhoni ini?“Nyetirnya yang fokus, Mas. Lihat ke depan! Dari tadi lirik-lirik terus?” Aku tergelak. Ternyata Sari menyadari kalau sedari tadi aku memerhatikannya.“Gimana mau fokus, kalau ditemani sama wanita cantik macam kamu.” Sari mencubit kecil perutku.“Udah berani ngegombal ya?”“Aduh ampun ... sakit ....” Kataku pura-pura kesakitan. Sari membuang muka sembari tersenyum. Senyum yang menenangkan. Ah sial! Kenapa wanita ini dapat membuatku lupa akan Riana?“Ngomong-ngomong, anakmu ada di rumah?” tanyaku memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.“Enggak.