PoV Ayu
Lima sampai sepuluh kali produksi dalam sehari? Apa tidak kebanyakan? Tidak capek?
Aku bergidik ngeri membayangkannya. Astaghfirullah ... gara-gara omongan Abang, otak aku jadi ketuluran mesum.
Kututupi wajah dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala sambil menghentakkan kaki.
“Yu, Ayu?”
Membuka kedua telapak tangan, menoleh.
“Kenapa?”
“Gak kenapa-napa.”
“Mikir mesum ya?”
Astaga! Untuk kedua kalinya Abang bisa menebak pikiranku.
“Ng-nggak kok! Emangnya Abang!!” Ketusku mengerucutkan bibir.
Abang melirikku sambil tersenyum.
“Jangan lirik-lirik, fokus ke jalan!! Nyebelin!!” Bersungut, membuang muka.
“Abang gak bisa fokus kalau Ayu kayak gini.”
Aku enggan menanggapi. Tetap memasang wajah k
PoV AyuPukul empat sore, Abang datang menjemput. Seperti biasa, dia pasti mampir dulu, ngobrol-ngobrol sama Ibu.“Minum kopinya, Bang?” Aku meletakkan secangkir kopi di hadapan Abang. Kemudian duduk di samping Ibu.“Bu, Dendy berasa lagi bertamu.” Bisik Abang pada Ibu. Ibu menoleh padaku, lantas tersenyum.“Bertamu jadi mantu.” Timpal Ibu. Lalu mereka tertawa. Ish! Ibu mulai berkelakar.“Canda, Cantiiik....” Melihatku bermuka masam, Abang angkat bicara.“Emang gitu Nak Dendy, kalau gadis mau nikah, bawaannya tuh sensitiiiiiff banget. Hati-hati lho.”Aku tetap diam. Menjadi penonton aksi dua orang yang aku kasihi.“Iya, Bu. Ayu belakangan jadi sering ngambek. Nangiiiiss ... terus.”“Ya kan Abang yang bikin Ayu nangis!!” Au
PoV AyuCemburu? Abang cemburu sama siapa? Perasaan aku tidak memuji-muji lelaki lain.“Abang cemburu sama siapa?” tanyaku heran. Laki-laki yang duduk bersebrangan denganku malah membuang muka, seolah enggan menatapku.“Dira," sahutnya singkat.“Dira? Kenapa?”“Karena Ayu kenal banget dia.” Suaranya masih tertahan tapi aku tahu, ada nada tidak suka dibalik itu.“Bang, Ayu kan temenan ama Dira udah lama. Ya, Ayu tahu dia. Kenal dia.”Abang bungkam. Napasnya memburu.Apa iya, aku terlalu mengenal Dira? Apa Iya, omongan aku bikin Abang cemburu?“Ya deh ... Ayu salah. Ayu ... minta maaf ya, Bang?” Menatapku, bibirnya tersenyum. Senyuman terpaksa.“Lain kali, jangan bicarain laki-laki lain di depan Abang. Apalagi cowoknya pernah suka ama Ayu.”&nb
PoV Ayu Dira menarik diri, terkejut mendengar pertanyaan Abang. Bibirnya dipaksakan tersenyum tapi aku tahu, kalau itu hanya untuk menghalau rasa gugup saja. “Ra-Ratih Herlina siapa?” Dira mengusap tengkuk. Membuang muka ke arah lain. Merunduk. Abang masih menatap intens mantan ketua BEM itu. “Gue gak suka berbelit-belit. Apa lo tau sikap Herlina sebenarnya?” Dira menoleh sekilas, lalu membuang pandangan lagi. Seolah tak mau beradu pandang dengan Abang dan aku. “Ratih Herlina alias bini lo itu, seorang pem-bu-nuh!!” Spontan kedua mata Dira membeliak. Abang menyandarkan tubuh ke sofa sambil bersedekap. “Gue yakin, lo tau dia di mana sekarang.” Lelaki berlesung pipit di depanku tetap bungkam. Seperti menahan beban yag berat. “Oke! Kalau lo gak mau jawab pertanyaan gue, terpaksa ... lo harus jawab pertanyaan dari Polisi. Ayok, Yu! Kita pulang! Mampir dulu ke kantor polisi.” “Bang, tunggu!!!” Abang dan aku yang sudah berdiri, duduk kembali. Memandang serius pada Dira. “Dira, kamu
PoV AyuSenang rasanya melihat Abang dan Dira berjabat tangan erat. Semoga saja kedepannya Abang gak cemburu sama Dira lagi.“Makasih ya, Bang.” Ucap Dira.“Oke!” Dua lelaki itu melepaskan tangan masing-masing.“Oh iya, Yu. Saya punya kabar tentang Silvi.”“Silvi? Kabar apa?”Sudira melirik arloji.“Hmm ... kalau saya cerita, kemaleman gak?”Abang ikutan melirik arloji.“Penting gak?”“Menurut saya penting, Bang.”Abang terlihat gusar. Memandangku sejenak.“Hmm ... Dira, sori. Ceritanya lain kali aja ya? Ini udah malem. Kami gak enak kalau pulang kemaleman. Atau kalau gak, kamu kirim pesan aja,” usulku, sesekali melirik arloji.Penasaran juga sebenarny
PoV Ayu Kuurungkan kaki melangkah ke kamar, berbelok ke ruang keluarga, menguping pembicaraan Bunda dengan Abang, di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Menempelkan telinga pada dinding, agar lebih jelas terdengar. “Bunda gak boleh larang Ayu ke rumah Ibu. Kasihan Ayu, dia kan baru ketemu ibu kandungnya.” Abang memulai pembicaraan. Suaranya terdengar jelas. Mungkin karena sudah malam, berbicara pelan juga akan menggema. “Kamu gak tahu apa-apa, Nak. Justru Bunda larang dia ke sana, karena khawatir terjadi sesuatu pada Ayu.” Terjadi sesuatu? Sesuatu apa? Aku terus menempelkan telinga pada dinding pembatas. “Terjadi sesuatu? Sesuatu gimana?” Pertanyaan Abang menwakilkan pertanyaanku. Cukup lama Bunda menjawab. “Nak ... Eva itu ... pernah gi-la!” Aku terhenyak mendengar kata terakhir Bunda. Gila? Apa aku salah dengar ya? Masa sih ibu pernah gila? Apa Bunda lagi becanda ya? “Gila? Maksud Bunda?” “Ya ampun, Nak ... gila, gak waras. Eva pernah mengalami gang
PoV SilviSuara yang keluar dari mulut Mama bagai sengatan aliran listrik. Sudah jelas, kehidupanku di dunia ini memang tidak inginkan. Tidak berarti bagi mereka. Sekarang aku mulai mengerti, kenapa Mama dan Papa membedanku dari pada Syifa dan Putri. Kedua adikku.“Sekarang lebih baik kamu pergi!!! Jangan pernah kembali lagi! PERGI!!!”Perih, sakit hati ini ya Allah .... sosok Ibu yang selalu kurindukan, yang selalu kudoakan, kenyataannya dia sangat membenciku. Meski lemas persendian, memaksakan diri untuk berdiri.Menarik napas, menyeka air mata, lalu meraih telapak tangan Mama.“Jangan sentuhhh!!! Anak pembawa sialll!! Pergiiii!!” Mama menepis kasar tanganku.“Ma ....”“Pergii!!”Tak ada lagi kasih sayang dari sorot kedua matanya. Bukan tak ada lagi, memang sedari dulu tidak pernah kuli
PoV AbangPagi-pagi sekali sebelum berangkat kantor, ponselku berdering. Sebuah panggilan dari kepolisian.“Ya, Pak?”“Pak Dendy kami sudah menemukan Ratih Herlina. Sekarang sedang di lokasi. Kami menunggu kedatangan anda.” Aku terkejut mendengar kabar tersebut. Alhamdulillah, akhirnya Psikopat itu tertangkap.“Baik, Pak. Sekarang saya meluncur ke sana.”Berjalan ke meja makan, sarapan sebentar. Di sana sudah ada Bunda dan Ayu. Setelah menyapa mereka, aku makan dengan terburu-buru.“Sarapannya pelan-pelan, Nak.”“Dendy ada urusan penting, Bun.”Setelah meneguk air susu, berpamitan pada Bunda dan Ayu, aku segera keluar rumah dan melajukan mobil ke daerah Bekasi. Di mana rumah Ratih berada.Merogoh ponsel, mengetik nama kontak Dion, menelepon. Dia harus aku beritahu.&
PoV AbangBi Sumi sudah bangun dari sujudnya. Kini ia duduk bersimpuh. Bang Parto mendekati Bi Sumi, menghadapnya. Aku yang masih belum mengerti apa yang terjadi hanya diam.“Sum ... Mas minta maaf.” Suara Bang Parto bergetar.“Selama ini Mas Ato kemana?”Belum sempat Bang Parto menjawab, Ibu menyela.“Duduk di sofa dulu, jangan di sini. Bang Parto silakan duduk kembali, Bibi duduk di sini.” Ibu menuntun Bi Sumi agar duduk di atas sofa.Kutepuk-tepuk pundak Bang Parto, lelaki berkumis tebal itu menoleh, memaksakan untuk tersenyum.Sepertinya, Bang Parto dan Bi Sumi mempunyai masa lalu.“Jadi, Bang Parto ini, suami Bi Sumi?” pertanyaan Ibu membuatku tersentak kaget.Suami? Menoleh pada Bang Parto.“I-iya, Bu. Mas Ato yang sering saya ceritakan pada Ibu,” Jawab Bi Sumi