Nabila terbaring di tempat tidurnya, memeluk guling erat-erat. Matanya menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk.Ia sudah mencoba memejamkan mata berkali-kali, tapi tetap saja tidak bisa tidur, Nabila menggigit bibirnya, hatinya semakin gelisah.Akhirnya, setelah beberapa menit berguling-guling di tempat tidur, ia menyerah.Ia butuh udara segar.Perlahan, ia bangkit dan membuka pintu kamarnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Suasana rumah sudah sunyi. Semua lampu sudah dimatikan kecuali lampu kecil di ruang tengah yang memberikan pencahayaan redup.Nabila berjalan tanpa suara menuju dapur, berpikir untuk minum segelas air agar pikirannya lebih tenang.Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu dapur.Di sana, di bawah cahaya lampu redup, Govan berdiri dengan satu tangan menyandarkan diri ke meja dapur, sementara tangan satunya menggenggam gelas yang berisi air putih.Pria itu terlihat lelah. Kemeja yang tadi ia kenakan sudah dilepas, menyisakan kaus putih
Govan berdiri di dapur cukup lama setelah Nabila menghilang ke dalam kamarnya. Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan satu tangan."Sial."Apa yang baru saja ia lakukan? Ciuman itu... hanya sekilas, hanya di kening, dan dulu ia memang sering melakukannya saat Nabila masih kecil. Tapi sekarang? Kenapa rasanya berbeda?Kenapa dadanya merasakan sesuatu yang aneh?Tangannya masih bisa merasakan lembutnya kulit kening gadis itu. Dan entah kenapa, Govan bisa merasakan wajahnya sedikit memanas setiap kali mengingatnya."Apa-apaan ini..." gumamnya, mendesah pelan.Ia tidak seharusnya merasa seperti ini.Nabila adalah keponakannya. Gadis kecil yang dulu selalu ia timang, yang ia anggap sebagai adik sendiri. Seharusnya tidak ada yang berubah, seharusnya dia bisa tetap bersikap seperti biasa."Aku hanya terlalu lelah." Govan mengacak rambutnya frustrasi. Ia memutuskan untuk mengabaikan pikirannya sendiri dan kembali ke kamarnya.Namun, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk tidur, p
Sinar matahari sudah tinggi ketika Govan akhirnya membuka matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, masih dalam keadaan setengah sadar."Kenapa rasanya terang banget?" Govan menoleh ke jam digital di meja samping ranjangnya.09.30 AM"Sial." Mata Govan membelalak.Ia jarang sekali bangun kesiangan, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi hari ini, ia benar-benar tidur lebih lama dari biasanya.Tubuhnya masih terasa sedikit berat, mungkin karena tekanan pekerjaan yang cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini. Tapi tetap saja, bangun hampir jam sepuluh pagi membuatnya merasa bersalah.Setelah mengumpulkan kesadarannya, Govan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar kamar dengan rambut sedikit berantakan dan kaus kusut.Begitu keluar, ia mencium aroma sesuatu yang familiar langsung menyeruak ke hidungnya."Nasi goreng?" Alisnya mengernyit.Ketika Govan tiba di dapur, matanya menangkap sosok Nabila yang sedang berdiri di depan kompor, mengenakan kaus oversized dan celana pendek.Gadi
"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Pagi Menjelang Siang di sebuah Gedung Perkantoran Modern. Govan duduk tegap di salah satu ruang meeting bergaya minimalis. Jas hitamnya tampak rapi, kemeja biru muda berpadu pas, memperlihatkan ketegasannya sebagai profesional. Di hadapannya duduk tiga orang klien. Laras duduk di sampingnya, mencatat poin-poin penting, sekali-kali menyodorkan dokumen untuk ditandatangani Govan.Ruangannya sejuk. Tapi suasana cukup menegangkan. Klien-klien ini bukan orang sembarangan mereka orang besar, dan proyek yang sedang dibicarakan bernilai miliaran rupiah. Namun wajah Govan tetap tenang. Suaranya datar dan percaya diri.“Jika semuanya sesuai timeline yang kita sepakati, fase pertama pembangunan bisa dimulai dua bulan dari sekarang. Kami hanya butuh konfirmasi akhir dari pihak Bapak dan tim,” ujar Govan sambil menyerahkan berkas presentasinya.“Kami puas dengan perencanaan Anda, Pak Govan. Saya pribadi suka dengan sikap profesional dan efisiensi tim Anda.” Salah satu klien mengangguk pelan.Lara
Sinar mentari pertama menelusup masuk melalui celah gorden, menyapu lembut wajah Nabila yang masih terlelap. Udara dingin pagi menggelitik, membuatnya menggeliat pelan dan mengerjapkan mata. Ia menoleh ke samping, melihat Riska masih memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka dan suara napas pelannya. Nabila melihat jam di ponselnya. Pukul 05.12 pagi. Ia tersenyum kecil, mengingat rencana mereka menonton matahari terbit di danau tak jauh dari penginapan.Dengan semangat, ia turun dari ranjang dan merapikan hoodie-nya. Rambutnya diikat setengah, dan wajahnya masih segar tanpa riasan, tapi tetap manis. Ia menepuk-nepuk kaki Riska.“Ris… bangun. Udah jam lima lewat. Ayo ke danau,” bisiknya.“Hmm…” Riska meringkuk. “Dingin, Bil… lima menit lagi…”“Lima menit kamu bisa tidur selamanya kalau kita gak keburu liat sunrise,” canda Nabila sambil menepuk Riska.Tak lama, ketiganya sudah berada di luar, berjalan menyusuri jalan menuju danau. Udara pagi masih menusuk kulit, tapi langit perlahan
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p
Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G