PoV Ayu
"Ayu, ingat pesan Abang!! Jangan keluar dari mobil!!" Titah Abang dengan nada cemas. Sungguh, sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi di dalam kontrakan sana.
"Bang ... Ayu cemasin Ibu sama Bang Dion ...." kataku dengan suara bergetar. Tubuhku mendidik gemetaran, takut sekaligus cemas.
Para tetangga kontrakan berhamburan keluar rumah. Mendekati kediaman laki-laki yang bernama Bang Parto. Mungkin karena mendengar suara tembakan tadi.
“Ayu tenang, Abang udah nyuruh karyawan sini telepon polisi. Abang mohon jangan keluar dari mobil. Sebentar lagi Abang nyampe sana.”
Aku tak menjawab ucapan Abang. Tubuh ini gemetaran.
“Rapat dicancel.” Masih kudengar suara Abang dari ujung telepon.
Dari arah belakang kontrakan, kulihat dua orang setengah berlari. Satu seorang wanita, dan satunya lagi seorang pria. Seolah menghindari kerumunan. Memasuki mobil mewah yang t
PoV AyuAku mendengar penuturan Bang Dion yang menceritakan kronologis kejadian di dalam kontrakan.“Jadi bener, Herlina itu sebenarnya tante Ratih teman arisan Bunda?” tanya Abang setelah Bang Dion mengakhiri cerita.“Gak salah lagi,” sahut Bang Dion. Wajahnya terlihat sangat kelelahan. Aku kasihan sama Ibu dan Bang Dion. Mereka pasti sangat lelah sekali. Kulihat Ibu, Ibu pun demikian. Tapi sekarang sudah lebih tenang.“Bu, gimana ceritanya Ibu bisa kenal Herlina?” tanyaku penasaran. Ibu masih saja membisu. Pandangannya lurus ke depan.“Dulunya dia seorang model," sahut Ibu dengan suara lemah.“Model?” tanyaku berbarengan dengan Abang. Ibu menarik napas panjang.“Ayah Dion pernah cerita. Dulu, Ayah Dendy, Doni. Ayah Dion, Restu. Dan suami Ratih Prasetya adalah tiga sahabat. Mereka bersahabat sejak awal masuk kuliah. Singkat cerita, Doni dan Pras mencintai
PoV Herlina“Parto b*doh! Kenapa malah ngebocorin semuanya??!! Sialan!!!” Kupukul-pukul sisi stir mobil dengan keras. Aku sangat kecewa dengan lelaki berkumis tebal itu. Tidak bisa diandalkan!!“Mami ... jangan berisik. Iman kan kaget.” Aku menoleh. Anak lelakiku satu-satunya memprotes kemarahanku. Sifat dia memang kadang labil. Kadang seperti orang dewasa, kadang seperti anak kecil.“Maaf, Sayang ... Mami emosi. Ya udah, Iman lanjut main gamenya.”Sepanjang jalan, pikiran menerawang. Menarikku pada kejadian dua puluh tahun lalu. Terutama tentang perkenalanku dengan laki-laki tampan dan mapan. Prasetya Wirawan.Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Tapi sayang, laki-laki itu tak pernah mencintaiku hingga akhir hayatnya. Dia lebih mencintai Tari Riana yang tak lain istri sahabatnya sendiri. Harusnya wanita itu juga aku bunuh. Eva aku bunuh. Anaknya aku bunuh. Semua keturunan mereka aku len
PoV Ayu Aku dan Ibu menelisik foto tersebut. Laki-laki di foto itu badannya kurus, rambut rapi, tangannya tidak ada tatto. Fotonya juga kurang jelas, agak buram. Mungkin karena foto lama. “Kayaknya bukan, Bi.” Pemikiran ibu ternyata sama denganku. Kayaknya memang bukan Parto suami Bi Sumi. “Bang Parto itu rambutnya panjang, tangannya banyak tatto, kumisan, badannya juga gede, Bi.” Aku menambahkan. Bi Sumi semakin tertunduk lesu. “Oh begitu ya?” Bi Sumi mengambil kembali foto dari tangan Ibu. Ia benar-benar terlihat kecewa. “Bi, jangan sedih. Kalau memang Mas Parto masih jodoh Bibi, suatu saat pasti akan bertemu.” Ibu merangkul pundak Bi Sumi. Berusaha untuk menenangkannya. “Mungkin ... Mas Parto memang sudah meninggal, Bu. Seperti kata orang-orang kampung.” Suara Bi Sumi terdengar nelangsa. “Tapi hati Bibi yakin kan kalau dia masih hidup?” tanya Ibu sembari mengusap punggung tangan Bu Sumi. Wanita yang sudah lama mengabdi itu mengangguk lemah. Kembali, Ibu mengusap-usap punggu
PoV AyuAku tidak boleh berdiam diri, harus ke rumah sakit sekarang, memastikan kondisi Abang. Bergegas mengambil tas, mengenakan kaos kaki. Baru saja hendak keluar kamar, ponsel berdecit. Abang.Kubuka pesannya.[Kritis karena merindukanmu, Beb.]Ya Allah ... dasaaaar .... gemas aku dibuatnya. Langsung melakukan video call.“Alhamdulillah calon bini peka, tau calon laki kangen, langsung video call,” ucapnya tanpa berdosa. Aku tetap diam.“Eh, Ayu habis nangis?” Nah baru sadar. Aku cemberut. Memicingkan mata padanya.“Lho, kenapa? Kayak orang marah.”“Nyebelin!!! Bikin panik! Kirain kritis beneran, gara-gara donorin darah!” Auto ngomel. Abang diam sejenak. Berpikir.“Ya Allah ... Abang gak selemah itu. Lagian mana ada orang kritis bisa kirim pesan?”Iya juga ya? Kenapa tadi tidak terpikirkan ke arah sana.&
PoV Ratih HerlinaSuami mudaku tetap bergeming. Tangannya masih saja mengepal. Sorot matanya berubah penuh rasa kebencian. Ya, aku tahu dia sedang menahan emosi. Kuhampiri dirinya dengan langkah gemulai.“Gimana, Sayang? Mau kan?” tanyaku mendesis. Aku menyusuri lekuk wajahnya dengan ujung jari. Ia memalingkan muka kasar.“Enggak! Aku gak mau. Kalau kamu mau bunuh Ibu Bapakku, silakan. Aku gak peduli," jawabnya dengan intonasi tinggi. Aku cukup terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Mahasiswa yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM.Kedua mataku membulat mendengar jawaban Sudira. Lelaki ini rupanya sama jahat denganku. Mengharapkan orang tuanya sendiri ingin mati.“Kamu serius?” tanyaku meyakinkan. Sebab aku yakin, Sudira pada dasarnya sangat baik. Ia berhati lembut. Bahkan dengan anakku Firman pun sangat perhatian.“Serius. Silakan saja kau bunuh Ibu Bapakku. Kalau mereka mati, beba
PoV AbangTiba di rumah sakit, Bang Parto langsung dibawa ke ruang UGD. Darah berceceran di lantai rumah sakit, dokter dan perawat langsung berlari ke ruangan. Bang Parto harus selamat, ia tidak boleh mati. Hanya dia saksi kunci yang kami punya saat ini. Herlina harus mendekam di Penjara. Dia harus membayar mahal atas perbuatannya yang dilakukan sejak dahulu.Aku berharap-harap cemas selagi dokter memeriksa keadaan Bang Parto. Berdiri dan duduk kulakukan untuk menutupi rasa cemas. Tak lupa, doa-doa juga tak pernah lepas dari bibir. Aku tak menyangka kalau kejadian ini akan memakan korban. Untung saja meeting bersama para karyawan bisa dipending dahulu. Aku jadi penasaran, kronologis kejadiannya seperti apa hingga Bang Parto bisa tertembak. Dan siapa yang menembak? Herlina atau anaknya si Banci Firman?Tak lama dokter pun keluar dari dalam ruangan.“Pasien banyak kehilangan darah. Golongan darah pasien AB+, saat ini stok darah di
PoV SudiraAku kira, dengan ‘Bermain’ kasar, membuat dia takut dan membatalkan niat menyuruhku untuk membunuh orang. Ternyata malah membuatnya ketagihan. Dasar wanita gak waras! Semakin aku siksa, dia semakin menggila. Kalau tak ingat hartanya, semalam sudah kubunuh perempuan licik itu.“Aku mau pulang," ucapku hendak keluar kamar.“Sayaaang ... pokoknya aku gak mau tahu, Minggu depan kamu harus nyusul ke Swiss. Aku ... mau ‘main’ kayak tadi lagi ....” Tangannya mencoba membuka kancing kemejaku. Segera menepisnya kasar.Gila! Wanita gila!“Sebelum ke Swiss, kamu harus tanda tangani surat pengalihan nama pemilik perusahaan dulu. Menjadi nama aku!” tandasku tegas.Ratih terkejut. Berusaha tersenyum meski bibirnya terluka.“Gak bisa dong, Sayang ... kerjanya aja belum, kok udah minta imbalan," sahutnya manja. Dulu, sebelum ia menyuruhku membunuh orang,
PoV SudiraSepanjang jalan, aku memikirkan cara, bagaimana mencari orang yang bernama Dion Restunaga dan Eva Williams.Ratih benar-benar gila! Tidak berpikir akibat kalau aku salah sasaran. Belum lagi, cara membunuh dua orang itu dengan memberinya racun. Bagaimana cara memberi racunnya?!Salah aku juga, dulu mau-maunya diajak foto berpose bugil, mau-maunya aktivitas hubungan intim kami divideokan. Sialnya, rekaman itu hanya dipegang oleh Ratih. Dulu aku tidak mempersoalkan, karena berpikir, tidak mungkin Ratih menyebarluaskan foto atau video tersebut. Secara dia pengusaha terkenal. Andai saja ancamannya selain itu, pasti tanpa ragu kutolak perintah wanita yang bernama asli Ratih Herlina.Aku jadi penasaran, masalah apa yang Ratih alami dengan dua orang itu? Sehingga Dion dan Eva harus dibunuh? Apa karena saingan bisnis? Rasanya tidak mungkin kalau hanya masalah Firman ditonjok.Ketika sedang menerka-nerka permasalahan Rati