PoV Ayu
Aku tidak boleh berdiam diri, harus ke rumah sakit sekarang, memastikan kondisi Abang. Bergegas mengambil tas, mengenakan kaos kaki. Baru saja hendak keluar kamar, ponsel berdecit. Abang.
Kubuka pesannya.
[Kritis karena merindukanmu, Beb.]
Ya Allah ... dasaaaar .... gemas aku dibuatnya. Langsung melakukan video call.
“Alhamdulillah calon bini peka, tau calon laki kangen, langsung video call,” ucapnya tanpa berdosa. Aku tetap diam.
“Eh, Ayu habis nangis?” Nah baru sadar. Aku cemberut. Memicingkan mata padanya.
“Lho, kenapa? Kayak orang marah.”
“Nyebelin!!! Bikin panik! Kirain kritis beneran, gara-gara donorin darah!” Auto ngomel. Abang diam sejenak. Berpikir.
“Ya Allah ... Abang gak selemah itu. Lagian mana ada orang kritis bisa kirim pesan?”
Iya juga ya? Kenapa tadi tidak terpikirkan ke arah sana.
&
PoV Ratih HerlinaSuami mudaku tetap bergeming. Tangannya masih saja mengepal. Sorot matanya berubah penuh rasa kebencian. Ya, aku tahu dia sedang menahan emosi. Kuhampiri dirinya dengan langkah gemulai.“Gimana, Sayang? Mau kan?” tanyaku mendesis. Aku menyusuri lekuk wajahnya dengan ujung jari. Ia memalingkan muka kasar.“Enggak! Aku gak mau. Kalau kamu mau bunuh Ibu Bapakku, silakan. Aku gak peduli," jawabnya dengan intonasi tinggi. Aku cukup terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Mahasiswa yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM.Kedua mataku membulat mendengar jawaban Sudira. Lelaki ini rupanya sama jahat denganku. Mengharapkan orang tuanya sendiri ingin mati.“Kamu serius?” tanyaku meyakinkan. Sebab aku yakin, Sudira pada dasarnya sangat baik. Ia berhati lembut. Bahkan dengan anakku Firman pun sangat perhatian.“Serius. Silakan saja kau bunuh Ibu Bapakku. Kalau mereka mati, beba
PoV AbangTiba di rumah sakit, Bang Parto langsung dibawa ke ruang UGD. Darah berceceran di lantai rumah sakit, dokter dan perawat langsung berlari ke ruangan. Bang Parto harus selamat, ia tidak boleh mati. Hanya dia saksi kunci yang kami punya saat ini. Herlina harus mendekam di Penjara. Dia harus membayar mahal atas perbuatannya yang dilakukan sejak dahulu.Aku berharap-harap cemas selagi dokter memeriksa keadaan Bang Parto. Berdiri dan duduk kulakukan untuk menutupi rasa cemas. Tak lupa, doa-doa juga tak pernah lepas dari bibir. Aku tak menyangka kalau kejadian ini akan memakan korban. Untung saja meeting bersama para karyawan bisa dipending dahulu. Aku jadi penasaran, kronologis kejadiannya seperti apa hingga Bang Parto bisa tertembak. Dan siapa yang menembak? Herlina atau anaknya si Banci Firman?Tak lama dokter pun keluar dari dalam ruangan.“Pasien banyak kehilangan darah. Golongan darah pasien AB+, saat ini stok darah di
PoV SudiraAku kira, dengan ‘Bermain’ kasar, membuat dia takut dan membatalkan niat menyuruhku untuk membunuh orang. Ternyata malah membuatnya ketagihan. Dasar wanita gak waras! Semakin aku siksa, dia semakin menggila. Kalau tak ingat hartanya, semalam sudah kubunuh perempuan licik itu.“Aku mau pulang," ucapku hendak keluar kamar.“Sayaaang ... pokoknya aku gak mau tahu, Minggu depan kamu harus nyusul ke Swiss. Aku ... mau ‘main’ kayak tadi lagi ....” Tangannya mencoba membuka kancing kemejaku. Segera menepisnya kasar.Gila! Wanita gila!“Sebelum ke Swiss, kamu harus tanda tangani surat pengalihan nama pemilik perusahaan dulu. Menjadi nama aku!” tandasku tegas.Ratih terkejut. Berusaha tersenyum meski bibirnya terluka.“Gak bisa dong, Sayang ... kerjanya aja belum, kok udah minta imbalan," sahutnya manja. Dulu, sebelum ia menyuruhku membunuh orang,
PoV SudiraSepanjang jalan, aku memikirkan cara, bagaimana mencari orang yang bernama Dion Restunaga dan Eva Williams.Ratih benar-benar gila! Tidak berpikir akibat kalau aku salah sasaran. Belum lagi, cara membunuh dua orang itu dengan memberinya racun. Bagaimana cara memberi racunnya?!Salah aku juga, dulu mau-maunya diajak foto berpose bugil, mau-maunya aktivitas hubungan intim kami divideokan. Sialnya, rekaman itu hanya dipegang oleh Ratih. Dulu aku tidak mempersoalkan, karena berpikir, tidak mungkin Ratih menyebarluaskan foto atau video tersebut. Secara dia pengusaha terkenal. Andai saja ancamannya selain itu, pasti tanpa ragu kutolak perintah wanita yang bernama asli Ratih Herlina.Aku jadi penasaran, masalah apa yang Ratih alami dengan dua orang itu? Sehingga Dion dan Eva harus dibunuh? Apa karena saingan bisnis? Rasanya tidak mungkin kalau hanya masalah Firman ditonjok.Ketika sedang menerka-nerka permasalahan Rati
PoV AyuAlhamdulillah acara pertunangan berjalan dengan lancar. Hubungan Ibu dan Bunda pun sudah semakin membaik. Bahkan, kalau aku dan Abang sudah menikah, Bunda kasih ijin tinggal di rumah Ibu selama satu Minggu.“Yu, nanti kalau kita udah nikah, gak mau honeymoon?” tanya Abang saat kami dalam perjalanan mengambil gaun pengantin.“Mau sih. Abang maunya honeymoon ke mana?”“Lho kok tanya Abang. Abang sih ikut maunya Ayu.” Berpikir sejenak. Kira-kira ke mana ya?“Bingung. Abang aja deh yang mutusin.”“Oke. Nanti Abang cari tempat yang bagus.” Kutanggapi dengan anggukkan kepala.Perjalanan selanjutnya hanya keheningan yang menyelimuti. Sesekali kami beradu pandang, aku memalingkan pandangan dengan senyum dikulum.“Kenapa, Yu?”“Kenapa apanya?”“Itu sih mukanya merah?” Langsung menangkupkan kedua tangan pada
PoV DiraDi luar dugaan, di sini aku bertemu dengan Eva dan Dion. Terrnyata tak perlu mencari target ke mana-mana, tanpa aku cari, mereka sudah ada di depan mata.Satu yang membuatku ragu, mereka satu darah dengan wanita yang sangat kucintai, Ayu.“Masa bodo lah! Toh Ayu sudah punya Bunda Tari yang kasih sayangnya melebihi ibu kandung.” Menepis pikiran yang melintas.Mengeluarkan ponsel, dari kejauhan kufoto Dion dan Eva. Nanti dua foto ini akan aku kirim pada Ratih.“Cin, pulang yok! Gaes, gue ama Cindy pulang duluan ya?” seru Rina berdiri.“Oke!!”Dua wanita seksi itu menghampiri Ayu yang berbalut gamis berwarna merah muda. Menyalami keluarganya satu persatu.“Gila ya? Malam ini si Ayu kelihatan tambah cantik! Gimana kalau udah rias penganten! Beruntung banget tuh Abangnya!” Celetukkan Rico
PoV Dira Aku terpaku, bibir terasa kelu mendengar suara Ayu. Tidak menduga kalau Ayu ada di rumah Eva. Aduh, bagaimana ini? “Mas, mau cari siapa?” tanya Ayu lagi. Aku menelan saliva. Sebelum menjawab aku berdehem. “Ini, Mbak, mau anter pesanan Ibu Maria," sahutku meninggalkan kotak yang berisi makanan. Sengaja aku mencari nama Maria, agar terkesan salah alamat. Aku sudah putuskan, tidak memberikan makanan ini sekarang. Kening Ayu berkerut. “Ibu Maria?” Aku yakin Ayu pasti heran. “Siapa, Nak?” Salah satu target muncul dari balik pintu. Entah kenapa, kehadirannya membuatku salah tingkah. “Mas ini mau anter pesanan Ibu Maria. Emang di sini ada yang namanya Ibu Maria?” “Maria? Gak ada. Di rumah ini gak ada yang namanya Maria. Mungkin Mas salah alamat.” Pura-pura nge-cek alamat kembali. “Oh iya, salah al
PoV SudiraApa yang dibicarakan Mang Supri ada benarnya. Rasanya hatiku jadi lebih lega setelah mengobrol dengan tukang ojek online itu.“Makasih ya, Mang. Saya jadi sedikit lega. Saya akan pertimbangkan saran Mang Supri. Saya juga udah mantap, tidak akan membunuh siapa-siapa. Biarlah menjadi urusan istri saya dengan dua target.”Meski hidupku tidak baik, pernah menjadi simpanan tante-tante, suka morotin uang mereka, tapi untuk membunuh, selintas pun tidak pernah terpikirkan.“Mas Dira ini orang yang cerdas, pendidikan tinggi, penampilan keren, wajah tampan, pasti mudah buat ngelamar kerja di perusahaan besar.” Lagi-lagi Mang Supri memujiku dan memberi semangat.“Mang Supri bisa aja nih.” Kuhela napas, masih ada sesuatu yang mengganjal.“Ada masalah lain, Mas?” Laki-laki yang rambutnya mulai beruban seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Tapi untuk soal ini, tak perlulah
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be