PoV Ayu
"Oh iya, Bu Eva.” Aku dan Ibu melepaskan pelukan, menoleh pada Bunda, tampak tenang sekali.
“Nanti malam ada pengajian di sini. Hm ... sekalian mau ngasih tau ke teman-teman saya, para tetangga, kalau Ayu adalah anak angkat. Supaya, nanti pas mereka menikah, tidak ada fitnah atau pikiran macam-macam. Kalau Bu Eva tidak sibuk, silakan datang.” Cetus Bunda. Kulihat Ibu memaksakan untuk tersenyum.
“Iya, saya akan datang. Nak, nanti malam Ibu sama Bang Dion akan datang ke sini.”
“Satu lagi, Bu. Malam Minggu besok juga, Dendy dan Ayu akan bertunangan. Di rumah ini acaranya, bukan di tempat lain. Ya barang kali, Bu Eva mau menghadiri.”
Enteng Bunda berbicara. Lagi-lagi Ibu hanya mengulas senyum.
“Baik, saya akan datang," sahut Ibu. Kedua matanya tak lagi menatap Bunda. Guratan kesedihan sangat kentara dari balik wajah cantiknya. Kugenggam tangan Ibu. Mencoba memberi
PoV AyuSemua orang yang berada di ruangan seketika membungkam. Menyimak dan menunggu perkataan Abang selanjutnya.Laki-laki yang mengenakan stelan muslim itu menghela napas.“Satu lagi yang perlu Ibu-Ibu ketahui. Dulu, sewaktu Ayu masih bayi, dia bukan dibuang oleh orang tuanya. Bukan bayi yang tidak diinginkan. Tetapi, bayi yang hilang karena diculik oleh Penjahat!”Raut wajah para Ibu-ibu mendadak tegang. Kedua bola mata mereka membulat. Ada yang sampai menutup mulutnya sendiri. Ada juga saling memandang satu sama lain.“Oleh pelakunya disimpan dalam kardus, lalu diletakkan di depan rumah lama saya. Alasan penculik tersebut menyimpan bayi itu, dia dalam pengejaran polisi, karena telah membunuh Ayah kandung Ayu.”“Astaghfirullah!”“Ya Allah!!”Pekik ibu-ibu. Kulihat wanita yang melahirkanku merunduk, ia menangis. Ingin sekali aku memeluknya tapi ....&
PoV Ayu"Ayu, ingat pesan Abang!! Jangan keluar dari mobil!!" Titah Abang dengan nada cemas. Sungguh, sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi di dalam kontrakan sana."Bang ... Ayu cemasin Ibu sama Bang Dion ...." kataku dengan suara bergetar. Tubuhku mendidik gemetaran, takut sekaligus cemas.Para tetangga kontrakan berhamburan keluar rumah. Mendekati kediaman laki-laki yang bernama Bang Parto. Mungkin karena mendengar suara tembakan tadi.“Ayu tenang, Abang udah nyuruh karyawan sini telepon polisi. Abang mohon jangan keluar dari mobil. Sebentar lagi Abang nyampe sana.”Aku tak menjawab ucapan Abang. Tubuh ini gemetaran.“Rapat dicancel.” Masih kudengar suara Abang dari ujung telepon.Dari arah belakang kontrakan, kulihat dua orang setengah berlari. Satu seorang wanita, dan satunya lagi seorang pria. Seolah menghindari kerumunan. Memasuki mobil mewah yang t
PoV AyuAku mendengar penuturan Bang Dion yang menceritakan kronologis kejadian di dalam kontrakan.“Jadi bener, Herlina itu sebenarnya tante Ratih teman arisan Bunda?” tanya Abang setelah Bang Dion mengakhiri cerita.“Gak salah lagi,” sahut Bang Dion. Wajahnya terlihat sangat kelelahan. Aku kasihan sama Ibu dan Bang Dion. Mereka pasti sangat lelah sekali. Kulihat Ibu, Ibu pun demikian. Tapi sekarang sudah lebih tenang.“Bu, gimana ceritanya Ibu bisa kenal Herlina?” tanyaku penasaran. Ibu masih saja membisu. Pandangannya lurus ke depan.“Dulunya dia seorang model," sahut Ibu dengan suara lemah.“Model?” tanyaku berbarengan dengan Abang. Ibu menarik napas panjang.“Ayah Dion pernah cerita. Dulu, Ayah Dendy, Doni. Ayah Dion, Restu. Dan suami Ratih Prasetya adalah tiga sahabat. Mereka bersahabat sejak awal masuk kuliah. Singkat cerita, Doni dan Pras mencintai
PoV Herlina“Parto b*doh! Kenapa malah ngebocorin semuanya??!! Sialan!!!” Kupukul-pukul sisi stir mobil dengan keras. Aku sangat kecewa dengan lelaki berkumis tebal itu. Tidak bisa diandalkan!!“Mami ... jangan berisik. Iman kan kaget.” Aku menoleh. Anak lelakiku satu-satunya memprotes kemarahanku. Sifat dia memang kadang labil. Kadang seperti orang dewasa, kadang seperti anak kecil.“Maaf, Sayang ... Mami emosi. Ya udah, Iman lanjut main gamenya.”Sepanjang jalan, pikiran menerawang. Menarikku pada kejadian dua puluh tahun lalu. Terutama tentang perkenalanku dengan laki-laki tampan dan mapan. Prasetya Wirawan.Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Tapi sayang, laki-laki itu tak pernah mencintaiku hingga akhir hayatnya. Dia lebih mencintai Tari Riana yang tak lain istri sahabatnya sendiri. Harusnya wanita itu juga aku bunuh. Eva aku bunuh. Anaknya aku bunuh. Semua keturunan mereka aku len
PoV Ayu Aku dan Ibu menelisik foto tersebut. Laki-laki di foto itu badannya kurus, rambut rapi, tangannya tidak ada tatto. Fotonya juga kurang jelas, agak buram. Mungkin karena foto lama. “Kayaknya bukan, Bi.” Pemikiran ibu ternyata sama denganku. Kayaknya memang bukan Parto suami Bi Sumi. “Bang Parto itu rambutnya panjang, tangannya banyak tatto, kumisan, badannya juga gede, Bi.” Aku menambahkan. Bi Sumi semakin tertunduk lesu. “Oh begitu ya?” Bi Sumi mengambil kembali foto dari tangan Ibu. Ia benar-benar terlihat kecewa. “Bi, jangan sedih. Kalau memang Mas Parto masih jodoh Bibi, suatu saat pasti akan bertemu.” Ibu merangkul pundak Bi Sumi. Berusaha untuk menenangkannya. “Mungkin ... Mas Parto memang sudah meninggal, Bu. Seperti kata orang-orang kampung.” Suara Bi Sumi terdengar nelangsa. “Tapi hati Bibi yakin kan kalau dia masih hidup?” tanya Ibu sembari mengusap punggung tangan Bu Sumi. Wanita yang sudah lama mengabdi itu mengangguk lemah. Kembali, Ibu mengusap-usap punggu
PoV AyuAku tidak boleh berdiam diri, harus ke rumah sakit sekarang, memastikan kondisi Abang. Bergegas mengambil tas, mengenakan kaos kaki. Baru saja hendak keluar kamar, ponsel berdecit. Abang.Kubuka pesannya.[Kritis karena merindukanmu, Beb.]Ya Allah ... dasaaaar .... gemas aku dibuatnya. Langsung melakukan video call.“Alhamdulillah calon bini peka, tau calon laki kangen, langsung video call,” ucapnya tanpa berdosa. Aku tetap diam.“Eh, Ayu habis nangis?” Nah baru sadar. Aku cemberut. Memicingkan mata padanya.“Lho, kenapa? Kayak orang marah.”“Nyebelin!!! Bikin panik! Kirain kritis beneran, gara-gara donorin darah!” Auto ngomel. Abang diam sejenak. Berpikir.“Ya Allah ... Abang gak selemah itu. Lagian mana ada orang kritis bisa kirim pesan?”Iya juga ya? Kenapa tadi tidak terpikirkan ke arah sana.&
PoV Ratih HerlinaSuami mudaku tetap bergeming. Tangannya masih saja mengepal. Sorot matanya berubah penuh rasa kebencian. Ya, aku tahu dia sedang menahan emosi. Kuhampiri dirinya dengan langkah gemulai.“Gimana, Sayang? Mau kan?” tanyaku mendesis. Aku menyusuri lekuk wajahnya dengan ujung jari. Ia memalingkan muka kasar.“Enggak! Aku gak mau. Kalau kamu mau bunuh Ibu Bapakku, silakan. Aku gak peduli," jawabnya dengan intonasi tinggi. Aku cukup terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Mahasiswa yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM.Kedua mataku membulat mendengar jawaban Sudira. Lelaki ini rupanya sama jahat denganku. Mengharapkan orang tuanya sendiri ingin mati.“Kamu serius?” tanyaku meyakinkan. Sebab aku yakin, Sudira pada dasarnya sangat baik. Ia berhati lembut. Bahkan dengan anakku Firman pun sangat perhatian.“Serius. Silakan saja kau bunuh Ibu Bapakku. Kalau mereka mati, beba
PoV AbangTiba di rumah sakit, Bang Parto langsung dibawa ke ruang UGD. Darah berceceran di lantai rumah sakit, dokter dan perawat langsung berlari ke ruangan. Bang Parto harus selamat, ia tidak boleh mati. Hanya dia saksi kunci yang kami punya saat ini. Herlina harus mendekam di Penjara. Dia harus membayar mahal atas perbuatannya yang dilakukan sejak dahulu.Aku berharap-harap cemas selagi dokter memeriksa keadaan Bang Parto. Berdiri dan duduk kulakukan untuk menutupi rasa cemas. Tak lupa, doa-doa juga tak pernah lepas dari bibir. Aku tak menyangka kalau kejadian ini akan memakan korban. Untung saja meeting bersama para karyawan bisa dipending dahulu. Aku jadi penasaran, kronologis kejadiannya seperti apa hingga Bang Parto bisa tertembak. Dan siapa yang menembak? Herlina atau anaknya si Banci Firman?Tak lama dokter pun keluar dari dalam ruangan.“Pasien banyak kehilangan darah. Golongan darah pasien AB+, saat ini stok darah di
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be