Govan berdiri di dapur cukup lama setelah Nabila menghilang ke dalam kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan satu tangan."Sial."Apa yang baru saja ia lakukan? Ciuman itu... hanya sekilas, hanya di kening, dan dulu ia memang sering melakukannya saat Nabila masih kecil. Tapi sekarang? Kenapa rasanya berbeda?Kenapa dadanya merasakan sesuatu yang aneh?Tangannya masih bisa merasakan lembutnya kulit kening gadis itu. Dan entah kenapa, Govan bisa merasakan wajahnya sedikit memanas setiap kali mengingatnya."Apa-apaan ini..." gumamnya, mendesah pelan.Ia tidak seharusnya merasa seperti ini.Nabila adalah keponakannya. Gadis kecil yang dulu selalu ia timang, yang ia anggap sebagai adik sendiri. Seharusnya tidak ada yang berubah, seharusnya dia bisa tetap bersikap seperti biasa."Aku hanya terlalu lelah." Govan mengacak rambutnya frustrasi. Ia memutuskan untuk mengabaikan pikirannya sendiri dan kembali ke kamarnya.Namun, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk tidur, p
Sinar matahari sudah tinggi ketika Govan akhirnya membuka matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, masih dalam keadaan setengah sadar."Kenapa rasanya terang banget?" Govan menoleh ke jam digital di meja samping ranjangnya.09.30 AM"Sial." Mata Govan membelalak.Ia jarang sekali bangun kesiangan, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi hari ini, ia benar-benar tidur lebih lama dari biasanya.Tubuhnya masih terasa sedikit berat, mungkin karena tekanan pekerjaan yang cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini. Tapi tetap saja, bangun hampir jam sepuluh pagi membuatnya merasa bersalah.Setelah mengumpulkan kesadarannya, Govan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar kamar dengan rambut sedikit berantakan dan kaus kusut.Begitu keluar, ia mencium aroma sesuatu yang familiar langsung menyeruak ke hidungnya."Nasi goreng?" Alisnya mengernyit.Ketika Govan tiba di dapur, matanya menangkap sosok Nabila yang sedang berdiri di depan kompor, mengenakan kaus oversized dan celana pendek.Gadi
"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Govan keluar dari kamar Nabila dengan langkah tergesa. Ia menutup pintu dengan pelan, mengusap wajahnya dengan frustrasi.“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya.Ia duduk di tepi kasur di kamarnya sendiri, menundukkan kepala sambil meremas rambutnya. Pikirannya penuh dengan kejadian barusan.Bibirnya masih bisa merasakan kelembutan bibir Nabila.Sial. Ia baru saja merebut ciuman pertama keponakannya. Walaupun itu tidak disengaja, tetap saja perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun.Govan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus melupakan ini. Ia harus menjaga batasan.Namun... Kejadian itu tidak mudah dilupakan begitu saja. ***Tik... Tik... Suara keyboard terdengar berulang kali di dalam ruangan kerja Govan. Ia duduk tegak di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan dokumen-dokumen penting. Pekerjaan menumpuk, dan ia harus segera menyelesaikannya.Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus.Setiap kali ia mencoba membaca laporan, bayangan keja
Govan merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengalihkan pandangan, berharap bisa menghindari pertanyaan Nabila yang semakin berani."Om, kalau aku bukan keponakan Om, pasti Om bakal tergoda, kan?"Suara Nabila terdengar main-main, tapi Govan tahu betul bahwa gadis itu sedang menguji batas.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya."Udah jangan naya yang aneh-aneh." Govan berkata dengan nada tegas."Jadi Om tetap nggak tergoda?" Nabila tersenyum tipis, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bil, jangan nanya yang aneh-aneh. Om lagi makan ini," kata Govan dengan kesabaran yang mulai menipis. Nabila mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli, tapi ada kilatan menggoda di matanya."Aku cuma penasaran.""Udah selesai makannya?" tanya Govan, sengaja mengalihkan pembicaraan, Nabila menjawab dengan anggukan kecil. "Ya udah, aku mau ganti baju dulu, Om takut aku pakai baju terbuka, kan?" godanya sambil beranjak dari kursi.Govan tidak mer
"Soal mimpi aku..." Seketika tangan Govan berkeringat dingin. “Semalam aku mimpi aneh,” ujarnya santai.Govan yang tengah menyuap nasi gorengnya langsung berhenti. Ia melirik Nabila dengan waspada.“Mimpi apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.Nabila mengunyah makanannya, lalu wajahnya mulai memerah sedikit.“A-aku mimpi dicium seseorang,” katanya pelan, seakan malu mengakuinya."Uhuk..." Govan tersedak. Ia buru-buru meraih gelas air dan meneguknya, sementara Nabila menatapnya dengan heran.“Om nggak apa-apa?” tanya gadis itu, mengernyitkan dahi.“Om… aku baik-baik saja.” Govan batuk kecil, lalu mengangguk cepat. “Aneh banget, di dalam mimpiku wajah nggak kelihatan. Semuanya gelap.” Nabila memutar-mutar sendoknya di dalam piring. Govan menelan ludah. Tentu saja gelap. Itu bukan mimpi, namun kenyataan. Tapi… apakah mungkin Nabila tidak menyadari kalau itu adalah dirinya kan? Govan berusaha fokus pada makanannya, tapi semakin sulit ketika Nabila terus menatapnya dengan ekspr
Govan keluar dari kamar Nabila dengan langkah tergesa. Ia menutup pintu dengan pelan, mengusap wajahnya dengan frustrasi.“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya.Ia duduk di tepi kasur di kamarnya sendiri, menundukkan kepala sambil meremas rambutnya. Pikirannya penuh dengan kejadian barusan.Bibirnya masih bisa merasakan kelembutan bibir Nabila.Sial. Ia baru saja merebut ciuman pertama keponakannya. Walaupun itu tidak disengaja, tetap saja perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun.Govan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus melupakan ini. Ia harus menjaga batasan.Namun... Kejadian itu tidak mudah dilupakan begitu saja. ***Tik... Tik... Suara keyboard terdengar berulang kali di dalam ruangan kerja Govan. Ia duduk tegak di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan dokumen-dokumen penting. Pekerjaan menumpuk, dan ia harus segera menyelesaikannya.Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus.Setiap kali ia mencoba membaca laporan, bayangan keja
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Sinar matahari sudah tinggi ketika Govan akhirnya membuka matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, masih dalam keadaan setengah sadar."Kenapa rasanya terang banget?" Govan menoleh ke jam digital di meja samping ranjangnya.09.30 AM"Sial." Mata Govan membelalak.Ia jarang sekali bangun kesiangan, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi hari ini, ia benar-benar tidur lebih lama dari biasanya.Tubuhnya masih terasa sedikit berat, mungkin karena tekanan pekerjaan yang cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini. Tapi tetap saja, bangun hampir jam sepuluh pagi membuatnya merasa bersalah.Setelah mengumpulkan kesadarannya, Govan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar kamar dengan rambut sedikit berantakan dan kaus kusut.Begitu keluar, ia mencium aroma sesuatu yang familiar langsung menyeruak ke hidungnya."Nasi goreng?" Alisnya mengernyit.Ketika Govan tiba di dapur, matanya menangkap sosok Nabila yang sedang berdiri di depan kompor, mengenakan kaus oversized dan celana pendek.Gadi