Dua hari pertama bekerja, segalanya berjalan dengan lancar dan aku sangat menikmati setiap tugas yang dibebankan kepadaku. Begitu mengetahui bahwa Jonah dan Naura saling mengenal, aku semakin berhati-hati dalam pekerjaanku. Aku tidak ingin Naura kecewa denganku dan nama Jonah ikut terbawa. Aku juga ingin membuktikan kepada tunanganku bahwa aku bisa bekerja dengan baik.
Bilik dengan penyekatnya yang begitu tinggi membuatku tidak bisa akrab dengan rekan-rekan satu timku. Aplikasi obrolan yang ada di komputer juga tidak bisa digunakan untuk membahas masalah pribadi. Semuanya harus ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi, sampai hari ketiga ini aku hanya tahu nama Naura saja.
Mudah saja bagiku untuk akrab dengan orang-orang baru, tetapi bukan hanya dua wanita yang tidak sengaja aku dengar percakapannya yang suka membicarakan aku di belakang. Ternyata beberapa pegawai lain juga kurang menyukaiku dan mereka bahkan berani menjelek-jelekkan aku saat mereka pikir bahwa aku tidak
Kak Nevan sedang libur, maka dia yang menjemputku dari tempat kerja pada sore itu. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendiri dengan kendaraan umum, tetapi Jonah tidak mengizinkan aku. Dia masih saja khawatir bahwa Vita akan melakukan sesuatu untuk menyakitiku. Bukannya melihat Kakak dengan mobilnya, aku malah berdiri berhadapan dengan Nola saat keluar dari pintu utama. Dia tersenyum kepadaku. “Hai, Cel. Kita sudah lama tidak bertemu.” “Aku tidak bisa melakukan ini sekarang, Nola.” Aku menggelengkan kepalaku. Keputusannya kembali kepada Pras masih belum bisa aku terima. Aku tidak sanggup melihat wajahnya. “Kita perlu bicara. Aku mohon.” Dia berjalan mendekatiku. Aku segera mundur selangkah. “Aku tidak akan melakukan ini bila tanpa alasan yang kuat, Cel. Aku juga tidak mau kehilangan persahabatan kita. Aku mohon, izinkan aku menjelaskannya kepadamu.” “Jangan sekarang. Aku belum siap,” kataku lagi. Dia menatapku dengan sedih. Mendengar bunyi klakson, aku m
Manajer itu keluar dari ruangan dengan wajah penuh penyesalan kepadaku. Dia tidak bisa berbuat banyak atas laporan yang aku sampaikan. Karena dia hanya bisa bertindak jika ada bukti. Mereka berdua keluar dari ruangan IT, tetapi Pak Varen masih sempat menoleh ke arahku dan tersenyum penuh arti. Aku mengepalkan tinjuku.“Cel, mereka mungkin tidak percaya kepadamu, tetapi aku percaya,” ucap Nola berusaha untuk menghiburku. “Wajah kamu pucat sekali. Sebaiknya kamu makan dahulu sebelum kembali bekerja.”“Aku tidak yakin aku masih sanggup bekerja.” Aku terduduk di kursi kosong yang ada di ruangan itu.“Kamu sedang lapar. Ayo, kamu makan dahulu.” Nola menarik tanganku untuk berdiri. Aku menurut. Lagi pula aku tidak mungkin berada di ruangan itu lebih lama. Mereka sudah kembali bekerja.Kami duduk di sofa pada ruang duduk yang ada di lantai tersebut. Aroma makanan yang lezat itu mudah saja membantu mengembalikan sel
Lampu lalu lintas berwarna merah sedang menyala saat ponselku bergetar. Aku memutuskan untuk menjawab panggilan masuk tersebut agar keadaan di dalam mobil tidak terlalu sepi. Tidak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan pernah mendengar berita terburuk dalam hidupku. Setidaknya, bukan kabar itu. Ayah berusaha tegar di seberang telepon saat memberiku kabar tersebut.Jason meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kakakku yang akhir-akhir ini bersikap begitu baik dan melakukan banyak hal bersamaku. Kami berolahraga bersama, memeriksa stan pameran bersama, menemui investor, melakukan inspeksi terakhir di mal baru kami, bahkan mendiskusikan laporan bersama. Semua hal itu adalah hal terakhir yang aku lakukan bersamanya?Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan bertengkar, berdebat, dan bersaing karena orang-orang di sekitar kami sering membanding-bandingkan kami berdua. Mengapa saat hubungan kami membaik, kami hanya bisa menjalaninya sesaat saja? Mengapa kakakku dijemput se
Seperti yang aku harapkan, aku terbangun. Aku melihat ke langit-langit ruangan. Ini adalah kamarku. Aku mengerang pelan merasakan kepalaku sangat sakit. Aku menoleh ke kanan untuk melihat jam digital yang ada di atas nakas. Pukul tujuh pagi. Aku terlambat bangun dari biasanya.Saat menoleh ke kiri, aku melihat seseorang berbaring dengan posisi miring di sisiku. Kedua tangannya memegang tanganku yang ada di depan wajahnya. Lalu kejadian semalam bermain di kepalaku. Aku sangat terpukul dengan kematian Jason sehingga tidak mau melepaskan tanganku darinya. Dan di sinilah dia. Berbaring bersamaku sampai pagi.Aku menarik tanganku perlahan agar dia tidak terbangun. Hal pertama yang aku lakukan adalah mandi. Aku tidak akan sempat untuk berolahraga. Ada hal penting yang harus aku lakukan pada pagi ini. Setelah mengenakan setelan kerjaku, aku memasukkan dompet dan ponsel ke saku jasku.Gadis itu masih tertidur pulas. Semalam dia pasti sangat kelelahan karena ulahku. Aku
Rumah terlihat ramai dengan mobil polisi, wartawan dari berbagai media, dan mobil yang sepertinya adalah milik para kenalan dan keluarga yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Lingkungan sekitar rumah kami yang biasanya sunyi menjadi ramai seperti mal pada akhir pekan. Aku melihat salah satu petugas keamanan kami menuntunku untuk bergerak terus sampai ke pekarangan rumah. Orang-orang hanya parkir di tepi jalan, halaman rumah kami tidak dipenuhi dengan mobil.Tidak ada kerumunan wartawan di depan rumah. Lokasi yang biasanya dijadikan Ayah sebagai tempat untuk menjawab pertanyaan mereka. Mungkin konferensi pers mengenai pemberitahuan kematian Jason sudah selesai. Dan dugaanku benar. Beberapa wartawan yang aku kenal sedang duduk di beberapa kursi yang tersedia sambil menikmati makanan.Pintu ruang tamu terbuka, aku melongokkan kepala dan melihat polisi sedang berbicara dengan Ayah dan Bunda. Aku memutuskan untuk mundur dan membiarkan mereka yang menanganinya. Keadaan
Aku menatap pesan pada surelku cukup lama. Tanggal pengirimannya adalah hari Kamis yang lalu. Tetapi aku sedang sibuk dengan urusan pasca kematian Jason, jadi aku tidak sempat memeriksa apa pun yang ada di ponsel. Aku hanya menjawab panggilan masuk. Pesan dan surel total aku abaikan. Perusahaan lain yang juga aku kirim surat lamaran dan daftar riwayat hidup memanggilku untuk mengikuti psikotes pada hari Senin besok. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih dengan kabar tersebut. Bahagia karena aku tidak terlambat membacanya, sedih karena aku terharu aku mendapatkan kesempatan kedua secepat ini. “Kamu seharusnya bahagia. Mengapa kamu malah terlihat seperti orang yang baru mendengar vonis sakit yang mematikan?” ucap Jonah yang ikut makan siang bersama kami. Hari ini hari Minggu, hari kencan kami. Tetapi kami memutuskan untuk berada di rumah saja. “Aku tidak yakin apakah aku akan siap untuk menghadapi psikotes besok.” Aku menerima ponselku dari Jonah dan m
Aku, Ayah, dan Bunda berada di ruang dokter keluarga kami dengan perasaan waswas. Seorang dokter spesialis forensik dan timnya juga berada di ruangan tersebut. Mereka sudah siap memberi keterangan mengenai hasil autopsi Jason.Penyebab kematiannya sudah tidak mengejutkan lagi. Jason meninggal di tempat kejadian akibat benturan keras pada kepalanya. Luka lain yang dialaminya dalam kecelakaan tersebut juga cukup fatal. Selain itu dia tidak punya riwayat penyakit apa pun. Dia adalah pria yang sehat. Tentu saja. Kami sekeluarga rutin melakukan pemeriksaan kesehatan setahun sekali.“Kami juga sudah memberikan laporan hasil autopsi kepada pihak kepolisian untuk mendukung penyelidikan mereka atas kecelakaan tersebut,” ucap dokter itu menambahkan.Mereka tidak membantu sama sekali. Aku berharap mereka menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Theo dan timnya terpaksa melepaskan sopir truk itu beberapa hari setelah dia tidak mau buku mulut. Dua hari kemudian, di
Jonah sudah memiliki segalanya. Aku mencari beberapa barang yang cocok untuk dijadikan sebagai kado ulang tahun untuk seorang kekasih, tetapi tidak ada yang kelihatannya akan disukainya. Papa dan Kak Nevan sudah menyiapkan kado dari mereka sejak beberapa hari yang lalu.Akhirnya, aku menyerah dan memutuskan untuk memberikan apa yang paling dia inginkan. Iya, dia sering menggunakannya sebagai ancaman, namun aku yakin bahwa dia sebenarnya serius dengan keinginannya tersebut. Kami memang belum lama saling mengenal tetapi aku percaya kepada hatiku. Dia sudah memilih Jonah, jadi mengapa kami tidak meresmikan hubungan kami?“Aku juga mencintaimu, Celeste,” bisiknya. Aku tertegun mendengarnya. Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Dia menciumku tetapi aku tidak membalasnya.Yang aku inginkan adalah memberinya kado yang tidak akan pernah dia lupakan. Tetapi dia malah memberiku sebuah kejutan yang besar. Aku tidak pernah menduga bahwa aku akan mendengar dia me