"Aku sudah memimpikannya tiga kali, Bastian. Tiga hari berturut-turut." Sierra mencoba menceritakan mimpinya pada Bastian pagi itu. Sebenarnya Sierra sudah menahannya sendiri sejak pertama kali Sierra mendapatkan mimpinya, namun di hari ketiga, ia tidak tahan lagi. Iya kalau hal baik yang membuat mereka batal bulan madu, tapi bagaimana kalau hal buruk? Karena perasaan Sierra tidak pernah baik sejak mimpi itu. "Itu hanya bunga tidur, Sayang. Kurasa kau pasti terlalu tegang karena ini akan menjadi pertama kalinya kau terbang begitu jauh ke luar negeri." Bastian menangkup kedua lengan Sierra dan menatapnya sabar. Walaupun Sierra terlihat begitu cemas, tapi Bastian tetap tidak ikut cemas dan tetap berusaha menenangkan istrinya. "Tapi mimpi itu nyata sekali, Bastian. Aku ... kita tidak akan pergi berbulan madu karena suatu hal yang tidak jelas di mimpi itu ....""Seperti kau menabrak seseorang dengan mobilmu. Aku tahu ini terdengar mengerikan dan juga absurd tapi kau tetap harus hat
Heh heh heh ....Deru napas seorang pria masih begitu memburu saat ia berlari kencang menghindari orang-orang jahat yang mengejarnya. Tubuh pria itu sudah penuh luka terutama di kakinya, namun pria itu masih terus berlari sekalipun ia harus menyeret kakinya. Sampai ia melihat datangnya sebuah mobil dan tanpa pikir panjang ia pun berlari ke sana. Sementara Bastian yang masih menyetir sambil menelepon Sierra pun masih fokus ke jalan. Bastian memberikan konsentrasi penuhnya ke jalan saat ia berbelok ke jalanan yang lebih sepi, namun mendadak sesuatu atau seseorang melintas dengan cepat di depan mobilnya sampai Bastian begitu kaget dan membelalak lebar. "Ow, sial! Apa itu?" pekik Bastian yang refleks menginjak remnya mendadak sampai ban mobil itu berbunyi ciittt ....Ponsel Bastian pun terjatuh ke pangkuannya saat Bastian berusaha menstabilkan setirnya dan menarik hand remnya. Bastian pun tidak berhenti mengumpat dan untuk sesaat ia mengabaikan ponselnya karena terlalu syok. Sambil
"Syukurlah, Ibu! Syukurlah ternyata semuanya tidak seburuk yang aku pikirkan." Sierra tidak berhenti bernapas lega saat menceritakan cerita Bastian pada Lidya. Lidya sendiri pun ikut bernapas lega dan tersenyum. "Untung saja, Sierra. Ibu sudah ikut tegang. Jadi sekarang Bastian sudah membawa pria itu ke rumah sakit?"Sierra pun mengangguk. "Sudah. Hanya saja, pria itu babak belur karena dipukuli oleh perampok.""Astaga, kasihan sekali! Tapi dia sudah dirawat kan?" "Hmm, tenang saja. Bastian akan memastikan perawatan yang terbaik untuk pria itu, aku yakin itu, Ibu." "Baguslah, Sierra. Berarti kau sendiri kan sudah tenang sekarang? Kalian tetap bisa pergi berbulan madu. Soal pria itu, dia akan baik-baik saja setelah dirawat dan Ibu bisa menjenguknya ke sana, sebelum dia keluar dari rumah sakit nanti." "Eh, itu akan merepotkan Ibu.""Merepotkan apanya? Ibu sama sekali tidak repot. Lagipula sebagai sesama kan seharusnya kita saling menolong. Kita punya kewajiban menolong pria itu, t
"Apa, Bastian? Dia tidak punya keluarga? Lalu bagaimana?"Sierra dan Bastian sudah duduk berdua di ranjang kamar mereka malam itu dan Bastian pun menceritakan tentang pria yang ditolongnya tadi. "Aku sudah menjaminnya, Sierra. Tidak perlu khawatir! Dia sudah masuk ke ruang rawat inap dan sudah mendapatkan perawatan yang terbaik." Sierra pun mendesah lega mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu, Bastian. Malang sekali nasibnya! Untung dia bertemu denganmu.""Untung aku tidak sempat menabraknya, Sayang. Kalau aku menabraknya, itu akan menambah daftar kemalangannya. Sudah dirampok, dipukuli, dan ditabrak mobil." Bastian tertawa pelan. Tapi Sierra malah tidak bisa tertawa sama sekali. Sierra pun beringsut mendekati Bastian dan menangkup kedua pipi suaminya itu. "Bastian, kau masih bisa tertawa ya? Kau tidak tahu kalau sejak tadi hatiku ini tidak tenang. Banyak pikiran buruk yang sudah berkeliling di otakku dan aku takut sekali, Bastian."Ekspresi wajah Sierra nampak begitu cemas sampai
Lidya dan Sierra seketika membelalak lebar mendengar nama itu disebut. Jantung Sierra berdebar begitu kencang sekarang, namun ia tidak berani berpikiran apa-apa. Sedangkan Lidya sendiri juga langsung mematung dan tanpa bisa dicegah, hatinya kembali retak bahkan hanya karena mendengar nama itu, nama pria yang dulu sangat dicintainya, nama pria yang dulu sangat disanjungnya dan diprioritaskan dalam hidup Lidya. Lidya selalu berusaha menjadi istri yang baik, namun pria itu juga yang sudah membuat semua perjuangan Lidya menjadi sia-sia. Tanpa disadari tatapan mata Lidya pun goyah dan Lidya langsung meraih air minumnya lalu meneguknya banyak-banyak. Sierra yang melirik ibunya pun nampak sangat mengerti dengan perubahan ekspresi ibunya. Sedangkan Rosella dan Julio yang juga duduk di meja itu nampak biasa saja. "Siapa itu, Uncle? Pak El?" ulang Julio kepo. "Grandma sama Aunty mau bertemu Pak El juga? Julio juga mau ikut!" seru Julio lagi. Sierra pun langsung mengembuskan napas panjan
Ellyas masih menyamankan posisi duduknya di ranjangnya setelah para suster membawanya ke tempat foto kaki tadi. Ellyas pun duduk dengan nyaman sambil menatap kamarnya sekali lagi dan ia begitu senang karena bisa dirawat dengan fasilitas yang sangat baik ini. "Benar-benar pria yang baik," puji Ellyas sambil tersenyum, sebelum ia mendengar pintu kamarnya dibuka."Selamat pagi, Pak El! Bagaimana kabarmu hari ini? Aku membawa istri dan ibuku yang datang menjengukmu."Ellyas menoleh dan tersenyum menatap Bastian. "Ah, Bastian, kau datang sepagi ini," sahut Ellyas dengan suara khasnya. Ellyas pun masih tersenyum dan menoleh ke arah Bastian sampai dua orang wanita mendadak muncul di belakang Bastian hingga Ellyas seketika kehilangan senyumnya sama sekali. Begitu juga dengan Sierra dan Lidya yang awalnya masih tersenyum dan berniat menyapa Ellyas. Namun, semua keramahan mereka pun lenyap begitu saja saat berhadapan dengan wajah itu. Untuk sesaat, dunia pun seolah berhenti berputar. Si
"Sierra, tunggu!"Bastian terus memanggil Sierra sambil berlari kecil mengejarnya, namun Sierra sama sekali tidak berhenti berlari sampai mereka tiba di balkon teras rumah sakit yang sudah cukup jauh dari kamar Ellyas. Sierra pun akhirnya berhenti berlari dan hanya berpegangan pada balkon sambil menunduk dan membiarkan air matanya mengalir di sana. Hati Sierra begitu pedih melihat pria itu lagi, pria yang juga tidak ingin Sierra lihat lagi seumur hidupnya. Mungkin Sierra adalah anak durhaka karena ia tidak mau melihat ayah kandungnya sendiri, tapi Sierra bukan dewa yang bisa menerima begitu saja apa yang sudah Ellyas lakukan padanya. Ellyas menjual kedua anaknya sendiri seperti barang yang bisa diperjualbelikan demi melunasi hutangnya. Dan setelah para rentenir itu melakukan hal sekeji itu pada Rosella, mereka pun masih tetap menagih hutang pada Sierra dengan ancaman tanpa henti. "Ayahmu sudah menjual kalian pada kami jadi terserah kami mau melakukan apa kan? Kami sudah berencan
Saga terus menatap Lidya dari kejauhan karena Lidya nampak sangat sedih. "Eh, ada apa dengan Bu Lidya?" gumam Saga sambil tetap mengernyit bingung. Saga pun maju beberapa langkah bermaksud untuk mendekati Lidya yang begitu jauh di sana, namun Lidya malah terlihat berjalan lurus dan malah makin pergi menjauh. "Eh? Dia malah makin pergi ...," gumam Saga lagi sambil tetap berpikir keras apa yang harus ia lakukan.Namun, belum sempat Saga melakukan apa pun lagi, tiba-tiba suara pekikan terdengar dari dalam kamar Ellyas sampai Saga pun panik dan segera masuk ke sana. "Kau berteriak, Pak El? Ada apa?" seru Saga begitu ia masuk ke sana. "Astaga, apa yang terjadi denganmu, Pak El?" pekik Saga yang melihat Ellyas masih jatuh tersungkur di lantai. Ellyas terlihat begitu kepayahan sambil merintih dan memegangi kakinya. Ia tidak bisa bangun sendiri. Berulang kali Ellyas mencoba bangun tapi ia gagal dan kakinya malah makin sakit, sedangkan tombol untuk memanggil suster juga begitu jauh di d