PoV Dira
Aku terpaku, bibir terasa kelu mendengar suara Ayu. Tidak menduga kalau Ayu ada di rumah Eva. Aduh, bagaimana ini?
“Mas, mau cari siapa?” tanya Ayu lagi. Aku menelan saliva.
Sebelum menjawab aku berdehem.
“Ini, Mbak, mau anter pesanan Ibu Maria," sahutku meninggalkan kotak yang berisi makanan. Sengaja aku mencari nama Maria, agar terkesan salah alamat. Aku sudah putuskan, tidak memberikan makanan ini sekarang.
Kening Ayu berkerut.
“Ibu Maria?” Aku yakin Ayu pasti heran.
“Siapa, Nak?” Salah satu target muncul dari balik pintu. Entah kenapa, kehadirannya membuatku salah tingkah.
“Mas ini mau anter pesanan Ibu Maria. Emang di sini ada yang namanya Ibu Maria?”
“Maria? Gak ada. Di rumah ini gak ada yang namanya Maria. Mungkin Mas salah alamat.”
Pura-pura nge-cek alamat kembali.
“Oh iya, salah al
PoV SudiraApa yang dibicarakan Mang Supri ada benarnya. Rasanya hatiku jadi lebih lega setelah mengobrol dengan tukang ojek online itu.“Makasih ya, Mang. Saya jadi sedikit lega. Saya akan pertimbangkan saran Mang Supri. Saya juga udah mantap, tidak akan membunuh siapa-siapa. Biarlah menjadi urusan istri saya dengan dua target.”Meski hidupku tidak baik, pernah menjadi simpanan tante-tante, suka morotin uang mereka, tapi untuk membunuh, selintas pun tidak pernah terpikirkan.“Mas Dira ini orang yang cerdas, pendidikan tinggi, penampilan keren, wajah tampan, pasti mudah buat ngelamar kerja di perusahaan besar.” Lagi-lagi Mang Supri memujiku dan memberi semangat.“Mang Supri bisa aja nih.” Kuhela napas, masih ada sesuatu yang mengganjal.“Ada masalah lain, Mas?” Laki-laki yang rambutnya mulai beruban seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Tapi untuk soal ini, tak perlulah
PoV SilviSetelah beberapa hari berpikir, akhirnya memutuskan pulang ke rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru bagiku tempat yang menakutkan. Bagaimana tidak? Jika kaki ini menginjakkan rumah yang terbilang mewah itu, segala caci maki serta omelan selalu kudapatkan tanpa tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat.Belum lagi, tatapan Mama. Sedari dulu, tatapan Mama selalu seperti memendam kebencian. Seorang ibu yang semestinya menjadi tempatku berkeluh kesah dan bermanja, justru seolah menjadi tempat pelampiasan kemarahan.“Neng Cipi mau Bang Ion antar?” tanya laki-laki yang kini telah menjadi tempatku berkeluh kesah. Meski perkenalan kami baru hitungan hari, entah kenapa, aku merasa seperti sudah mengenalnya sangat lama.“Gak usah, Bang.”“Tapi, Abang khawatir.”Sedikit banyak Bang Dion memang sudah mengetahui keadaan keluargaku.
PoV AyuLima sampai sepuluh kali produksi dalam sehari? Apa tidak kebanyakan? Tidak capek?Aku bergidik ngeri membayangkannya. Astaghfirullah ... gara-gara omongan Abang, otak aku jadi ketuluran mesum.Kututupi wajah dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala sambil menghentakkan kaki.“Yu, Ayu?”Membuka kedua telapak tangan, menoleh.“Kenapa?”“Gak kenapa-napa.”“Mikir mesum ya?”Astaga! Untuk kedua kalinya Abang bisa menebak pikiranku.“Ng-nggak kok! Emangnya Abang!!” Ketusku mengerucutkan bibir.Abang melirikku sambil tersenyum.“Jangan lirik-lirik, fokus ke jalan!! Nyebelin!!” Bersungut, membuang muka.“Abang gak bisa fokus kalau Ayu kayak gini.”Aku enggan menanggapi. Tetap memasang wajah k
PoV AyuPukul empat sore, Abang datang menjemput. Seperti biasa, dia pasti mampir dulu, ngobrol-ngobrol sama Ibu.“Minum kopinya, Bang?” Aku meletakkan secangkir kopi di hadapan Abang. Kemudian duduk di samping Ibu.“Bu, Dendy berasa lagi bertamu.” Bisik Abang pada Ibu. Ibu menoleh padaku, lantas tersenyum.“Bertamu jadi mantu.” Timpal Ibu. Lalu mereka tertawa. Ish! Ibu mulai berkelakar.“Canda, Cantiiik....” Melihatku bermuka masam, Abang angkat bicara.“Emang gitu Nak Dendy, kalau gadis mau nikah, bawaannya tuh sensitiiiiiff banget. Hati-hati lho.”Aku tetap diam. Menjadi penonton aksi dua orang yang aku kasihi.“Iya, Bu. Ayu belakangan jadi sering ngambek. Nangiiiiss ... terus.”“Ya kan Abang yang bikin Ayu nangis!!” Au
PoV AyuCemburu? Abang cemburu sama siapa? Perasaan aku tidak memuji-muji lelaki lain.“Abang cemburu sama siapa?” tanyaku heran. Laki-laki yang duduk bersebrangan denganku malah membuang muka, seolah enggan menatapku.“Dira," sahutnya singkat.“Dira? Kenapa?”“Karena Ayu kenal banget dia.” Suaranya masih tertahan tapi aku tahu, ada nada tidak suka dibalik itu.“Bang, Ayu kan temenan ama Dira udah lama. Ya, Ayu tahu dia. Kenal dia.”Abang bungkam. Napasnya memburu.Apa iya, aku terlalu mengenal Dira? Apa Iya, omongan aku bikin Abang cemburu?“Ya deh ... Ayu salah. Ayu ... minta maaf ya, Bang?” Menatapku, bibirnya tersenyum. Senyuman terpaksa.“Lain kali, jangan bicarain laki-laki lain di depan Abang. Apalagi cowoknya pernah suka ama Ayu.”&nb
PoV Ayu Dira menarik diri, terkejut mendengar pertanyaan Abang. Bibirnya dipaksakan tersenyum tapi aku tahu, kalau itu hanya untuk menghalau rasa gugup saja. “Ra-Ratih Herlina siapa?” Dira mengusap tengkuk. Membuang muka ke arah lain. Merunduk. Abang masih menatap intens mantan ketua BEM itu. “Gue gak suka berbelit-belit. Apa lo tau sikap Herlina sebenarnya?” Dira menoleh sekilas, lalu membuang pandangan lagi. Seolah tak mau beradu pandang dengan Abang dan aku. “Ratih Herlina alias bini lo itu, seorang pem-bu-nuh!!” Spontan kedua mata Dira membeliak. Abang menyandarkan tubuh ke sofa sambil bersedekap. “Gue yakin, lo tau dia di mana sekarang.” Lelaki berlesung pipit di depanku tetap bungkam. Seperti menahan beban yag berat. “Oke! Kalau lo gak mau jawab pertanyaan gue, terpaksa ... lo harus jawab pertanyaan dari Polisi. Ayok, Yu! Kita pulang! Mampir dulu ke kantor polisi.” “Bang, tunggu!!!” Abang dan aku yang sudah berdiri, duduk kembali. Memandang serius pada Dira. “Dira, kamu
PoV AyuSenang rasanya melihat Abang dan Dira berjabat tangan erat. Semoga saja kedepannya Abang gak cemburu sama Dira lagi.“Makasih ya, Bang.” Ucap Dira.“Oke!” Dua lelaki itu melepaskan tangan masing-masing.“Oh iya, Yu. Saya punya kabar tentang Silvi.”“Silvi? Kabar apa?”Sudira melirik arloji.“Hmm ... kalau saya cerita, kemaleman gak?”Abang ikutan melirik arloji.“Penting gak?”“Menurut saya penting, Bang.”Abang terlihat gusar. Memandangku sejenak.“Hmm ... Dira, sori. Ceritanya lain kali aja ya? Ini udah malem. Kami gak enak kalau pulang kemaleman. Atau kalau gak, kamu kirim pesan aja,” usulku, sesekali melirik arloji.Penasaran juga sebenarny
PoV Ayu Kuurungkan kaki melangkah ke kamar, berbelok ke ruang keluarga, menguping pembicaraan Bunda dengan Abang, di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Menempelkan telinga pada dinding, agar lebih jelas terdengar. “Bunda gak boleh larang Ayu ke rumah Ibu. Kasihan Ayu, dia kan baru ketemu ibu kandungnya.” Abang memulai pembicaraan. Suaranya terdengar jelas. Mungkin karena sudah malam, berbicara pelan juga akan menggema. “Kamu gak tahu apa-apa, Nak. Justru Bunda larang dia ke sana, karena khawatir terjadi sesuatu pada Ayu.” Terjadi sesuatu? Sesuatu apa? Aku terus menempelkan telinga pada dinding pembatas. “Terjadi sesuatu? Sesuatu gimana?” Pertanyaan Abang menwakilkan pertanyaanku. Cukup lama Bunda menjawab. “Nak ... Eva itu ... pernah gi-la!” Aku terhenyak mendengar kata terakhir Bunda. Gila? Apa aku salah dengar ya? Masa sih ibu pernah gila? Apa Bunda lagi becanda ya? “Gila? Maksud Bunda?” “Ya ampun, Nak ... gila, gak waras. Eva pernah mengalami gang
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be